Sekembalinya Sanjana ke Jakarta, keduanya baru menyadari mereka punya lingkaran pertemanan yang saling beririsan. Hal ini juga yang sempat mengagetkan mereka. Bahkan Amrit baru menyadari bahwa sahabat kecilnya yang ia kenal selama 10-15 tahun ternyata juga rekan kerja Sanjana.
Jakarta menjadi tempat mereka mulai mengakrabkan diri setelah sebelumnya hanya saling mengenal lewat layar dalam genggaman. Perkenalan awal mereka di Ibu Kota ternyata meninggalkan banyak kesan. “I think you should tell them about our first date, of how you’re annoyed,” seloroh Amrit sambil tertawa.
“Oh, yeah!” kata Sanjana, mata bulatnya membelalak. Menurutnya Amrit punya sisi yang nampak bertolak belakang saat di depan teman-temannya dan ketika hanya berdua. Jika di hadapan teman-temannya Amrit bisa begitu bawel, justru ketika berdua Amrit lebih tegas dan banyak mendengarkan.
Misalnya ketika Amrit menolak ajakannya menonton The Greatest Showman karena ia tak menyukai film musikal. “Saya kira waktu itu ia sedang mencoba melucu, tapi ternyata dia sangat serius,” kenang Sanjana tentang kencan pertama mereka. “Diabilang, ‘Kalau film musikal, lebih baik kita enggak usah nonton,’” lanjutnya lagi. Dari situlah ia melihat keteguhan prinsip seorang Amrit Punjabi.
Meski sempat kesal, kencan tersebut ternyata tidak berakhir dengan buruk. Toh keduanya sepakat untuk lanjut makan malam bersama. “Saat makan malam itu [juga] saya yang lebih cerewet dan dia lebih straight forward,” ujar Sanjana.
Dara India itu mengenang bagaimana Amrit sudah sangat jujur tentang diri dan intensinya sejak saat itu. Pasangan ini memang tak saling melempar kode-kode yang tak perlu. Itu pula yang membuat “Direct Message” jadi judul yang pas untuk menggambarkan kisah mereka. “Saya pikir kita memiliki persepsi yang sama tentang hubungan ini sejak awal,” lanjut Sanjana.
Seluruh pengalaman romansa keduanya membuat mereka paham betul apa yang dicari dari calon yang pas untuk selamanya. Amrit merasa Sanjana adalah orang yang tepat untuk mendampinginya seumur hidup ketika ia melihat usaha sang gadis untuk mengenal keluarga besarnya. “Dia itu pemalu banget dan saya selalu memaksa dia datang ke acara-acara keluarga dan memperkenalkan dia ke keluarga besar,” cerita Amrit.
Lewat pertemuan-pertemuan itulah ia melihat bagaimana akhirnya sang gadis bisa membaur dengan keluarga besarnya, tanpa malu-malu, tanpa gengsi. “Itulah momen ‘aha!’ saya soal Sanjana, karena kebanyakan orang, pasti takut atau bahkan jaim,” lanjut Amrit.
Hal itu berbeda dengan Sanjana. “Saya pikir hal itu merupakan kombinasi dari banyak hal setelah kita saling mengenal lebih dalam,” jelasnya.
Ada hal-hal khusus yang ia perhatikan kala mencari pasangan hidup. Etos kerja salah satunya. Dari sekian banyak kualitas Amrit, etos kerjanya jadi salah satu yang iahargai. “Lahir di keluarga yang sudah sangat mapan tidak membuatnya jadi sembarangan dalam bekerja,” kata Sanjana.
Keyakinan Sanjana kian bertambah ketika ia melihat cara Amrit memperlakukan orang-orang di sekitarnya. Baik itu keluarga, teman, atau pun rekan kerja. Menurutnya, justru caranya memperlakukan orang lain itulah yang menunjukkan kualitas Amrit yang sebenarnya.
Hubungan ini pun membuat keduanya tumbuh dan saling belajar dari satu sama lain. Sanjana mengajarkan Amrit empati dan rasa tenggang rasa. Sebaliknya, Amrit mengajarkan Sanjana bagaimana menjadi lebih positif dan tidak terlalu lama terbawa perasaan.
Tak perlu waktu lama bagi keduanya untuk memantapkan hati berkomitmen dengan satu sama lain. Amritlah yang sering membawa topik komitmen seumur hidup itu, meskipun dalam konteks yang tidak begitu serius, “Dia sering ngomong ‘Nanti kalau kamu sudah jadi istri saya..’ dan saya pikir okay that’s really cute bahwa dia mengatakannya.”
Amrit pun melamar Sanjana setahun selang perkenalan pertama mereka. “Terjadinya saat ulang tahun saya, tahun lalu pada tanggal 3 November,” kenang Sanjana sambil tersenyum manis. Ketika itu Amrit mengajaknya berlibur ke Bali untuk merayakan ulang tahun sang dara pujaan. Meskipun, perjalanan tersebut hampir batal karena Sanjana sedang tak enak badan dan kebetulan ibunya tengah berkunjung dari India.
“Jadi saya kasih tahu ibu saya kalau saya akan minta liburannya ditunda dulu, tapi ibu saya bilang jangan karena Amrit sudah merencanakannya untuk saya,” tutur Sanjana.
Ternyata Amrit sudah menceritakan rencananya kepada sang calon mertua. Sanjana pun sudah mengira Amrit bakal melamarnya di akhir tahun 2018, tapi ia tak menyangka empat kata itu akan dilontarkan saat perayaan ulang tahunnya. Sanjana pun mereka ulang malam istimewa itu. Setelah puas bersantap malam dan menyisip wine, manggis pun dihidangkan sebagai makanan penutup. Sebab adakah cara lebih sempurna untuk mengakhiri makan malam istimewa dengan gadis pujaan selain dengan suguhan buah kesukaannya? Tambahan cincin lamaran mungkin jawabannya.
“Tapi saya merusak kejutannya dengan membuka hidangan itu tiga detik lebih awal hahaha,” ujar Sanjana. Ia bercerita bagaimana ketika hidangan itu datang sang pelayan sempat memintanya untuk tidak membuka buah manggis itu terlebih dulu, tetapi apa daya sudah kepalang.
“Waktu itu saya sudah capek juga dan pengin cepat-cepat pulang, jadi langsung saya buka. Tapi kok kosong? Yang ada malah cincin. Saya pun lihat ke dia saat itu, dan dia cuma bilang ‘Will you marry me?’” katanya sambil tersenyum mengigat kembali malam spesial itu.
Ya, tak ada adegan Amrit berlutut di hadapan Sanjana. “Dia bilang, it’s lame,” ujar Amrit. Sanjana memang bukan tipikal perempuan yang menyukai hal-hal terlalu romantis. Menurutnya pernyataan cinta tak mesti dengan kata-kata manis atau gestur-gestur besar lainnya. (Bersambung.)
Teks: Shuliya Ratanavara
Foto: Raja Siregar