Melalui Syarat Sederhana, Laura Muljadi Sulit Menolak Permohonan Cinta Matteo
Keduanya menolak dijodohkan, namun semesta mempertemukan Laura Muljadi dan Matteo Russo dengan caranya sendiri.


Sejumlah kemungkinan hadir setiap hari. Tanpa perlu kita menebak apa yang dibawa takdir untuk manusia. Saya tidak pernah merencanakan apa-apa untuk mendapatkan pasangan hidup. Dulu, saya pernah menjalin hubungan cukup lama dengan seorang lelaki. Putus dengannya, saya dijodohkan melalui seorang teman yang juga berkawan dengan Matteo Russo. Kami menolak. Saya tidak punya ketertarikan dengan Matt dan tidak suka dengan konsep ‘perjodohan’. Begitu pun dengan Matt yang tidak menyukai saya karena profesi saya sebagai model. Bagi Matt saat itu, ada stereotype kurang menyenangkan yang melekat pada seorang model. Satu tahun setelah perjodohan itu, saya menghadiri acara pesta ulang tahun teman, tepat pada 23 Maret 2012. Tak saya duga, Matt juga hadir di sana sebagai tamu. Namun saya tetap tidak merasa ada perasaan berbeda untuk Matt. Adanya justru merasa segan cenderung takut pada penampilan Matt yang kala itu berambut panjang dengan janggut lebat. Sebaliknya, getaran berbeda justru dirasakan Matt. Ia memaksa temannya untuk bisa berkenalan dengan saya. Tidak menunggu pertemuan selanjutnya, saat itu pula Matt meminta nomor telepon. Sejak hari itu, Matt kerap menghubungi dalam berbagai kesempatan. Sekadar menanyakan kabar dan bertukar cerita. Ia bahkan mengaku sering memeriksa akun media sosial saya untuk mengetahui jadwal kerja atau mengecek di mana saya sedang berada. Tidak cukup itu saja. Matt memiliki keberanian untuk menghampiri saat saya bekerja atau pun ketika saya berkumpul bersama teman. Matt tidak ikut bergabung, ia hanya berdiri sambil memperhatikan saya dari jarak tertentu.  

Suatu hari, saya tengah melakukan fitting busana di Plaza Senayan, Jakarta. Matt mengetahuinya dari akun twitter saya. Dia muncul di hadapan saya dengan membawa tiket nonton bioskop dan popcorn di kedua tangannya. Obrolan selama makan malam setelah acara nonton ternyata memunculkan magnet tersendiri untuk saya. Saya mulai tertarik pada Matt karena cara bicara dan sikap lembut yang nyatanya berbeda dari kesan penampilan luar. Pertemanan kami akhirnya memicu satu pertanyaan. Sebelum Matt berangkat berlibur ke Amerika Serikat, ia bertanya, “Would you like to be my girlfriend?”. Saat itu, saya berusaha jujur dengan meminta Matt untuk mengubah penampilannya. Jika Matt bisa tampil lebih rapi, saya bisa berpikir untuk menerimanya menjadi kekasih.

Matt kembali dari Amerika dengan gaya pakaian berbeda dan tampilan yang sangat jauh dari biasanya. Ia tahu saya sangat senang melihatnya. Sambil tersenyum, saat itu juga Matt sekali lagi menanyakan apakah saya mau menjadi pacarnya. Saya tentu sulit menolak dengan perubahan yang dibawa Matt. Kami mulai menjadi sepasang kekasih sejak 11 April 2012, hari Senin. Saya dan Matt hanya punya waktu luang di hari Senin. Tidak ada istilah ‘malam mingguan’ karena justru kami pacaran saat hari Senin. Kami menyebutnya ‘Mondate’ atau Monday’s date.
Ada kalanya kami senang, sedih, dan marah. Semua punya cerita dalam berbagai bentuk emosi. Tapi untuk saya, semua waktu bersama Matt meninggalkan kesan istimewa. Terlebih ketika kami mengucap janji pernikahan. Perlu waktu berhari-hari untuk menghafal janji pernikahan dalam bahasa Italia. Ada rasa lega yang sangat menyenangkan ketika saya menatap matanya. Saat itu saya tahu saya telah melakukan hal yang benar. Dalam hati saya berucap, ini adalah awal kisah perjalanan cinta kami.

Matt telah merencanakan semuanya. Saya dan Matt sepakat untuk menghabiskan libur Natal di Florence, Italia, bersama keluarga kami. Menjelang malam tahun baru, 30 Desember 2013, kami pergi menuju sebuah villa di Tuscany yaitu daerah perbukitan, kebun anggur, dengan pemandangan yang amat memesona. Matt bercerita setelah kami menikah, saat itu Ia menyembunyikan kotak kecil berisi cincin di dalam kaus kakinya. Pagi harinya, 1 Januari 2014, Matt memindahkan kotak berisi cincin ke dalam kantung bagian dalam jaket. Ia takut saya akan melihatnya kalau disimpan di dalam kaus kaki. Liburan itu diisi dengan jalan-jalan ke kebun, menikmati wine, foto-foto, dan makan malam di villa. Belum ada tanda-tanda Matt akan melakukan sesuatu. Katanya, dia menunggu waktu yang tepat untuk melamar.

Saat acara makan malam, Matt mengajak saya duduk di kursi luar. Dia tahu saya sangat menyukai langit dan bintang. Biasanya Matt selalu tampak tenang dan terkendali, tapi malam itu dia terlihat cemas. Begitu gelisahnya, alih-alih membawa sebotol champagne, Matt justru membawa air mineral. Tidak lama kemudian, di tengah obrolan santai, Matt tiba-tiba berdiri lalu bertekuk lutut di hadapan saya. Dia bilang, “Maria Agnes Laurencia Alexandra Muljadi, will you marry me?” sambil menatap wajah saya dengan senyuman. Saya terdiam beberapa detik. Seketika Matt bilang lututnya mulai terasa sakit. Saya pun segera menjawab, “Yes, I do” yang disambut senyum lebar Matt.   

Konsep pernikahan saya dan Matt ialah “Un Bianco Sogno d’ Estate” atau A White Summer Fairy Tale. Kami melangsungkan pernikahan saat hari Senin, 21 Juli 2014 di gereja Santa Maria a Morello, Sesto Fiorentino, Florence, Italia. Untuk lokasi menikah, kami ingin gereja yang tidak terlalu besar sehingga kami merasa erat bersama keluarga dan sahabat. Sementara tempat resepsi di Castello di Vincigliata, Fiesole. Kata Matt, “A princess should get married in a castle, and you are a princess, so let’s get married in a castle”. Matteo suka memanggilku dengan julukan ‘Principessa’ atau ‘Princess’ dalam bahasa Italia.

Saya memakai gaun wedding dari Pronovias yang dilengkapi vail dari Sogno di Sposa, Florence. Untuk sepatu, saya mengenakan koleksi Prada. Saya memilih Tiffany & Co. untuk aksesori anting dan cincin kawin serta memakai kalung dari pemberian ibu Matt. Selain itu saya juga menggunakan aksesori hair piece dari Rinaldy A. Yunardi. Sementara itu, Matt mengenakan setelan koleksi Salvatore Ferragamo. Ia memakai dasi dan sepatu koleksi Ermenegildo Zegna. Kami berdua dirias oleh sahabat saya, penata rias Bubah Alfian. Untuk makanan, saya dan Matt memilih Delizia Ricevimenti yang menyajikan beragam pilihan menu untuk makan malam dan sajian saat after party. Wedding cake-nya memakai kue dari Pasticceria Giorgio.
Kehadiran Matt di hidup saya membawa kebahagiaan tak terkira. Saya tertawa bersamanya dan kadang menertawakannya. Kami berbagi rasa senang dan bersama-sama menciptakan bahagia. Saya menerima Matt dengan syarat untuk mengubah sedikit bagian dari dirinya. Tentu menjadi lebih baik, bukan sebaliknya. Matt sendiri beranggapan, cinta sejatinya membuat manusia memberikan yang terbaik dari dirinya. Ketika memutuskan untuk menikah, saya sadar saya tidak bisa hanya berharap untuk bahagia. Saya harus mengusahakannya dengan menjadi versi terbaik diri saya sendiri sebagai sahabat, kekasih, dan pasangan hidup Matteo Russo. (RR) Foto: Moza Wahyu dan dok. Laura Muljadi & Matteo Russo
 

 

Author

DEWI INDONESIA