Saat ini, Komunitas Salihara menjadi salah satu pusat kesenian independen yang terdepan, hingga menjadi bagian dari gaya hidup Jakarta. Cikal bakalnya adalah Komunitas Utan Kayu (KUK) di Jakarta Timur yang dimulai pada tahun 1996. Sang penggagas, wartawan dan penyair Goenawan Mohamad, mengajak sejumlah rekannya mendirikan komunitas ini. “Dulu KUK mempunyai banyak kegiatan, terutama politik. Kebetulan ada sayap kesenian, yang kemudian menyelenggarakan pameran dan pertunjukan yang ditampilkan di Galeri Lontar dan Teater Utan Kayu (dalam kompleks KUK). Sayap ini berkembang serius, sehingga kami ingin membuat sebuah gedung yang lebih memadai. Kami kemudian pindah ke Salihara ini,” tutur Nirwan Dewanto, Direktur Program Komunitas Salihara.
Salihara tidak hanya menyelenggarakan pameran ataupun pertunjukan. “Salihara itu kurang lebih tempat nongkrong, tempat bereksperimen, tempat bertukar pikiran, tempat workshop, dan banyak sekali mengadakan kegiatan-kegiatan yang sifatnya edukasional seperti ceramah, kursus-kursus, kelas akting, kelas cat air, kelas filsafat, dan sebagainya.” katanya. Salihara juga memiliki Black Box, yang disebut Nirwan sebagai ruang pertunjukan yang fleksibel. Penonton yang datang beragam usia, latar belakang dan status sosial. Ada mahasiswa, tapi ada pula orang-orang dari kalangan mapan yang biasa menonton pertunjukan di luar negeri. “Menonton itu sebuah kegiatan untuk mencari hiburan, juga rekreasi. Rekreasi itu ‘kan menciptakan kembali. Jadi penonton memperluas cakrawala kreatifivasnya juga cakrawala intelektualnya,” tuturnya. (IL), Foto: Dok. Salihara