Hunza
Hotel kami tak jauh dari Baltit Fort, Istana Raja Hunza atau lebih dikenal dengan Mir Hunza. Istana ini sudah berdiri dari 700 tahun lalu, dan merupakan istana kedua yang dibagun di Hunza setelah Altit Fort. Keduanya memiliki arsitektur khas Tibet namun jauh lebih sederhana dari Istana Potala di Tibet. Yang tidak sederhana dari kedua istana ini adalah pemandang dari balkon utamanya. Boleh jadi Baltit Fort dan Altit Fort merupakan istana yang memiliki pemandangan paling indah di dunia.
Sorenya kami naik ke puncak Eagle’s Nest, di mana kami bisa melihat puncak-puncak tertinggi di Pegunungan Karakoram yang mengelilingi Lembah Hunza. Rakaposhi yang paling tinggi, bersebelahan dengan Puncak Diran, kemudian Spantik, Puncak Uttar di ketinggian 7.388 meter di atas permukaan laut, dan yang terdekat adalah Puncak Hunza dengan puncak Lady Finger yang menyerupai kelingking.
Budaya di Hunza terbilang unik dibanding daerah Pakistan yang lain. Mayoritas adalah dari suku Burusho yang berbahasa Burushaski. Bahasa Burushaski dikategorikan sebagai bahasa yang terisolasi, artinya tidak memiliki keterkaitan dengan bahasa manapun. Mereka beragama Islam Ismaili yang merupakan salah satu turunan dari Syiah.
Tidak seperti di provinsi KPK, orang Hunza lebih terbuka dan moderat. Tidak hanya alamnya saja yang luar biasa indah, para-paras warga Hunza pun seperti pangeran dan bidadari di negeri dongeng. Mereka berbola mata terang dengan kulit yang cerah, senyum mereka terlihat tulus dengan keramah-tamahan yang membuat minder. Mungkin jika ada pertanyaan mengenai daerah yang paling mirip gambaran surga, saya akan langsung menyebut Hunza.
Hunza pun baru benar-benar terhubung dengan dunia luar setelah dibangunnya Karakoram Highway, meskipun lama sebelum itu sudah ada Bangsa Yunani yang dinahkodai oleh Alexander Agung dan kemudian diikuti dengan jalur sutra.
Esoknya kami melanjutkan perjalanan ke Lembah Hoper. Sepanjang jalan mata saya tak lepas dari pemandangan di balik jendela mobil, sampil sesekali menganga. Pohon-pohon pinus yang menguning dengan kombinasi pohon aprikot yang bersemburat oranye kemerahan. Sungai berwarna toska, ditutup dengan latar belakang pegunungan salju yang runcing, ini seperti berada dalam mimpi.
Di Lembah Hoper kami disambut dengan makan siang mewah yang disiapkan penduduk lokal. Mereka banyak memasak masakan ayam, ada yang dibakar, dipanggang dan dibuat kari. Semuanya enak, meskipun masakan paling enak itu masih dipegang provinsi KPK. Salah satu atraksi utama area ini adalah Hoper Glacier yang memanjang hingga 18 kilometer dengan kedalaman lebih dari 500 meter. Untuk mencapai gletser, rute yang ditempuh cukup menyerap energi. Kita trekking menuruni terbing terjal selama kurang lebih 40 menit. Saya tak sanggup membayangkan jika glacier ini meleleh, tentunya akan ada bencana besar menimpa penduduk Lembah Hoper, bahkan, bukan tidak mungkin, seluruh Hunza.