Kolaborasi COTTONINK, Intoart, dan British Council Demi Mode Inklusif
British Council terus mengampanyekan industri mode yang lebih inklusif, kali ini bersama COTTONINK
25 Oct 2019


Cottonink x Ayang Cempaka
12 / 14
Kesetaraan adalah sebuah proses tanpa henti. Dibutuhkan komitmen dan usaha untuk terus-menerus menyadarkan diri dan mewujudkan hal itu. Ia bukanlah sebuah jargon atau label yang bisa dibongkar-pasang pada sebuah brand untuk menarik simpati khalayak dan menjadi relevan di tengah masyarakat yang serba “woke”.

Untuk meilhat komitmen seseorang, sebuah brand, atau entitas apa pun ia tentang sebuah kesetaraan, kita perlu melihat konsistensi usaha yang dilakukannya. Berangkat dari situ, saya pikir cukup aman rasanya jika kita memberikan apresiasi kepada British Council yang telah menunjukkan presistensi itu. Selama beberapa tahun terakhir British Council memang telah melakukan berbagai program pemberdayaan bagi rekan-rekan kita yang hidup dalam kondisi difabel di berbagai sektor. Musik, seni, dan tentunya mode.

Tahun ini British Council menggelar kembali peragaan mode inklusif di Jakarta Fashion Week 2020. Peragaan kali ini melanjutkan program tahun sebelumnya yang melibatkan model-model difabel. Tak sendiri, Britsih Council tahun ini menggandeng COTTONINK dan Intoart untuk sekali lagi menyuarakan industri mode yang inklusif.

COTTONINK jadi pembuka peragaan sore itu di Fashion Tent Jakarta Fashion Week 2020. Sebelum para model masuk, brand yang dikenal dengan pakaian-pakaian casual with a twist itu menayangkan video pendek. Di sana mereka menampilkan lima model difabel, Echi yang merupakan pengguna kursi roda, Namira yang adalah penyandang down syndrome, Febby yang hidup dengan kondisi tuli dan mahir berbahasa isyarat, Marta yang tuli sejak lahir karena penyakit rubella, dan Fila yang hidup dengan kondisi tuna daksa.

Kelimanya tampil menawan dalam balutan pakaian bermotif cerah khas COTTONINK di video. Kala video selesai diputar, kelompok tari dari Gigi Art of Dance lalu membuka peragaan dengan tarian diiringi lantunan lagu "Bahagia" dari GAC. Salah satu model difabel, Namira pun ikut tampil menari bersama membuka gelaran COTTONINK.

Mengusung tema “Sama Bisa Bisa Sama”, COTTONINK menampilkan pakaian-pakaian santainya dengan sentuhan motif cerah karya Ayang Cempaka. Sajian koleksi dari COTTONINK menjadi menarik karena permainan padu padan menggunakan pakaian-pakaian kasual.

Setelah COTTONINK menutup peragaan busana mereka, acara dilanjut dengan koleksi dari Intoart yang berkolaborasi dengan John Smedley. Koleksi Intoart untuk peragaan ini menampilkan hasil rancangan para seniman dengan disabilitas intelektuas, yaitu Yoshiko Phillips, Andrew Williams, dan Ntiense Eno Amooquaye.

Ketiganya membuat desain lukisan tangan yang kemudian diaplikasikan pada pakaian berbahan rajut rancangan John Smedley. Ntiense Eno Amooquaye mengeksplorasi ikonografi mode dan perwujudannya dalam Citra seorang model. Sementara pola-pola dari Yoshiko Phillips membangkitkan imaji tentang pemangsa dan mangsa. Dan desain lukisan Andre Williams menampilkan tipografi yang menarik perhatian dengan pesan komikalnya.

Pakaian jelas bukan menjadi suguhan utama peragaan dari British Council ini. Melainkan pesan yang mereka bawa tentang lingkup inklusif di berbagai sektor. Termasuk dunia mode. Di Indonesia, inkulisivitas di ranah mode dan kecantikan memang masih berjalan lambat. Terutama yang berkaitan dengan bentuk tubuh. Model-model plus size saja masih langka kita jumpai di peragaan busana. Belum lagi kecenderungan brand lokal yang masih lebih memilih model-model blasteran untuk memeragakan pakaian mereka. Perlu diakui bahwa industri mode Tanah Air memang masih berpegang pada satu “standar kecantikan” tertentu.

Semoga presistensi British Council untuk memberdayakan dan mewujudkan inklusivitas di berbagai sektor, termasuk mode, akan menular ke banyak desainer dan brand Tanah Air. Dengan begitu semoga kelak kemunculan model-model difabel atau model-model dengan berbagai bentuk tubuh, pun peragaan karya para seniman difabel menjadi hal yang begitu lumrah sehingga “kekurangan” mereka bukan satu-satunya hal yang membuat satu karya jadi istimewa. (SIR). Foto: Jakarta Fashion Week.

 


Topic

JFW

Author

DEWI INDONESIA