Baca Pengalaman Titania Veda Melakukan Yoga di Pegunungan Hindu Kush Pakistan
Menikmati yoga penuh kedamaian di pegunungan Hindu Kush, Pakistan.
17 Dec 2015


1 / 5
Di musim panas kemarin, saya, Titania Veda, menjelajah area Pegunungan Hindu Kush, yang merentang sepanjang 800km dari Afghanistan hingga bagian utara Pakistan. Tujuannya satu, mengikuti retret yoga yang diprakarsai oleh Aisha Chapra, seorang pengajar yoga ternama asal Pakistan. Banyak yang mengatakan lokasi yang saya pilih sebagai destinasi yoga sangat tidak biasa. Tapi selama 15 tahun terakhir, negara ini, dengan kultur dan budaya lokalnya, telah memiliki tempat tersendiri di hati. Maka tanpa pikir panjang, saya langsung mengambil kesempatan untuk bisa bertandang ke area utara Pakistan.
 
Dengan latar belakang politiknya, negara ini memang memiliki isu protokol keamanan yang sangat ketat untuk para pelancong dari negara luar. Namun jika Anda mengikuti prosedur dan didampingi oleh pemandu lokal terpercaya, kekhawatiran yang ditakutkan sebagian besar orang, sangat tidak mungkin ditemui. Meski demikian, menurut Aisha, saya adalah turis asing pertama yang menjadi peserta retret yoga tahunan yang sudah ia selenggarakan sejak 2012 lalu.
 
Aisha adalah pengajar yoga bersertifikasi dari Yoga Alliance internasional, dengan pengalaman lebih dari enam tahun. Ia mendalami yoga dengan belajar di Yandara Yoga Institute di Meksiko hingga Sivananda Yoga Institute di India. Dengan kombinasi eklektik yang memadukan jenis yoga tradisional Hatha dengan kelembutan yoga Vinyasa, Aisa menciptakan gerakan yang menggabungkan kedua jenis yoga tersebut dengan seni beladiri tai chi dan qi gong. Targetnya adalah membentuk kekuatan inti tubuh, fleksibilitas dan keseimbangan fisik dan psikis. Praktik yoga yang ia kembangkan ini bisa diterapkan bagi pemula hingga mereka yang sudah berpengalaman. “Intinya bagi siapa saja yang ingin mengeksplorasi kekuatan tubuh mereka dengan kelembutan dan kasih sayang. Yoga yang saya terapkan bisa untuk penyembuhan ataupun untuk keseimbangan holistik seseorang,” ujar Aisha.
 
 Dalam setiap retret tahunan yang ia adakan, Aisha membatasi pesertanya hanya sejumlah 8 orang saja. Tujuannya agar pengalaman yang didapat tetap intim dan personal. Dalam setahun, Aisha mengadakan tiga kelompok retret yoga musim panas di berbagai lokasi di area pegunungan Pakistan utara. Area pegunungan yang sejuk dipilih karena di musim panas, suhu udara di perkotaan bisa mencapai hingga 40 derajat selsius. Peserta kali ini datang dari Karachi dan Islamabad, serta tentu saja saya, dari Indonesia. Rentang usia peserta di kelompok kami beragam, begitu juga dengan kemampuan yoga yang kami miliki.     
 
Kami berkumpul di bandara di Islamabad, ibukota Pakistan, dan setelah perjalanan udara sekitar 45 menit, kami pun tiba di Chitral, distrik di barat laut Pakistan yang berada di propinsi Khyber Pakhtunkhwa. Kota ini berada di kaki gunung Tirich Mir, yang memiliki puncak gunung tertinggi di Hindu Kush dengan ketinggian 7.780m. Alternatif lain untuk tiba di kota ini, selain dengan menaiki pesawat adalah dengan berkendara sekitar 12 jam dengan pemandangan lansekap pegunungan Swat Valley. Area ini pernah dikenal sebagai daerah pertahanan militer Taliban. Meski terdengar menyeramkan, namun beberapa tahun terakhir, setelah gerilyawan Taliban dipukul mundur, Swat Valley mulai dibanjiri turis lokal. Chitral, kini adalah tempat ‘bermain’ kaum elit Pakistan yang mendambakan kesejukan pegunungan di musim panas yang menyengat.
 
Dua malam pertama, kami menginap di Hindukush Heights, butik hotel dengan pemandangan pegunungan 180 derajat, kemanapun mata Anda menuju. Dibuka di tahun 1997, hotel ini dijalankan oleh Siraj Ul-Mulk, keturunan keluarga kerajaan Chitral, dan istrinya Ghazala. Hari-hari di sini diisi dengan ketenangan dan kedamaian. Kami berjalan-jalan berkeliling pedesaan, melakukan sesi yoga outdoor dua kali dalam sehari, dengan pemandangan pegunungan yang puncaknya ditutupi salju, dan menghabiskan sore dengan minum teh di kebun yang semarak dengan aroma bunga mawar dan lavender yang tumbuh liar.
 
Hari-hari berikutnya, kami melakukan perjalanan ke Benteng Mastuj, sekitar empat jam berkendara ke arah utara Chitral. Sepanjang perjalanan, mata terpuaskan dengan keindahan alam pedesaan Pakistan dengan latar belakang pegunungan dan lembah-lembah hijau yang subur. Beberapa kali, kami berpapasan dengan anak-anak kecil yang berjalan kaki menuju sekolah, perempuan-perempuan dusun yang mengenakan busana tradisional shalwar-kameez berwarna warni, sibuk memanen hasil bumi, dan para pria yang mengenakan penutup kepala yang disebut pakol. Ini adalah sejenis topi berbentuk seperti beret, yang dibuat dari wol.
 
Setibanya di Mastuj Fort, kami disambut dengan vila-vila kayu dan kebun hijau dengan berbagai tumbuhan berbunga. Benteng ini kini menjadi bagian dari peternakan yang dimiliki oleh keluarga besar Ul-Mulk. Hasil perkebunan, tanaman organik, daging dan unggas yang mereka ternakan di sini menjadi suplai utama untuk restoran mereka di Hindukush Heights dan para tamu yang menginap di benteng.  
 
Di Mastuj, kami merasakan yoga ‘alfresco’ dalam kondisi paling prima. Di udara terbuka pagi hari yang segar, Aisha akan memandu kami mengawali hari dengan gerakan yoga energik yang membakar semangat. Sore harinya, ia mengajak kami untuk melewati sesi mindfulness yang penuh ketenangan. Saat matahari terbenam di ufuk barat, kami akan bermeditasi dengan menghadap ke pegunungan.  
 
Di waktu lain ketika kami tidak sedang mempraktikkan yoga, adalah saatnya berpetualang. Untuk paket retret ini, Hindukush Heights menyediakan kendaraan four wheel drive dan pemandu lokal yang sedia mengantar kami berkeliling. Bagi mereka yang ingin berwisata kultural, akan dibawa ke Kalash Valley, mengunjungi lembah Rumbur, Bunboret, dan Bibir yang berada dekat dengan perbatasan Afghanistan. Penduduk lokal Kalash, adalah suku kuno dengan ragam budaya dan kepercayaan yang mereka anut turun temurun. Konon, suku ini adalah keturunan tentara Alexander The Great yang dulu menduduki area ini di abad ke 4. Sebagai kaum pagan, mereka adalah komunitas minoritas di Pakistan yang penduduknya mayoritas Muslim.   
 
Ketika kami tiba di Kalash, mereka sedang merayakan datangnya musim semi dengan festival rakyat yang begitu hidup dan meriah. Para penduduk berdansa dengan mengenakan busana kaya warna, dan bersenang-senang sembari meneguk bergelas-gelas mulberry wine yang aromanya sangat seduktif. Selain berjalan-jalan berkeliling desa, kami bahkan diajak untuk mengintip kegiatan belajar mengajar di sekolah-sekolah rakyat di area ini. Aisha bekerjasama dengan Aga Khan Foundation, lembaga LSM yang bertujuan untuk mencari solusi jangka panjang untuk kesejahteraan pendidikan dan kesehatan di berbagai negara.  
 
Bagi pecinta alam, pilihan untuk trekking dan piknik di Birmoghlasht, yang dikenal dengan nama “Summer Palace”, jelas tidak mungkin dilewatkan. Ini adalah tempat dimana keluarga kerajaan Chitrali menghabiskan sepanjang musim panas mereka. Spot ini juga terkenal sebagai area bermain paragliding yang seru. Namun yang paling menakjubkan adalah kesempatan untuk bertandang ke Shandur Top. Berada di ketinggian 12,200 kaki dari atas laut, Shandur adalah area dataran tinggi yang dijuluki “Roof of the World’. Atraksi alam utama adalah danau Shandur yang airnya begitu jernih, merefleksikan lingkaran pegunungan dengan puncaknya yang bersalju. Area ini juga menjadi salah satu area pertandingan polo nasional yang diadakan rutin setiap tahun sejak 1936.   
 
Anda juga dipersilahkan untuk menjelajah benteng Mastuj yang berusia sekitar 300 tahun, dan bertandang ke kediaman keluarga ul-Mulk yang berada di samping benteng, dan berkeliling desa untuk membeli madu atau kacang mete, yang bisa Anda nikmati sembari membaca novel di tengah kebun Mastuj. 
 
Hasil bumi memang melimpah di dataran tinggi yang subur ini. Selama kunjungan kami, makanan lokal yang disajikan begitu segar, bervariasi dan banyak ragamnya. Apalagi disantapnya pun di udara segar, di bawah tenda outdoor yang berada di sisi depan vila kami. Asparagus dan jamur yang tersaji di piring, baru saja dipetik beberapa jam sebelumnya di perkebunan ul-Mulk, dan ikan yang kami santap pun baru tadi pagi dipancing dari sungai yang membelah lembah. Untuk santap malam di hari terakhir, kami disajikan domba muda panggang. Sembari menunggu dagingnya empuk, kami menunggu dengan bercengkrama di hadapan api unggun yang menyala hangat, ditemani iringan musik Urdu dan Hindi yang melodik.  
 
Pagi berikutnya adalah sesi yoga terakhir kami sebelum berpamitan pada para pengurus Mastuj Fort. Berkendara kembali ke Chitral, kami berhenti sebentar di tepi sungai Kunar karena melihat kehadiran markhor sedang asyik mengunyah rumput. Ini adalah kambing liar raksasa yang hanya hidup di area ini dan jarang menampakkan diri. Melihat markhor menjadi penutup manis bagi perjalanan kami yang memesona.
 
Di negara yang bagi banyak orang diasosiasikan dengan kekerasan dan pertumpahan darah, saya beruntung bisa merasakan sisi kelembutan dan keindahan Pakistan. Baik dari keramahan penduduk lokalnya, kulturnya yang unik, dan panorama alamnya yang luar biasa. (TV). Foto: Dok Titania 
 

 

Author

DEWI INDONESIA