Tahun 2002, saya merencanakan pesta ulang tahun ke-17 dengan tema private party. Waktu itu, rave party tengah menjadi tren di kalangan anak muda. Saya mengenal beberapa Event Organizer, tapi saya bingung memutuskan hendak memakai EO mana untuk acara ulang tahun ke-17. Akhirnya, seorang kawan yaitu EQ Puradiredja mengenalkan saya pada Irfan Wahyudi Prihutomo atau Ippe yang saat itu bekerja di sebuah EO. Pesta ulang tahun usai, namun kadang kami masih bertemu di berbagai acara. Pertemuan makin sering karena Ippe seorang fotografer dan aktif juga bermain sepeda fixed gear. Saat saya putus dengan pacar, saya dan Ippe masih suka berpapasan secara tidak direncanakan. Kami pun jadian dan pacaran sejak 27 Oktober 2012. Dulu saya merasa perbedaan usia 9 tahun di antara kami begitu menjanggal hati. Tapi nyatanya saat berpacaran, segalanya terasa menyenangkan bagi kami.
Ada impian untuk menikah setiap kali saya berpacaran. Dengan Ippe, harapan itu ada namun Ippe tak kunjung melamar saya. Saya bahkan pernah menanyakan kepada seorang sahabat, bagaimana kamu tahu ketika waktu menikah akan datang. Katanya, jika kita bertemu dengan seseorang dan merasa ‘klik’, maka entah bagaimana caranya Tuhan akan menggiring kita ke arah sana. Tahun 2013, saat saya merayakan ulang tahun, Ippe memberikan kado yang ternyata bukan bentuk lamaran. Tahun berikutnya, Ippe memberikan kado tapi ternyata Ippe belum juga melamar saya. Tepat saat anniversary kami 27 Oktober 2014, saya dan Ippe berangkat ke Bali untuk menghadiri acara pernikahan teman. Dua hari kemudian, saya menggelar show di Bali. Ketika tengah bergegas dari hotel menuju lokasi menyanyi, tanpa saya duga, Ippe melamar saya. Cincin tercantik yang pernah saya lihat hendak diberikan untuk saya. Ippe memang tahu persis kegemaran saya yang menyukai hal-hal berbau vintage dan art deco. Satu bulan kemudian, 27 November 2014, kami mengadakan lamaran di restoran Bunga Rampai. Rasa senang, merasa secure, dan terharu bahagia campuk aduk dalam hati saya. Saya sangat bahagia!
Ippe seorang fotografer wedding, sementara saya sering menyanyi di acara pernikahan. Saya dan Ippe pernah mengalami persiapan acara pernikahan orang lain di hotel dengan menggunakan baju bridal dan make up berjam-jam. Kami berdua sepakat menginginkan hal berbeda. Saya ingin acara pernikahan kami sesederhana mungkin. Untuk tanggal pernikahan, kami sengaja menyamakan angka dengan tanggal jadian dan lamaran, meski pun jatuh di hari Senin. Tepat saat 2,5 tahun kami pacaran, kami melangsungkan pernikahan Senin 27 April 2015 di Pine Forest Camp, Lembang, Bandung. Saya pernah melihat foto pernikahan teman yang menikah di New Zealand. Sederhana tapi cantik sekali. Ijab kabul dengan latar belakang hamparan gunung berbukit. Kebetulan saya dan Ippe menyukai alam dan sesuatu yang nyata tanpa dibuat-buat. Kami pun ingin pernikahan kami demikian. Setelah mempertimbangkan, rasanya agak menyulitkan jika pernikahan digelar di New Zealand. Saya, Ippe, dan Rama Dauhan, sahabat saya, lantas mendiskusikan acara pernikahan dengan mood board yang kami konsepkan bersama.
Pertama, pencarian lokasi gunung sebagai tempat ijab kabul. Banyak hal harus dipertimbangkan. Memilih lokasi gunung di luar Pulau Jawa, tentu akan menyulitkan kerabat yang berusia tua. Mencari gunung di Indonesia pun tidak terbilang mudah. Ubud misalnya, meski memiliki gunung tapi tak memungkinkan untuk menghelat acara pernikahan. Ide gunung pun berganti menjadi hutan pinus. Setelah enam lokasi kami survey, pilihan kami jatuh pada Pine Forest Camp di Lembang. Sesuai dengan konsep kami yaitu raw wedding di mana hutannya sangat alami, datarannya tidak rata, dan susunan pohonnya tidak rapih.
Agar selaras dengan lokasi, kami sangat memerhatikan soal dekorasi. Aku meminta ke Airy Designs Decoration untuk sama sekali tidak memakai bunga di acara pernikahanku dan kalau pun memakai bunga jenisnya bukan mawar. Akhirnya kami memakai bunga ranunculus, lavender, dan pine cone supaya menyelaraskan dengan tempat acaranya. Begitu pula peralatan makan seperti meja, piring, sendok, dan gelas. Saya sempat kesulitan mendapatkan kursi persis seperti yang saya inginkan. Akhirnya meja dan kursi dibuat memakai bahan kayu asli tanpa finishing. Pihak dekor sengaja meletakkannya di lokasi tujuh hari sebelum acara supaya meja dan kursi kami terkena air dan embun di hutan agar tampak semakin alami. Penyuguhan makanan juga sangat penting. Saya ingin seperti acara makan-makan di kebun dengan masakan homemade. Kami tidak memakai catering pernikahan, tapi saya meminta ibunya sahabatku yang memasak supaya rasa dan sajiannya betul-betul seperti masakan ibu di rumah. Masalah muncul ketika tante Nita, ibunya temanku, ternyata tidak punya semua peralatan catering. Akhirnya saudaraku mencari peralatan makan di Progo, Jogjakarta. Piring makan berbahan kayu dibikin oleh Kemala Home Living. Rama Dauhan mencari sendok dan garpu berbahan kayu di Ubud, Bali. Karena rasanya tentu aneh jika makan di tengah hutan pinus tapi memakai peralatan makan berbahan stainless steal. Untuk souvenir, saya memilih pot terbuat dari tanah liat serta biji-bijian tumbuhannya dari Wedding Unique sebagai hadiah kenangan untuk tamu undangan.
HARI BAHAGIA
Pagi pukul 05.30, Adi Adrian mulai merias wajah saya. Tepat jam 9 pagi, akad nikah dimulai yang dihadiri 30 undangan. Saya mengenakan kebaya rancangan Didiet Maulana dan Ippe memakai baju yang dibuat oleh Rama Dauhan. Saat Ippe mengucap ijab kabul, hanya suaranya yang terdengar diiringi kicauan burung, suara angin, dan bunyi daun bergesekan terkena angin. Begitu indah dan menyenangkan. Acara berlanjut ke resepsi jam 4 sore dengan jumlah tamu 150 undangan. Saya memakai baju karya Mel Ahyar dan Ippe mengenakan setelan rancangan Rama Dauhan. Di altar wedding stage, Nikita Dompas, sahabat saya dan Ippe, menceritakan kisah persahabatannya dengan kami berdua. Saya dan Ippe bergabung dengan Nikita di atas wedding stage untuk melakukan exchanging wedding vow. Bukan seperti pemberkatan, acara ini lebih personal karena saya dan Ippe ingin mengucapkan janji pernikahan. Lalu prosesi wedding kiss kami lakukan dengan latar pemandangan gunung di belakang kami. Sungguh cantik! Dilanjutkan dengan acara flower shower diiringi lagu Here Comes The Sun milik The Beatles. Acara dinner berlangsung pukul 5 sore, lantas tamu undangan berkumpul bersama untuk menyaksikan kami memotong wedding cake. Semakin seru dengan testimoni sahabat dan bersenang-senang sambil berdansa diiringi musik DJ Dipha. Kemudian kami semua berpindah ke lokasi altar dan setiap orang bergegas menyalakan kembang api. Kian malam, kian seru. Tempat altar diubah menjadi lokasi karaoke. Alih-alih menggunakan band, kami memilih Ruang Rupa di mana tamu undangan dapat menyanyikan lagu apa saja sambil berdansa riang. Jelang pukul 8 malam, tempat akad nikah diubah tata letaknya untuk after party diiringi DJ Anton, Dj Hogi, dan DJ Cream.
Yang paling seru dari persiapan pernikahan adalah stress-nya. Semua hal sampai ke detail-nya dipersiapkan saya dan Ippe. Sementara pihak event organizer yaitu Ayodya Wedding bertugas saat hari H. Ippe sempat menasihati saya agar tetap tenang meski pun nantinya ada sesuatu terjadi di luar rencana. Dan saya percaya, saat hari pernikahan, Tuhan selalu menghadirkan keajaiban tak terduga. Kini setelah menikah, rasanya saya sangat bahagia. Saya merasakan sesuatu ada yang berubah menjadi lebih menyenangkan. (Rianty Rusmalia) foto: Anton Ismael, Ditto Aditya, Jacky Suharto, Vega Prabumi.