Di bagian barat Mongolia, Auguste Soesastro berefleksi. Dapatkah manusia yang hidup di kota, pindah haluan dan hidup seperti para nomad? Tanpa alamat rumah permanen, tanpa tumpukan barang yang tak lagi terpakai namun punya sejarah tersendiri. Di Mongolia, hidup menjadi sederhana di tengah alam liar.
Rasanya tidak berlebihan jika mengatakan seorang Mongol tanpa kuda adalah seperti burung tanpa sayap. Kuda adalah bagian penting dalam kehidupan bangsa Mongol sejak masa penaklukan Kekaisaran Mongol pada abad ke-13 hingga masa kini. Ada lebih dari tiga juta kuda yang hidup bebas di Mongolia. Jumlah yang kurang lebih sama dengan manusia yang tinggal di tanah tersebut. Elizabeth Kimball Kendall yang melakukan perjalanan melalui Mongolia pada tahun 1911, dalam bukunya A Wayfarer in China menyatakan orang Mongol tanpa kudanya hanya setengah orang Mongol, tetapi dengan kuda, ia sama baiknya dengan dua orang lelaki.
Seorang teman bercerita tentang pengalamannya mengeksplorasi Mongolia dan memperlihatkan foto-foto pemandangan yang luar biasa. Itu sudah cukup menggugah hati saya untuk pergi ke sana. Ini memang bukan destinasi liburan yang lazim tapi tidak juga lokasi yang begitu absurd dijadikan tujuan wisata. Semua tergantung tujuan liburan dan apa yang akan kita lakukan di sana nanti. Lagipula Mongolia termasuk daerah yang relatif aman. Saya dan tiga teman pun memutuskan untuk berangkat menjelajahi sebagian Mongolia, di atas punggung kuda.
Kami pergi di musim panas. Waktu penerbangan dari Jakarta ke Ulan Bator, ibukota Mongolia, sekitar 11 jam. Dari situ, kami masih perlu melanjutkan penerbangan domestik sekitar 1,5 jam ke Olgii, kota terbesar kedua di Mongolia. Tujuan kami masih jauh, kira-kira enam jam perjalanan lagi ke arah barat Mongolia menggunakan van. Mobil yang digunakan sangat spesifik karena harus melewati jalan pegunungan yang berbatu.
Menjelang malam, kami akhirnya sampai ke Pegunungan Altai. Pegunungan ini berada di Asia Tengah dan Timur, melintasi Rusia, Cina, Mongolia, dan Kazakhstan. Secara bahasa, Altai (atau sering juga ditulis Altay) berarti gunung keemasan. Kendati ini adalah musim panas, temperatur di malam hari dapat turun dengan tajam hingga 10 derajat Celcius, padahal di siang hari suhu berkisar antara 24-25 derajat.
Di tengah pegunungan Mongolia ini, tidak ada hotel. Pengunjung dapat tinggal di tenda-tenda penduduk. Masyarakat Mongolia hidup secara nomaden atau berpindah-pindah. Karena itu tidak ada bangunan tetap, mereka tinggal di dalam tenda yang disebut ger dalam bahasa Mongolia dan yurt dalam bahasa Turki. Tenda ini unik, berbentuk seperti silinder, dalamnya dilapisi bulu domba sementara di bagian luar tertutup terpal atau kain blacu berwarna putih. Katanya dulu bagian luar pun tertutup oleh kulit namun sepanjang perjalanan ini saya tidak menemukannya lagi.
Mereka hidup bersama keluarga besar. Biasanya rumah mereka terdiri dari tiga tenda, salah satu tenda inilah yang kemudian disewakan kepada para pengembara seperti kami. Bagian tengah tenda selalu ada kompor. Inilah jantung dari sebuah hunian di Mongolia bagian barat, tempat seluruh anggota keluarga berkumpul, memasak, dan menghangatkan diri di kala malam. Kami tergolong hidup dalam ‘kemewahan’ karena operator tur kami membangun kamar mandi portable, di saat yang lain hanya digalikan lubang saja.
Seorang teman bercerita tentang pengalamannya mengeksplorasi Mongolia dan memperlihatkan foto-foto pemandangan yang luar biasa. Itu sudah cukup menggugah hati saya untuk pergi ke sana. Ini memang bukan destinasi liburan yang lazim tapi tidak juga lokasi yang begitu absurd dijadikan tujuan wisata. Semua tergantung tujuan liburan dan apa yang akan kita lakukan di sana nanti. Lagipula Mongolia termasuk daerah yang relatif aman. Saya dan tiga teman pun memutuskan untuk berangkat menjelajahi sebagian Mongolia, di atas punggung kuda.
Kami pergi di musim panas. Waktu penerbangan dari Jakarta ke Ulan Bator, ibukota Mongolia, sekitar 11 jam. Dari situ, kami masih perlu melanjutkan penerbangan domestik sekitar 1,5 jam ke Olgii, kota terbesar kedua di Mongolia. Tujuan kami masih jauh, kira-kira enam jam perjalanan lagi ke arah barat Mongolia menggunakan van. Mobil yang digunakan sangat spesifik karena harus melewati jalan pegunungan yang berbatu.
Menjelang malam, kami akhirnya sampai ke Pegunungan Altai. Pegunungan ini berada di Asia Tengah dan Timur, melintasi Rusia, Cina, Mongolia, dan Kazakhstan. Secara bahasa, Altai (atau sering juga ditulis Altay) berarti gunung keemasan. Kendati ini adalah musim panas, temperatur di malam hari dapat turun dengan tajam hingga 10 derajat Celcius, padahal di siang hari suhu berkisar antara 24-25 derajat.
Di tengah pegunungan Mongolia ini, tidak ada hotel. Pengunjung dapat tinggal di tenda-tenda penduduk. Masyarakat Mongolia hidup secara nomaden atau berpindah-pindah. Karena itu tidak ada bangunan tetap, mereka tinggal di dalam tenda yang disebut ger dalam bahasa Mongolia dan yurt dalam bahasa Turki. Tenda ini unik, berbentuk seperti silinder, dalamnya dilapisi bulu domba sementara di bagian luar tertutup terpal atau kain blacu berwarna putih. Katanya dulu bagian luar pun tertutup oleh kulit namun sepanjang perjalanan ini saya tidak menemukannya lagi.
Mereka hidup bersama keluarga besar. Biasanya rumah mereka terdiri dari tiga tenda, salah satu tenda inilah yang kemudian disewakan kepada para pengembara seperti kami. Bagian tengah tenda selalu ada kompor. Inilah jantung dari sebuah hunian di Mongolia bagian barat, tempat seluruh anggota keluarga berkumpul, memasak, dan menghangatkan diri di kala malam. Kami tergolong hidup dalam ‘kemewahan’ karena operator tur kami membangun kamar mandi portable, di saat yang lain hanya digalikan lubang saja.