Apa perbedaan pilates dengan yoga? Ini satu hal yang paling sering dilontarkan orang-orang. Seiring dengan popularitas wellness dan gaya hidup sehat, kedua jenis olahraga ini pun semakin diminati—terutama di kalangan urban yang memiliki tingkat stress tinggi.
Sebagai seorang praktisi yoga, dulu saya merasa pilates terlalu mekanis dan kaku, lihat saja alat-alatnya. Sementara teman baik saya yang seorang praktisi pilates, merasa yoga terlalu spiritual—too hippie.
“Yoga memasukan banyak aspek spiritual dalam latihannya. Awalnya yoga diciptakan agar seseorang bisa melakukan meditasi dengan lebih baik dan lebih lama,” ucap Tina Sulistio, seorang instruktur pilates yang memiliki studio di kawasan Menteng, Jakarta.
“Sementara pilates lebih fokus pada anatomi fisik dari tubuh. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa sakit atau membentuk tubuh dengan cara mengembalikan tubuh kepada postur yang benar,” lanjut Tina. Di studionya sendiri yang bernama Seeds, Tina menawarkan ragam kelas pilates, yoga, fisioterapi, dan osteopati, dan akan segera membuka kelas barre.
Memang, salah satu hal yang membuat saya sangat tertarik pada yoga adalah sisi spiritualnya. Meski awalnya saya berlatih yoga untuk olah fisik, yakni membuat tubuh lebih lentur, stabil, dan kuat, seiring perjalanan waktu, manfaat olah mentalnya semakin terasa dan membuat saya semakin menyukai yoga.
Namun setelah bertahun-tahun berlatih yoga, kemudian saya mulai merasa perlu menjajal jenis olah raga lain. Yang saya pilih yang serupa, yakni olah raga low impact, dengan intensitas rendah, serta inklusif atau bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Maka saya memutuskan untuk mencoba pilates.
Setelah uji coba beberapa kali, meski tidak rutin, saya menyadari bahwa tidak hanya otot-otot kecil dan core saya dilatih lebih jauh, namun keseimbangan dan kekuatan dari dua sisi tubuh saya juga diuji. Selama ini saya sadar bahwa sisi kiri saya “malas” atau lebih lemah dari sisi kanan, dan hal ini terlihat semakin jelas saat saya melakukan beberapa gerakan di alat pilates seperti reformer atau saat menggunakan magic ring. Sampai ada satu guru, Emma Gabriel, instruktur di wellness center COMO Uma Canggu, menyuruh saya mengulang sekali lagi gerakan di kaki kiri saat saya berlatih dengannya.
Karena terbiasa melakukan gerakan Vinyasa yoga yang lebih dinamis dan mengalir, awalnya saya merasa kesulitan saat melakukan pilates, karena keduanya cukup statis dan membuat saya frustrasi karena… bosan, juga tidak membuat saya sampai banjir keringat karena fokusnya pada postur. Belum lagi aturan napasnya yang berbeda dengan yoga, sering membuat saya bingung sendiri. Tapi setelah menyadari manfaatnya, mental barrier ini saya kesampingkan.
Hal lain yang menjadi pertimbangan memilih jenis latihan adalah harga. Umumnya kelas yoga memiliki harga yang lebih bersahabat ketimbang kelas pilates. Hal ini bukan hanya karena studio pilates memerlukan alat-alat latihan seperti reformer atau cadillac yang harganya sangat mahal, namun juga karena mahalnya sertifikasi instruktur pilates yang akhirnya menyebabkan keterbatasan tenaga pelatihnya.
Menyadari masalah ini, beberapa studio pun menawarkan jenis-jenis kelas yang lebih kreatif. Di Seeds misalnya, Tina menawarkan kelas-kelas grup, seperti HIIT Pilates Circuit yang merupakan kombinasi dari latihan kardio, kekuatan, dan pembentukan otot yang dilakukan di beberapa alat pilates, serta Flow & Strength Pilates Circuit yang lebih pelan dan difokuskan pada penguatan core serta pembentukan postur yang benar.
“Saya melihat ada permintaan akan kelas-kelas grup, di luar kelas privat, serta keinginan untuk melakukan latihan yang memiliki intensitas lebih tinggi sehingga orang-orang berkeringat lebih banyak. Selain itu, saya ingin membuat pilates jadi lebih terjangkau bagi kebanyakan orang,” jelas Tina.
Penggabungan beberapa jenis latihan menjadi satu, atau hybrid, memang bukan hal aneh. Yoga yang dianggap sebagian besar orang hanya sebagai peregangan tubuh, melalui beragam perkembangan dan menghasilkan gaya latihan yang memiliki intensitas tinggi dan sangat dinamis, seperti Asthanga dan Vinyasa, atau yang lebih modern seperti Cardio Yoga dan beragam nama lainnya. Bahkan beberapa gerakan latihan di aplikasi NTC juga beberapa diadaptasi dari pose yoga.
Pilates pun tidak berbeda. Selain kelas seperti HIIT Pilates Circuit yang ditawarkan di Seeds, saya juga melihat beberapa studio menawarkan kelas-kelas menarik seperti Cardio Pilates Reformer hingga Bootcamp Pilates Reformer.
Muncul juga kelas-kelas yang lebih kreatif seperti Beer Yoga yang sudah beberapa kali diorganisir oleh Tina, dimana para peserta bisa melakukan yoga sambil sesekali menyesap bir. Kelas-kelas ini lebih ditujukan untuk kaum urban yang ingin mengisi waktu dengan kegiatan berbeda selain sekadar hang out. Tentunya gerakan yang dilakukan adalah yang lebih ringan, dengan intensitas rendah.
Namun semua tetap berfokus pada tujuan utama dari masing-masing olahraga, di mana yoga masih banyak menyentuh sisi spiritual dan juga pranayama atau teknik pernapasan.
Mana yang harus Anda pilih? Tergantung kebutuhan dan juga kepribadian. Jika Anda perlu memperbaiki postur tubuh, pilates adalah pilihan yang lebih tepat. Jika Anda ingin menambah fleksibilitas, yoga adalah jawabannya. Pada umumnya, mereka yang berjiwa kreatif lebih menyukai yoga karena menawarkan lebih banyak kebebasan. Sementara mereka yang lebih logis biasanya lebih memilih pilates. Namun keduanya akan melatih stabilitas dan juga kekuatan Anda. (Margaretha Untoro) Foto: pexels (Bruce Mars, The Form Fitness)
Sebagai seorang praktisi yoga, dulu saya merasa pilates terlalu mekanis dan kaku, lihat saja alat-alatnya. Sementara teman baik saya yang seorang praktisi pilates, merasa yoga terlalu spiritual—too hippie.
“Yoga memasukan banyak aspek spiritual dalam latihannya. Awalnya yoga diciptakan agar seseorang bisa melakukan meditasi dengan lebih baik dan lebih lama,” ucap Tina Sulistio, seorang instruktur pilates yang memiliki studio di kawasan Menteng, Jakarta.
“Sementara pilates lebih fokus pada anatomi fisik dari tubuh. Tujuannya adalah untuk mengurangi rasa sakit atau membentuk tubuh dengan cara mengembalikan tubuh kepada postur yang benar,” lanjut Tina. Di studionya sendiri yang bernama Seeds, Tina menawarkan ragam kelas pilates, yoga, fisioterapi, dan osteopati, dan akan segera membuka kelas barre.
Memang, salah satu hal yang membuat saya sangat tertarik pada yoga adalah sisi spiritualnya. Meski awalnya saya berlatih yoga untuk olah fisik, yakni membuat tubuh lebih lentur, stabil, dan kuat, seiring perjalanan waktu, manfaat olah mentalnya semakin terasa dan membuat saya semakin menyukai yoga.
Namun setelah bertahun-tahun berlatih yoga, kemudian saya mulai merasa perlu menjajal jenis olah raga lain. Yang saya pilih yang serupa, yakni olah raga low impact, dengan intensitas rendah, serta inklusif atau bisa dilakukan oleh hampir semua orang. Maka saya memutuskan untuk mencoba pilates.
Setelah uji coba beberapa kali, meski tidak rutin, saya menyadari bahwa tidak hanya otot-otot kecil dan core saya dilatih lebih jauh, namun keseimbangan dan kekuatan dari dua sisi tubuh saya juga diuji. Selama ini saya sadar bahwa sisi kiri saya “malas” atau lebih lemah dari sisi kanan, dan hal ini terlihat semakin jelas saat saya melakukan beberapa gerakan di alat pilates seperti reformer atau saat menggunakan magic ring. Sampai ada satu guru, Emma Gabriel, instruktur di wellness center COMO Uma Canggu, menyuruh saya mengulang sekali lagi gerakan di kaki kiri saat saya berlatih dengannya.
Karena terbiasa melakukan gerakan Vinyasa yoga yang lebih dinamis dan mengalir, awalnya saya merasa kesulitan saat melakukan pilates, karena keduanya cukup statis dan membuat saya frustrasi karena… bosan, juga tidak membuat saya sampai banjir keringat karena fokusnya pada postur. Belum lagi aturan napasnya yang berbeda dengan yoga, sering membuat saya bingung sendiri. Tapi setelah menyadari manfaatnya, mental barrier ini saya kesampingkan.
Hal lain yang menjadi pertimbangan memilih jenis latihan adalah harga. Umumnya kelas yoga memiliki harga yang lebih bersahabat ketimbang kelas pilates. Hal ini bukan hanya karena studio pilates memerlukan alat-alat latihan seperti reformer atau cadillac yang harganya sangat mahal, namun juga karena mahalnya sertifikasi instruktur pilates yang akhirnya menyebabkan keterbatasan tenaga pelatihnya.
Menyadari masalah ini, beberapa studio pun menawarkan jenis-jenis kelas yang lebih kreatif. Di Seeds misalnya, Tina menawarkan kelas-kelas grup, seperti HIIT Pilates Circuit yang merupakan kombinasi dari latihan kardio, kekuatan, dan pembentukan otot yang dilakukan di beberapa alat pilates, serta Flow & Strength Pilates Circuit yang lebih pelan dan difokuskan pada penguatan core serta pembentukan postur yang benar.
“Saya melihat ada permintaan akan kelas-kelas grup, di luar kelas privat, serta keinginan untuk melakukan latihan yang memiliki intensitas lebih tinggi sehingga orang-orang berkeringat lebih banyak. Selain itu, saya ingin membuat pilates jadi lebih terjangkau bagi kebanyakan orang,” jelas Tina.
Penggabungan beberapa jenis latihan menjadi satu, atau hybrid, memang bukan hal aneh. Yoga yang dianggap sebagian besar orang hanya sebagai peregangan tubuh, melalui beragam perkembangan dan menghasilkan gaya latihan yang memiliki intensitas tinggi dan sangat dinamis, seperti Asthanga dan Vinyasa, atau yang lebih modern seperti Cardio Yoga dan beragam nama lainnya. Bahkan beberapa gerakan latihan di aplikasi NTC juga beberapa diadaptasi dari pose yoga.
Pilates pun tidak berbeda. Selain kelas seperti HIIT Pilates Circuit yang ditawarkan di Seeds, saya juga melihat beberapa studio menawarkan kelas-kelas menarik seperti Cardio Pilates Reformer hingga Bootcamp Pilates Reformer.
Muncul juga kelas-kelas yang lebih kreatif seperti Beer Yoga yang sudah beberapa kali diorganisir oleh Tina, dimana para peserta bisa melakukan yoga sambil sesekali menyesap bir. Kelas-kelas ini lebih ditujukan untuk kaum urban yang ingin mengisi waktu dengan kegiatan berbeda selain sekadar hang out. Tentunya gerakan yang dilakukan adalah yang lebih ringan, dengan intensitas rendah.
Namun semua tetap berfokus pada tujuan utama dari masing-masing olahraga, di mana yoga masih banyak menyentuh sisi spiritual dan juga pranayama atau teknik pernapasan.
Mana yang harus Anda pilih? Tergantung kebutuhan dan juga kepribadian. Jika Anda perlu memperbaiki postur tubuh, pilates adalah pilihan yang lebih tepat. Jika Anda ingin menambah fleksibilitas, yoga adalah jawabannya. Pada umumnya, mereka yang berjiwa kreatif lebih menyukai yoga karena menawarkan lebih banyak kebebasan. Sementara mereka yang lebih logis biasanya lebih memilih pilates. Namun keduanya akan melatih stabilitas dan juga kekuatan Anda. (Margaretha Untoro) Foto: pexels (Bruce Mars, The Form Fitness)