Asia Timur menjadi benang merah dua koleksi dari alumni Lomba Perancang Mode (LPM), Anthony Tandiyono dan Yunita Kosasih. Meksi demikian keduanya menempuh pendekatan berbeda dalam menerjemahkan inspirasi mereka dalam karya.
Anthony misalnya yang menghadirkan deretan gaun malam yang bisa kita bayangkan dikenakan para karakter dalam Crazy Rich Asian. Dengan iringan lagu orkestra Cina, Anthony menyajikan koleksinya dalam tiga babak.
Babak pertama berisi gaun-gaun serba hitam yang dramatis dengan berbagai siluet. Dalam babak pertama tadi unsur budaya Cina tak banyak muncul kecuali dalam jubah yang nampaknya merupakan hasil modifikasi jubah para bangsawan dari kerajaan Cina. Jubah yang sama lalu muncul lagi di pertengahan peragaan. Kali ini dalam warna serba putih dan dipadankan dengan slip dress putih dengan ilustrasi ikan koi.
Tampilan tadi juga rupanya menjadi penanda peragaan masuk ke babak kedua. Di bagian ini Anthony menghadirkan gaun-gaun malam dalam nuansa keemasan dan putih. Pengaruh budaya Cina terasa kian kental dengan aplikasi kerah cheongsam di beberapa gaun serta cape dengan payet berbentuk naga, simbol keberuntungan dan kebesaran dalam budaya Cina.
Kemudian dalam babak ketiga, Anthony menampilkan gaun-gaun malam dengan warna yang lebih beragam. Gaun cheongsam sepan pendek warna hijau keemasan dengan payet membentuk burung merak membuka babak terakhir koleksi Anthony ini. Sebagai pemanis, sang model juga membawa kipas dengan aplikasi payet yang dibentuk jadi motif bunga. Di babak ini pula Anthony menghadirkan gaun merah dengan aksen motif burung hong khas Cina. Tentunya tak lengkap menghadirkan koleksi yang terinspirasi dari budaya Cina tanpa gaun merah.
Koleksi ini jelas tidak jauh dari ciri desain Anthony yang kebanyakan kliennya memang berasal dari kalangan Cina peranakan kelas atas. Tiap jahitan, potongan, dan pemasangan payet serta pemilihan motif dilakukan dengan strategis, menghasilkan koleksi yang rasanya bisa mengugah kliennya menambah satu lagi koleksi gaun pesta mereka.
Jika Anthony memilih menghadirkan koleksi yang tetap sejalan dengan ciri kreatifnya, Yunita Kosasih memilih mengambil pendekatan berbeda. Alih-alih menampilkan gaun-gaun malam yang juga menjadi spesialisasinya, ia memilih untuk menampilkan koleksi yang nampak lebih kasual.
Empat Bikkhu atau pendeta dalam tradisi Buddhisme membuka gelaran dengan berjalan sepanjang runway sembari membawa dupa yang dibakar. Semerbak aroma dupa pun lantas menyetel mood penonton sepanjang peragaan. Seperti judul koleksinya, Yunita menyatakan terinspirasi dari "Sohei" atau “japanese warrior monk”. Tema yang menarik, tetapi tak diterjemahkan dengan baik.
Selain kemunculan empat laki-laki yang berdandan layaknya Bikkhu Tibet (atau Myanmar)—hanya Bikkhu dalam tradisi Buddhisme di Tibet dan Myanmar yang mengenakan jubah merah—di bagian awal dan akhir peragaan, satu-satunya unsur yang mungkin bisa menggiring imajinasi kita pada citra Bikkhu adalah penggunaan aksen draperi di beberapa pakaian yang ditampilkan. Tampilan pertama yang dihadirkan; kombinasi atasan one-shoulder dari batik lurik serta rok sepan dengan motif geometris yang juga nampak seperti batik cap lebih mirip dengan gaya pakaian tradisional Indonesia Timur ketimbang Bikkhu.
Pun palet warna merah, hitam, dan putih juga bukan warna yang akan langsung mengingatkan Anda pada tradisi Bikkhu Buddhis. Meskipun dalam rilisnya, Yunita menyatakan pemilihan warna ini sebagai perlambang keseimbangan antara kekuatan, ketangguhan, ketegasan, perjuangan, kedamaian, kemurnian, keserderhanaan, dan kesucian.
Sejatinya koleksi Yunita tampil dengan desain yang cukup solid. Eksplorasinya akan pakaian etnik kontemporer cukup menarik dan relevan. Ia pun cukup berhasil menyajikan keseimbangan komposisi lewat perpaduan warna dan motif yang dipilihnya. Sayang, bukan terjemahan yang langsung mengingatkan Anda pada inspirasinya. (SIR). Foto: GCM Group
Anthony misalnya yang menghadirkan deretan gaun malam yang bisa kita bayangkan dikenakan para karakter dalam Crazy Rich Asian. Dengan iringan lagu orkestra Cina, Anthony menyajikan koleksinya dalam tiga babak.
Babak pertama berisi gaun-gaun serba hitam yang dramatis dengan berbagai siluet. Dalam babak pertama tadi unsur budaya Cina tak banyak muncul kecuali dalam jubah yang nampaknya merupakan hasil modifikasi jubah para bangsawan dari kerajaan Cina. Jubah yang sama lalu muncul lagi di pertengahan peragaan. Kali ini dalam warna serba putih dan dipadankan dengan slip dress putih dengan ilustrasi ikan koi.
Tampilan tadi juga rupanya menjadi penanda peragaan masuk ke babak kedua. Di bagian ini Anthony menghadirkan gaun-gaun malam dalam nuansa keemasan dan putih. Pengaruh budaya Cina terasa kian kental dengan aplikasi kerah cheongsam di beberapa gaun serta cape dengan payet berbentuk naga, simbol keberuntungan dan kebesaran dalam budaya Cina.
Kemudian dalam babak ketiga, Anthony menampilkan gaun-gaun malam dengan warna yang lebih beragam. Gaun cheongsam sepan pendek warna hijau keemasan dengan payet membentuk burung merak membuka babak terakhir koleksi Anthony ini. Sebagai pemanis, sang model juga membawa kipas dengan aplikasi payet yang dibentuk jadi motif bunga. Di babak ini pula Anthony menghadirkan gaun merah dengan aksen motif burung hong khas Cina. Tentunya tak lengkap menghadirkan koleksi yang terinspirasi dari budaya Cina tanpa gaun merah.
Koleksi ini jelas tidak jauh dari ciri desain Anthony yang kebanyakan kliennya memang berasal dari kalangan Cina peranakan kelas atas. Tiap jahitan, potongan, dan pemasangan payet serta pemilihan motif dilakukan dengan strategis, menghasilkan koleksi yang rasanya bisa mengugah kliennya menambah satu lagi koleksi gaun pesta mereka.
Jika Anthony memilih menghadirkan koleksi yang tetap sejalan dengan ciri kreatifnya, Yunita Kosasih memilih mengambil pendekatan berbeda. Alih-alih menampilkan gaun-gaun malam yang juga menjadi spesialisasinya, ia memilih untuk menampilkan koleksi yang nampak lebih kasual.
Empat Bikkhu atau pendeta dalam tradisi Buddhisme membuka gelaran dengan berjalan sepanjang runway sembari membawa dupa yang dibakar. Semerbak aroma dupa pun lantas menyetel mood penonton sepanjang peragaan. Seperti judul koleksinya, Yunita menyatakan terinspirasi dari "Sohei" atau “japanese warrior monk”. Tema yang menarik, tetapi tak diterjemahkan dengan baik.
Selain kemunculan empat laki-laki yang berdandan layaknya Bikkhu Tibet (atau Myanmar)—hanya Bikkhu dalam tradisi Buddhisme di Tibet dan Myanmar yang mengenakan jubah merah—di bagian awal dan akhir peragaan, satu-satunya unsur yang mungkin bisa menggiring imajinasi kita pada citra Bikkhu adalah penggunaan aksen draperi di beberapa pakaian yang ditampilkan. Tampilan pertama yang dihadirkan; kombinasi atasan one-shoulder dari batik lurik serta rok sepan dengan motif geometris yang juga nampak seperti batik cap lebih mirip dengan gaya pakaian tradisional Indonesia Timur ketimbang Bikkhu.
Pun palet warna merah, hitam, dan putih juga bukan warna yang akan langsung mengingatkan Anda pada tradisi Bikkhu Buddhis. Meskipun dalam rilisnya, Yunita menyatakan pemilihan warna ini sebagai perlambang keseimbangan antara kekuatan, ketangguhan, ketegasan, perjuangan, kedamaian, kemurnian, keserderhanaan, dan kesucian.
Sejatinya koleksi Yunita tampil dengan desain yang cukup solid. Eksplorasinya akan pakaian etnik kontemporer cukup menarik dan relevan. Ia pun cukup berhasil menyajikan keseimbangan komposisi lewat perpaduan warna dan motif yang dipilihnya. Sayang, bukan terjemahan yang langsung mengingatkan Anda pada inspirasinya. (SIR). Foto: GCM Group