Dibanding Labuan Bajo, nama Ruteng mungkin masih belum banyak yang mengenal. Namun jika Anda pernah atau sudah menyusun rencana berkunjung ke Waerebo, Ruteng pasti sudah lebih familier di telinga Anda. Ini karena biasanya pelancong akan singgah terlebih dahulu ke kota kecamatan di Kabupaten Manggarai ini, sebelum melanjutkan perjalanan ke titik pendakian ke Waerebo di Kecamatan Satarmese Barat.
Suasananya teduh, berhawa sejuk, dan Ruteng juga punya pemandangan perbukitan yang cantik. Tenang saja, akses internet di pusat kota Ruteng ini terbilang lancar, sehingga tak perlu khawatir terjadi susah sinyal. Menginap beberapa hari saja di sini pasti akan membuat Anda ingin kembali mengunjunginya.
Iklim perbukitan yang sejuk
Sempatkan untuk bangun pagi dan menikmati riuhnya suasana kota kecil ini jika Anda berkesempatan mampir ke Ruteng. Tata kotanya rapi dan jalanannya pun beraspal, sehingga nyaman untuk jogging atau jalan kaki. Jangan lupa juga untuk mampir ke warung dekat penginapan Anda, lalu beli kue kompiang untuk disantap bersama secangkir kopi Manggarai untuk menyegarkan pagi Anda.
Sepanjang perjalanan pagi, Anda akan ditemani dengan hawa yang sejuk serta siluet perbukitan di horizon. Di sini cuacanya kerapkali mendung, tetapi saya beruntung bisa mengalami hari cerah di Ruteng saat berkunjung ke sana September 2021 lalu. Langitnya biru dengan semburat putih awan, anginnya sejuk, dan lanskap perbukitan yang mengelilingi Ruteng terlihat begitu jelas.
Kota seribu gereja
Ruteng memiliki banyak sekali gereja Katolik yang tersebar di berbagai sudut kotanya. Ada Gereja Santo Mikhael Kumba, Gereja Katolik Kristus Raja Mbaumuku, Gereja Santo Fransiskus Assisi Karot, dan masih banyak lagi lainnya. Karena itulah Ruteng dijuluki ‘Kota Seribu Gereja.’ Yang paling menarik perhatian adalah Gereja Santo Yoseph Keuskupan Ruteng yang juga dikenal sebagai Gereja Katedral Lama, dengan atap runcing menjulang yang bergaya Eropa lama.
Banyaknya gereja di Ruteng tak lepas dari sejarahnya. Selain riwayat penjajahan Portugis yang pernah menguasai daerah ini, Ruteng juga dikembangkan oleh para misionaris gereja pada masa Politik Etis Belanda di awal tahun 1900-an, yang bertujuan meningkatkan kesejahteraan rakyat Hindia Belanda—Indonesia kala itu.
Wisata alam dan budaya
Selain berjuluk ‘Kota Seribu Gereja,’ Ruteng juga disebut sebagai kota transit. Ini karena kebanyakan pelancong mengunjungi Ruteng saat mereka hendak menuju Waerebo, kampung adat yang juga dikenal sebagai 'Desa Di Atas Awan,' yang berjarak sekitar 62 km ke arah Barat Daya. Pelancong biasanya hanya tinggal selama beberapa hari saja di Ruteng, padahal Ruteng sendiri punya beberapa wisata alam dan budaya yang menarik untuk dikunjungi.
Jika Waerebo dirasa terlalu jauh untuk dikunjungi atau Anda enggan menempuh jalur pendakian selama 2-3 jam, mengunjungi Kampung Tradisional Todo di Kecamatan Satarmese bisa menjadi alternatif. Anda juga bisa melihat sistem persawahan di Manggarai yang menyerupai laba-laba di Lodok Cancar. Penggemar wisata sejarah pun bisa mampir ke Liang Bua, tempat ditemukannya manusia purba homo florensis, yang rencananya akan dikembangkan menjadi museum terbuka oleh pemerintah setempat.
Ruteng yang teduh dan rapi, serta pemandangan perbukitan yang cantik membuat saya jatuh hati dengan kesederhanaannya. Jika sebelumnya hanya sempat transit di ‘Kota Seribu Gereja’ ini, semoga saja kunjungan berikutnya bisa berkesempatan tinggal lebih lama untuk berkeliling Ruteng.
Mardyana Ulva
Foto: dok. pribadi
Topic
TravelAuthor
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"
RUNWAY REPORT
Mengkaji Kejayaan Sriwijaya Bersama PT Pupuk Indonesia