Selama delapan tahun, Lulu Lutfi Labibi memulai karirnya sebagai desainer yang sederhana. Jauh dari kata glamor. Setiap kali ia pergi mengikuti kompetisi di Jakarta, adiknya Hami Effendi akan senantiasa menunggu Lulu Lutfi di stasiun saat pulang.
“Rasanya sangat tidak enak kalau saya tidak pulang membawa sesuatu dari lomba. Saya tidak enak dengan Si Cethot,” kata Lulu di Greenhost Hotel, Sabtu, 14 September 2019. Cethot merupakan panggilan kesayangan Lulu, yang asal Banyumas itu kepada adiknya Hamie.
Peragaan Sewindu Berkarya yang digelar di Jogja National Museum itu merupakan rekaman berproses Lulu. Dia menolak untuk menyebutnya sebagai sebuah perayaan. Suasana yang dihadirkan pun lebih seperti syukuran yang guyub dengan teman-teman setia yang hadir dari berbagai kota.
Peragaan dibuka dengan testimonial dari teman-teman Lulu. Mulai dari Ria Papermoon, Avi Mahaningtyas, Sekar Asha, Asmara Abigail, dan Riyani Djangkaru. Monolog yang mereka berikan bukan sekadar pemanis belaka. Malah terdengar sangat kocak, apa adanya dan kadang bisa membuat anda terpingkal.
Contoh saja monolog dari Riyani Djangkaru berikut ini: “Saya mengenal Lulu Lutfi Labibi sebagai kakak beradik dukun beranak. Lulu bagaikan sumur tua yang ia poles menjadi tempat bercengkerama di studionya. Ia dalam, berisi berbagai kehidupan, fisik atau metafisik. Tak banyak yang sadar jika sumur itu masih memiliki air, yang memberikan nafas dan menjaga fungsi asal si sumur tua, seperti Hami.”
“Lulu Lutfi Labibi boleh jadi mengubah arah kreativitasnya, seperti sumur tua yang ia ubah menjadi meja. Tapi ia dan Hami terlalu keras kepala untuk mengubah jati dirinya: manusia sederhana dengan karya yng jujur,” kata Riyani.
Rangkaian monolog tadi mengantar mereka yang menonton pada video yang direkam di kereta, seakan mencoba membayangkan kembali masa-masa berproses Lulu di awal karirnya yang tidak mudah. “Sepanjang 2011, saya pernah mengalami tidak punya penjualan sama sekali selama satu tahun,” kata Lulu blak-blakan.
Gaya Wabi-Sabi yang menekankan pada ketidaksempurnaan yang diaplikasikan Lulu pada lurik, awalnya memang sulit dicerna banyak orang. Barulah pada 2014, nama Lulu Luthfi mulai naik daun. Karyanya diburu para penggemar mode yang rela terbang ke Yogyakarta untuk berburu pakaiannya.
Estetika yang menjadi kekuatannya itu yang kemudian ditampilkan lagi dengan ragam paduan yang baru. Entah dengan permainan kain batik yang juga ia garap sendiri ataupun lurik-lurik yang masing-masing motifnya punya nama tersendiri. Semuanya bertumpuk dalam lapisan-lapisan yang unik dan tak serupa tampilannya.
Lulu menumpuk tekstil seperti ia menumpuk memorinya saat berproses. Lapis demi lapis, penuh warna yang unik dan menjadi rekaman perjalanan seseorang yang sederhana dengan perjalanan perjuangan bersama adiknya sendiri. (SJH) Foto Dok Lulu Lutfi.
“Rasanya sangat tidak enak kalau saya tidak pulang membawa sesuatu dari lomba. Saya tidak enak dengan Si Cethot,” kata Lulu di Greenhost Hotel, Sabtu, 14 September 2019. Cethot merupakan panggilan kesayangan Lulu, yang asal Banyumas itu kepada adiknya Hamie.
Peragaan Sewindu Berkarya yang digelar di Jogja National Museum itu merupakan rekaman berproses Lulu. Dia menolak untuk menyebutnya sebagai sebuah perayaan. Suasana yang dihadirkan pun lebih seperti syukuran yang guyub dengan teman-teman setia yang hadir dari berbagai kota.
Peragaan dibuka dengan testimonial dari teman-teman Lulu. Mulai dari Ria Papermoon, Avi Mahaningtyas, Sekar Asha, Asmara Abigail, dan Riyani Djangkaru. Monolog yang mereka berikan bukan sekadar pemanis belaka. Malah terdengar sangat kocak, apa adanya dan kadang bisa membuat anda terpingkal.
Contoh saja monolog dari Riyani Djangkaru berikut ini: “Saya mengenal Lulu Lutfi Labibi sebagai kakak beradik dukun beranak. Lulu bagaikan sumur tua yang ia poles menjadi tempat bercengkerama di studionya. Ia dalam, berisi berbagai kehidupan, fisik atau metafisik. Tak banyak yang sadar jika sumur itu masih memiliki air, yang memberikan nafas dan menjaga fungsi asal si sumur tua, seperti Hami.”
“Lulu Lutfi Labibi boleh jadi mengubah arah kreativitasnya, seperti sumur tua yang ia ubah menjadi meja. Tapi ia dan Hami terlalu keras kepala untuk mengubah jati dirinya: manusia sederhana dengan karya yng jujur,” kata Riyani.
Rangkaian monolog tadi mengantar mereka yang menonton pada video yang direkam di kereta, seakan mencoba membayangkan kembali masa-masa berproses Lulu di awal karirnya yang tidak mudah. “Sepanjang 2011, saya pernah mengalami tidak punya penjualan sama sekali selama satu tahun,” kata Lulu blak-blakan.
Gaya Wabi-Sabi yang menekankan pada ketidaksempurnaan yang diaplikasikan Lulu pada lurik, awalnya memang sulit dicerna banyak orang. Barulah pada 2014, nama Lulu Luthfi mulai naik daun. Karyanya diburu para penggemar mode yang rela terbang ke Yogyakarta untuk berburu pakaiannya.
Estetika yang menjadi kekuatannya itu yang kemudian ditampilkan lagi dengan ragam paduan yang baru. Entah dengan permainan kain batik yang juga ia garap sendiri ataupun lurik-lurik yang masing-masing motifnya punya nama tersendiri. Semuanya bertumpuk dalam lapisan-lapisan yang unik dan tak serupa tampilannya.
Lulu menumpuk tekstil seperti ia menumpuk memorinya saat berproses. Lapis demi lapis, penuh warna yang unik dan menjadi rekaman perjalanan seseorang yang sederhana dengan perjalanan perjuangan bersama adiknya sendiri. (SJH) Foto Dok Lulu Lutfi.