Setelah ditunda sementara, pelan-pelan dunia seperti kembali berputar. Denyut keseharian kembali mengisi jalan-jalan di berbagai kota. Orang-orang kembali berkegiatan. Mencoba mendefinisikan dan mempraktikkan tatanan yang dianggap normal baru.
Menutup sementara bisnis dan menerapkan pembatasan sosial bagi publik adalah satu hal. Namun, transisi untuk membuka kembali dunia adalah pembicaraan yang lain lagi. Sebabnya jelas, pandemi belum usai. Kata seorang kawan, virusnya tak terlihat tapi masih ada. Maka dari itu praktik membuka kembali ekonomi tak sesederhana kembali membolehkan orang-orang berkegiatan begitu saja. Harus ada aturan main yang jelas untuk memastikan keamanan dan kesehatan publik.
Semua orang kemudian membicarakan New Normal, alias normal yang baru. Kita kita sedang mengkaji bersama-sama bagaimana menjalani tatanan kehidupan yang baru di tengah pandemi. Dan yang paling sering dibicarakan adalah bagaimana memulihkan sektor pariwisata yang terpukul begitu parah.
Indonesia bukan satu-satunya negara yang melonggarkan aturan lockdown dan mendorong pemulihan sektor pariwisata mereka. Perdana Menteri Selandia Baru, Jacinda Ardern mengumumkan negaranya bebas virus COVID-19 pada awal Juni 2020. Ia kemudian mengumumkan pembukaan kembali ekonomi di negaranya. Jacinda juga mendorong turisme domestik di negaranya setelah negara itu dinyatakan bebas COVID-19. Tentu tetap dengan protokol yang ketat. Ini termasuk pula membuka pintu kedatangan bagi warga Selandia Baru dari luar negeri yang akan pulang. Namun, bahkan dengan protokol yang ketat sekalipun, Selandia Baru mengumumkan dua kasus baru yang berasal dari dua pendatang dari Inggris. Dua pendatang tersebut lolos karena mereka diperbolehkan keluar lebih awal dari fasilitas karantina yang dikelola pemerintah di bawah mandat compassionate exemption. Melihat hal itu, Jacinda pun langsung mencabut aturan compassionate exemption.
Jadi bisa dibayangkan rumitnya proses pembukaan kembali ekonomi dan mobilisasi masyarakat. Jangankan lintas negara. Dalam konteks Indonesia, bahkan mobilisasi lintas provinsi atau lintas pulau pun menjadi hal yang perlu dimitigasi dengan matang. Maka dari itu Juru Bicara Penanganan Dampak COVID-19 Sektor Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Ari Juliano Gema menyatakan pemerintah kini sedang menyiapkan protokol kesehatan utama yang akan menjadi acuan bagi tiap-tiap pemerintah daerah untuk membuka wilayah dan kegiatan ekonomi mereka kembali.
Salah satu yang paling utama adalah daerah yang dimaksud harus sudah dipastikan sebagai zona hijau. Artinya di daerah tersebut terjadi penurunan kasus positif selama dua pekan berturut-turut sejak puncak terakhir sebanyak 50 persen. Begitu pula penurunan kasus probable. Selain itu daerah yang bersangkutan juga mesti menunjukkan peningkatan jumlah pasien sembuh dan peningkatan jumlah testing dengan rasio positif lima persen dari sample yang dites. Sementara dari segi fasilitas kesehatan, pemerintah daerah mesti memastikan rumah sakit yang bisa menampung lebih dari 20 persen pasien positif COVID-19. Dan jumlah tempat tidur di tiap rumah sakit rujukan COVID-19 harus bisa menampung lebih dari 20 persen pasien positif COVID-19, orang dalam pengawasan, dan pasien dalam pengawasan.
Namun, jikapun sudah terpenuhi, tidak serta merta wilayah itu bisa kembali dibuka. Sebab semua bergantung kepada keputusan dan kesiapan tiap-tiap pemerintah daerah. “Pemerintah pusat hanya memberikan pertimbangan melalui analisis data dan fakta di lapangan. Nantinya daerah-daerah yang sudah ditentukan zona hijau tadi yang memutuskan sesuai kesiapannya masing-masing,” lanjut Ari saat dihubungi Dewi lewat sambungan panggilan video.
Itu baru dari sisi prasyarat agar suatu daerah bisa membuka kembali wilayahnya. Belum bicara soal operasional di lapangan ketika wilayah-wilayah ini membuka diri kembali. Lebih lanjut Ari menjelaskan secara garis besar ada tiga hal yang coba diterapkan ketika sektor pariwisata mulai kembali dibuka. Mulai dari reservasi yang sebisa mungkin dilakukan online, pembatasan kuota pengunjung, dan penetapan jam kunjungan. Semua ini dilakukan demi memastikan penerapan protokol jaga jarak.