Menyaksikan Monolog Inggit dalam versi teater musikal benar-benar sebuah pengalaman baru yang menakjubkan. Rasanya seperti diajak mengenal sosok Inggit Garnasih—yang diperankan dengan apik oleh Happy Salma, dan dibawa ke masa pra-kemerdekaan melalui narasi yang dituturkannya sepanjang pertunjukan. Paduan suara serta alunan musik nan merdu pun melatari cerita dan melengkapi monolog Inggit dengan indahnya.
Monolog Inggit adalah sebuah penuturan yang jujur dan penuh kekuatan dari seorang perempuan. Inggit yang lemah lembut dan penuh kasih sayang, tetapi juga berjiwa pejuang yang tangguh menjalani berbagai ujian kehidupan, terutama sepanjang pernikahannya dengan Presiden Soekarno.
Inggit Garnasih, istri kedua Presiden Soekarno, benar-benar menunaikan perannya sebagai pendamping bagi sang pemimpin bangsa yang dicintainya dengan tulus. Soekarno, yang dipanggil dengan nama “Kusno” oleh Inggit, belum menjadi presiden RI sepanjang pernikahan mereka yang berlangsung selama 20 tahun.
Inggit, yang usianya terpaut 15 tahun lebih dua dari Kusno, mengingat bahwa Kusno masih berusia 20 tahun ketika menikahinya. Kala itu Kusno masih menjadi seorang student di Technische Hoogeschool te Bandoeng (sekarang ITB). Ia lah yang mendukung ekonomi keluarga saat Soekarno memulai pergerakan awalnya dalam berorganisasi, menghidupi Kusno dengan berjualan jamu, alat-alat rumah tangga dan pertanian. Inggit pula yang merawat semangatnya saat Soekarno ditahan di penjara Sukamiskin, serta mendampinginya dalam pengasingannya di Ende dan Bengkulu.
“Aku terbiasa bekerja, tetapi kini aku harus bekerja lebih keras lagi,” ungkap Inggit dalam monolognya, tanpa sedikitpun kesan keluh kesah dalam suaranya.
Namun kedamaian hati seorang Inggit dan keyakinannya pada cinta sang suami mulai pudar di pengasingan Kusno di Bengkulu. Kusno mengutarakan niatnya untuk menikah dengan Fatmawati. Campur aduk perasaan patah hati yang dialaminya, ketika suami yang didampinginya selama dua dekade itu mengatakan ingin memiliki anak yang merupakan darah dagingnya sendiri.
“Kenapa alasan itu baru muncul sekarang? Apakah itu alasan yang bisa dikatakan ketika diperlukan saja?” tanyanya. Kali ini suaranya terdengar begitu nelangsa.
Kusno menjanjikan Inggit untuk menjadi istri utamanya, tetapi Inggit memilih untuk mempertahankan martabatnya sebagai perempuan dan mengatakan tidak untuk dimadu oleh bapak pendiri bangsa ini. Ia pun mengemas barang-barang dan kenangan yang dimilikinya ke dalam koper tuanya, untuk kembali ke Bandung.
Emosi-emosi yang jujur dari perspektif seorang perempuan, serta pasang surut rumah tangga Soekarno dan Inggit, dihadirkan dengan memikat dalam pertunjukan teater musikal Inggit Garnasih ini. Sebelumnya, Titimangsa sempat mementaskan Monolog Inggit sebanyak 13 kali pada periode tahun 2011-2014 di Jakarta dan Bandung.
Monolog ini berlangsung sekitar dua jam, tetapi pertunjukan yang ditampilkan di bawah arahan sutradara Wawan Sofwan ini sama sekali tak membosankan. Kisah tentang pengalaman hidup Inggit Garnasih beserta latar sejarah bangsa ini diceritakan dengan tata panggung, musik, serta penampilan pendukung, yang membuat setiap tuturan maupun adegan di pertunjukan ini menarik untuk disimak. Naskah serta lirik-lirik puitis yang ditulis Ratna Ayu Budhiarti pun hadir dengan merdu dan penuh makna serta penjiwaan, berkat komposisi music dari Dian HP serta paduan suara yang dikonduktori oleh Avip Priatna.
Pertunjukan teater musikal Inggit Garnasih bertajuk “Tegak Setelah Ombak” ini merupakan produksi ke-53 Titimangsa Foundation. Selain berperan sebagai Inggit Garnasih, ia dan Marsha Timothy juga memproduseri pertunjukan ini. Teater musikal “Tegak Setelah Ombak” ini dipentaskan selama dua hari, 20-21 Mei 2022 di Ciputra Artpreneur Jakarta.
MARDYANA ULVA
Foto: Image Dynamics