Langgam-langgam urban: tuts papan ketik, orkestra klakson mobil, denting elevator, detak detik-detik jam dinding, melodi subtil yang menggema di lounge jelang tengah malam... Siapa sangka semuanya datang dari tabuh-tabuhan barungan Gamelan Salukat, kelompok gamelan asal Bali besutan Dewa Alit, salah satu seniman penampil dalam Salihara International Performing-Arts Festival (SIPFest) 2024.
Gamelan Salukat membawakan pertunjukan karawitan bertajuk Chasing the Phantom. Gelaran di Jakarta ini menjadi debut perdana dimainkannya set barungan kreasi Dewa Alit di luar Pulau Bali. Seluruh alat musik dikriya sendiri dan disetel khusus untuk memainkan titi nada kontemporer, melintasi limitasi laras pentatonik tradisional. "Ini sistemnya berbeda, tidak sama dengan gamelan Bali... Berbeda cara pandang," jelas Dewa Alit kepada DEWI.
Hasilnya adalah langgam posmodern yang rancak, melampaui lantunan tradisi. Tiga repertoar gubahan Dewa Alit mengadu permainan wilah dan pencon dalam sebuah asimetri tala yang rancak. Tempo molah-malih dalam kresendo dan dekresendo yang tidak dinyana-nyana, pun beralih dengan halusnya. Komposisi Gamelan Salukat memang cenderung kompleks, dengan irama musik yang berubah-ubah dalam waktu singkat dan ritme yang tidak biasa.
Tembang pertama berjudul Ngejuk Memedi membuka penampilan dengan apiknya, memperkenalkan eksplorasi laras Gamelan Salukat dalam unsur-unsur baru ekspresi musik. Tembang kedua, Likad, menyitir istilah Bali yang merujuk kepada situasi mencemaskan. Dengung-dengung sumbang bertalu, seakan memberikan nada bagi keresahan masa pandemi. Repertoar ditutup dengan Siklus, menyempurnakan alun-alunan yang berdendang.
Pun, Chasing the Phantom menghadirkan lebih daripada sekadar musik. Set barungan ditata apik di atas panggung, dengan set wilah di satu sisi dan set pencon di seberangnya; ditengahi oleh kendang ganda, ceng-ceng tunggal, dan instalasi gong-gong besar. Ketika dimainkan, seluruh penabuh nampak seakan menari dengan gesit genggam dan jemari.
Dewa Alit turut berkreasi dengan cara memainkan alat. Pemade dan kantilan diketuk dengan gagang pemukul alih-alih palunya, sementara gong dikerik dengan seret-seretan pemukul. Satu momen yang mencengangkan adalah ketika pemain kemudian mengeluarkan ikat-ikatan surai seperti senar rebab dan menggesekkannya ke bilah-bilah wilah. Dengung syahdu laiknya biola dan cello menggema ke seantero ruangan dalam melodi yang khidmat. Pun, pertaruhan Dewa Alit terbayar tuntas, ketika seantero ruang pertunjukan Teater Salihara menggemuruh dengan standing ovation tak sudah-sudah.
Gamelan Salukat besutan Dewa Alit hanyalah satu dari banyak seniman pertunjukan lain yang tampil di Salihara International Performing-Arts (SIPFest) 2024. Dengan tajuk "Orde Seni Baru," SIPFest 2024 menghadirkan kelompok-kelompok seniman penampil dari seluruh dunia untuk menghadirkan pendekatan alternatif terhadap disiplin seni yang dimainkan. Sejumlah nama yang telah dan akan tampil antara lain adalah Lucy Guerin, CCOTBBAT, Chong Kee Yong & Ensemble Studio C, Jason Mountario & Trio, Numen Company, Jecko Siompo, Megatruh Banyu Mili, Annastasya Verina, dan Teater Koma.
SIPFest masih digelar hingga 31 Agustus 2024 di Komunitas Salihara Arts Center, Jl. Salihara 16, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Teks: AKIB ARYOU
Dok. Foto: KOMUNITAS SALIHARA/WITJAK WIDHI CAHYA