Pulau Sumba seakan menjadi kampung halaman kedua bagi Eros Eflin. Pulau ini sangat indah, begitu kata Pengarah Artistik peraih Piala Citra ini. Ia memang tak banyak berkata-kata, cukup mengabadikannya dalam sebuah gambar, dan orang-orang pun akan langsung mengerti keelokan alam yang ia kagumi.
Begitu banyak keindahan tersembunyi di pulau di Nusa Tenggara Timur ini. Mulai dari sepotong tenun ikat yang bisa memakan waktu berbulan-bulan dalam pengerjaannya, hingga budaya dan tradisinya yang seperti tak tersentuh oleh dunia luar. Meski memiliki kontak dengan dunia luar, Sumba adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang masih mempraktikkan penguburan megalitik.
Sebagai pekerja kreatif, waktu kerja Eros berbeda dari pekerja kebanyakan, yang artinya hari liburnya pun berbeda pula. Namun setiap kali memiliki waktu bebas, ia gunakan untuk berkelana, entah ke tempat yang dekat saja atau harus menempuh perjalanan panjang. Penting baginya untuk menenangkan pikiran, menjauhi hiruk pikuk kota dan rutinitas kehidupan. Berbekal smartphone, ia mengabadikan keindahan yang ia temui untuk dibawa pulang sebagai cindera mata, sepotong cerita perjalanan, bagian dari dirinya.
Pegunungan, pantai, dan pedesaan dipilihnya sebagai tempat ‘melarikan diri’. Tak ada alasan pasti, sekedar mencari kedamaian, atau rasa menyatu dengan alam. Mungkin saja itu alasan yang membawanya selalu kembali ke Sumba. Menghirup udaranya, mendaki bukit-bukit, serta merambah pantai yang seakan memberi energi baru.
Bentang alam Sumba rendah dengan bukit kapur, bukan gunung berapi curam yang biasa terlihat di banyak pulau di Indonesia. Sisi barat pulau ini lebih subur dan lebih padat daripada bagian timur. Salah satu yang membuat Sumba selalu dikenang adalah alamnya yang begitu dramatis ketika diabadikan. Seperti pohon-pohon bakau yang tampak seperti menari di Pantai Walakiri. Tunggulah hingga matahari terbenam ketika air laut surut, maka pemandangan yang tiada duanya pun telah siap menanti. (Nofi Triana Firman) Foto: Eros Eflin.
Begitu banyak keindahan tersembunyi di pulau di Nusa Tenggara Timur ini. Mulai dari sepotong tenun ikat yang bisa memakan waktu berbulan-bulan dalam pengerjaannya, hingga budaya dan tradisinya yang seperti tak tersentuh oleh dunia luar. Meski memiliki kontak dengan dunia luar, Sumba adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia yang masih mempraktikkan penguburan megalitik.
Sebagai pekerja kreatif, waktu kerja Eros berbeda dari pekerja kebanyakan, yang artinya hari liburnya pun berbeda pula. Namun setiap kali memiliki waktu bebas, ia gunakan untuk berkelana, entah ke tempat yang dekat saja atau harus menempuh perjalanan panjang. Penting baginya untuk menenangkan pikiran, menjauhi hiruk pikuk kota dan rutinitas kehidupan. Berbekal smartphone, ia mengabadikan keindahan yang ia temui untuk dibawa pulang sebagai cindera mata, sepotong cerita perjalanan, bagian dari dirinya.
Pegunungan, pantai, dan pedesaan dipilihnya sebagai tempat ‘melarikan diri’. Tak ada alasan pasti, sekedar mencari kedamaian, atau rasa menyatu dengan alam. Mungkin saja itu alasan yang membawanya selalu kembali ke Sumba. Menghirup udaranya, mendaki bukit-bukit, serta merambah pantai yang seakan memberi energi baru.
Bentang alam Sumba rendah dengan bukit kapur, bukan gunung berapi curam yang biasa terlihat di banyak pulau di Indonesia. Sisi barat pulau ini lebih subur dan lebih padat daripada bagian timur. Salah satu yang membuat Sumba selalu dikenang adalah alamnya yang begitu dramatis ketika diabadikan. Seperti pohon-pohon bakau yang tampak seperti menari di Pantai Walakiri. Tunggulah hingga matahari terbenam ketika air laut surut, maka pemandangan yang tiada duanya pun telah siap menanti. (Nofi Triana Firman) Foto: Eros Eflin.