Pantai pasir putih Ling Al disebut penduduk setempat sebagai pantai tercantik di Pulau Alor. Letaknya di Alor Besar yang menjadi pusat pemerintahan kabupaten ini. Namun lokasinya yang tersembunyi membuat pantai ini lebih mudah diakses melalui jalan laut.
Begitu kapal bergerak membelah teluk, perbukitan hijau terhampar. Kapal-kapal gabus hilir mudik. Nelayan tampak menjaring ikan secara tradisional. Tiga puluh menit melaju, laut biru muda bersalin rupa menjadi biru tua pekat yang seolah tanpa batas. Rupanya kami telah sampai di perairan dalam. Angin kencang menderu, membentuk riak-riak gelombang. Tiba-tiba pemandu kami berseru, “Lihat!” Sekeluarga lumba-lumba sedang asyik berenang. “Lumba-lumba adalah pemandangan yang biasa. Mereka sering menemani kapal-kapal melintas di lautan Alor,” paparnya lebih lanjut.
Menuju Ling Al, kapal melintasi gugusan pulau yang terkenal dengan situs penyelamannya. Titik penyelaman di Alor Kecil dan pulau Kepa misalnya, sangat populer di kalangan penyelam internasional, yang mengatakan bahwa taman bawah laut Alor merupakan salah satu yang terindah di dunia. Alor berada tepat di pusat coral triangle, atau area dengan variasi koral dan kehidupan laut paling kaya di dunia, yang meliputi Indonesia bagian timur, sebagian Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon. Ada sekitar 50an titik penyelaman di kepulauan Alor.
Bagi penyelam, tingkat visibilitas di laut Alor sangat tinggi. Lautnya jernih, sehingga menyelam di kedalaman 30 meter bagai menyelam di kedalaman 10 meter. Namun arus bawah lautnya memang kuat, sehingga hanya penyelam profesional atau menyelam dengan pemandu adalah pilihan bagi mereka yang ingin melihat ‘harta’ bawah laut Alor.
Namun, Alor bukan hanya surga bagi penyelam. Kunjungan ke pantai Ling Al menjadi salah satu alasan. Dari atas kapal, kami menyaksikan pasir putih yang membentang sejauh mata memandang. Tapi tidak ada dermaga untuk kapal ditambatkan. Tiba-tiba seorang anak buah kapal berenang ke pantai. Ia memanggil seorang nelayan yang tinggal tak jauh dari bibir pantai. Sebentar kemudian, satu kapal gabus kecil yang hanya bisa memuat 4 orang, termasuk sang pengemudi, menjadi feeder menuju pantai.
Butiran pasir di Ling Al sangat lembut di kaki. Tidak satu pelancong pun terlihat di sini, kecuali orang-orang yang datang dengan kapal kami. Tak ada kios penjual makanan atau minuman. Pemandu kemudian mengajak mendaki bukit yang berbatu dan cukup terjal. Tanahnya cokelat dengan ilalang-ilalang kering menjulang sepinggang. Meski hanya butuh waktu kurang dari 30 menit untuk mencapai puncaknya, perjalanan ini tidak mudah. Jalan setapak tak ada. Kami menjejak bebatuan yang ternyata cukup licin, mengikuti insting semata.
Menjelang tengah hari, kami tiba di puncak bukit. Sengatan panas dan rasa lelah seolah hilang ketika memandang suguhan alam. Laut biru jernih. Kumpulan koralnya bahkan terlihat dari atas bukit. Setelah itu saat untuk menuruni bukit dan bermain di pantai. Ombak agak tinggi, tapi laut bersih terlalu menggoda. Tidak perlu bingung memikirkan harus membilas tubuh setelah berenang. Keringkan saja tubuh dengan handuk. Ajaibnya rasa lengket tak bersisa. (WS) Foto: Dok. Jane Djuarahadi
Begitu kapal bergerak membelah teluk, perbukitan hijau terhampar. Kapal-kapal gabus hilir mudik. Nelayan tampak menjaring ikan secara tradisional. Tiga puluh menit melaju, laut biru muda bersalin rupa menjadi biru tua pekat yang seolah tanpa batas. Rupanya kami telah sampai di perairan dalam. Angin kencang menderu, membentuk riak-riak gelombang. Tiba-tiba pemandu kami berseru, “Lihat!” Sekeluarga lumba-lumba sedang asyik berenang. “Lumba-lumba adalah pemandangan yang biasa. Mereka sering menemani kapal-kapal melintas di lautan Alor,” paparnya lebih lanjut.
Menuju Ling Al, kapal melintasi gugusan pulau yang terkenal dengan situs penyelamannya. Titik penyelaman di Alor Kecil dan pulau Kepa misalnya, sangat populer di kalangan penyelam internasional, yang mengatakan bahwa taman bawah laut Alor merupakan salah satu yang terindah di dunia. Alor berada tepat di pusat coral triangle, atau area dengan variasi koral dan kehidupan laut paling kaya di dunia, yang meliputi Indonesia bagian timur, sebagian Malaysia, Filipina, Papua Nugini, Timor Leste dan Kepulauan Solomon. Ada sekitar 50an titik penyelaman di kepulauan Alor.
Bagi penyelam, tingkat visibilitas di laut Alor sangat tinggi. Lautnya jernih, sehingga menyelam di kedalaman 30 meter bagai menyelam di kedalaman 10 meter. Namun arus bawah lautnya memang kuat, sehingga hanya penyelam profesional atau menyelam dengan pemandu adalah pilihan bagi mereka yang ingin melihat ‘harta’ bawah laut Alor.
Namun, Alor bukan hanya surga bagi penyelam. Kunjungan ke pantai Ling Al menjadi salah satu alasan. Dari atas kapal, kami menyaksikan pasir putih yang membentang sejauh mata memandang. Tapi tidak ada dermaga untuk kapal ditambatkan. Tiba-tiba seorang anak buah kapal berenang ke pantai. Ia memanggil seorang nelayan yang tinggal tak jauh dari bibir pantai. Sebentar kemudian, satu kapal gabus kecil yang hanya bisa memuat 4 orang, termasuk sang pengemudi, menjadi feeder menuju pantai.
Butiran pasir di Ling Al sangat lembut di kaki. Tidak satu pelancong pun terlihat di sini, kecuali orang-orang yang datang dengan kapal kami. Tak ada kios penjual makanan atau minuman. Pemandu kemudian mengajak mendaki bukit yang berbatu dan cukup terjal. Tanahnya cokelat dengan ilalang-ilalang kering menjulang sepinggang. Meski hanya butuh waktu kurang dari 30 menit untuk mencapai puncaknya, perjalanan ini tidak mudah. Jalan setapak tak ada. Kami menjejak bebatuan yang ternyata cukup licin, mengikuti insting semata.
Menjelang tengah hari, kami tiba di puncak bukit. Sengatan panas dan rasa lelah seolah hilang ketika memandang suguhan alam. Laut biru jernih. Kumpulan koralnya bahkan terlihat dari atas bukit. Setelah itu saat untuk menuruni bukit dan bermain di pantai. Ombak agak tinggi, tapi laut bersih terlalu menggoda. Tidak perlu bingung memikirkan harus membilas tubuh setelah berenang. Keringkan saja tubuh dengan handuk. Ajaibnya rasa lengket tak bersisa. (WS) Foto: Dok. Jane Djuarahadi