Pintu rumah baru telah terbuka. Tulola menggelar pesta. Semua datang beriring cinta. Mengisi sudut Plaza Indonesia dengan suka cita. Toko keempat Tulola telah hadir di Plaza Indonesia setelah tiga toko lainnya di Kemang, Bali, dan Plaza Senayan. Setiap langkah baru kembali mengayunkan memori. Saat Happy Salma mengangkat biografi Desak Nyoman Suarti, maestro pengrajin perak sekaligus ibunda dari Dewi Sri Luce, perkenalannya dengan Sri Luce Rusna, keputusan membangun bisnis perhiasan, hingga menggandeng Franka Franklin untuk melengkapi perjalanan di belantara industri perhiasan Indonesia. Waktu sangat cepat berlalu. Tak terasa tahun ini Tulola telah menginjak usia 12 tahun.
“Kini, kami ingin semakin dekat dengan pelanggan. Lewat karya, acara, dan kolaborasi dengan banyak orang. Itu menandakan bahwa Tulola semakin hidup,” kata Happy Salma yang berada di balik konsep dan cerita Tulola. Pelanggan yang semakin tumbuh butuh kanal-kanal yang bisa membuat mereka menikmati pengalaman memilih dan mengagumi perhiasan secara langsung. Bukan hanya dari segi desain, tetapi juga kisah yang menjadikan Tulola seakan bernyawa. Tulola membekali diri dengan sejarah, sastra, atau apapun tentang Indonesia. Perlu motivasi kuat agar dapat beranjak ke tahap desain, “Sebab motivasi membuat sebuah benda lebih hidup . Tidak hanya sekadar desain yang apik. Kejelasan motivasi juga membuat semua yang terlibat, mulai dari desainer, pengrajin, hingga marketing punya energi yang sama mencapai satu tujuan,” Happy menjelaskan.
Akhirnya kisah digunakan sebagai nilai tambah bagi masyarakat. “Begitu pula untuk kami secara pribadi untuk mengenal bangsa ini lebih dalam lagi. Kami belajar banyak dari Tulola,” ia menambahkan. Happy berkisah tentang inspirasi desain yang digubahnya berdasarkan buku Douwes Dekker dan tertuang dalam koleksi Tanah Air. Koleksi ini punya nilai sentimentil baginya. Riset terhadap buku tersebut mengantarkannya pada temuan motif-motif alam Indonesia pada tahun 50-an. Hal tersebut menjadi ideologi ketika mereka ingin merepresentasikannya dalam bentuk desain. Diskusi demi diskusi dilalui. Temuan-temuan lain mencuat. Pada masa itu, ternyata Indonesia sudah mulai mandiri bahkan berdiri sebagai republik. Lahirlah wujud anting panjang bertuliskan tanah air dengan aksen mutiara. Karya sastra Pramoedya Ananta Toer yang berjuluk Bumi Manusia tak luput dari sumber inspirasi. Sebelumnya, Tulola telah meluncurkan beberapa koleksi Juwita Malam (2011) yang terinspirasi dari lagu Juwita Malam karya Ismail Marzuki, Pita Loka (2013) dari kisah Dyah Pitaloka dari tanah Pasundan, Lingkaran Semesta (2016) sebagai perwujudan dari takdir atau kejadian manusia, Truth (2017) apresiasi kepada Sahabat Tulola, Ubud (2018) yang didasari oleh kekayaan alam dan arsitektur Ubud, dan Dewi Sri (2019) yang diambil dari filosofi padi.
Kekuatan Tulola yang lain hadir dari keseimbangan antara desain dan keterampilan. “Fokus kami terletak pada sesuatu yang orisinal, otentik, dan punya sisi warisan atau budaya. Tulola diproses dengan tangan dan menggunakan alat-alat tradisional zaman dahulu. Sebisa mungkin kami meminimalisasi penggunaan mesin dan teknologi baru,” terang Sri yang memegang kemudi kreatif bidang produksi. Jika dulu arahnya lebih kepada bagaimana menggabungkan pengrajin tradisional dan desain modern, kini ia berkutat pada desain perhiasan itu sendiri.
“Bagian tersulit ialah saat kami harus menjaga persediaan. Tulola dibuat oleh tangan yang berarti butuh waktu agak panjang memprosesnya. Kadang permintaan bisa sangat besar. Ditambah saya agak kesulitan untuk melatih pengrajin baru. Tidak mudah menemukan pengrajin yang punya level kemampuan yang Tulola butuhkan,” kata Sri lagi. Regenerasi pengrajin memang jadi salah satu masalah dalam industri perhiasan Indonesia. Banyak usaha yang harus terhenti karena generasi muda enggan melanjutkan. Sri merupakan wujud keberhasilan dari sebuah regenerasi. Ia dengan senang hati meneruskan kerja sang ibu. “Regenerasi salah satu passion project kami. Kenapa saya masuk ke bagian perak, karena saya melihat seni murni dalam industri perak yaitu master dan pengrajin semakin berkurang. Mereka seperti tidak dihargai. Sepuluh tahun lalu barang perak dari Bali disebut ethnic silver, bukan mastercrafted. Saya rasa itu keliru.” kisah ibu dari anak perempuan yang bernama Tulola ini. Ia punya ide untuk mengolaborasikan desain kontemporer dan modern dengan keterampilan tradisional untuk meningkatkan kesadaran bahwa perhiasan ini sebenarnya adalah sebuah mahakarya kerajinan tangan. “Kami ingin agar karya seni yang muncul dalam bentuk perhiasan emas dan perak ini dapat membantu melestarikan kemampuan pengrajin perak dari nenek moyang,” Franka Franklin menambahkan.
Mereka pun mengambil bagian dalam mengedukasi orang agar memahami material yang bagus. Orang masih belum sepenuhnya melek dengan kualitas perak. Tulola terbuat dari campuran perak murni alloy dan sterling silver. Sedangkan sepuhannya adalah emas 18K untuk perhiasan warna emas, sedangkan untuk perhiasan warna perak, sepuhan yang digunakan adalah white platinum. Di samping itu, tindakan tiru-meniru turut membumbui kiprah Tulola. Konon, tidak ada sesuatu yang benar-benar asli. Setiap karya lahir mengambil inspirasi dari hal lain. Inovasi dan kemasan yang membedakan. “Kalau ditiru sama persis, kami tidak marah. Hanya menyayangkan. Karena semua orang bisa berkarya dengan cara berbeda-beda,” ujar Happy sambil tertawa kecil. Di tengah permasalahan tersebut, mereka memilih berjalan maju melalui inovasi maupun peningkatan kualitas.
Ada rasa yang menggelitik ketika idealisme mereka harus bergesekan dengan bisnis. Kisah, sejarah, desain, bahan baku, strategi, dan mimpi di balik Tulola dipertaruhkan. “Saya harus berpikir dari sudut berbeda. Karena bisnis berhubungan dengan hal teknis tentang inventaris, persediaan, dan keuntungan. Ketika melihat ke arah sana, kreativitas pasti dipertaruhkan atau bahkan tergadaikan,” ungkap Happy lagi. Di sisi lain, Sri punya ruangnya sendiri untuk membiarkan idealismenya bernapas. “Koleksi Art Wear itu ide saya. Di situlah saya mencurahkan segalanya. Saya punya kebebasan penuh untuk berkreasi. Meskipun konsep kreatif dan narasi tetap dari Happy,” ucap Sri. Koleksi Art Wear ini murni karya idealis yang tidak mengikuti tren pasar dan lebih eksklusif, berbeda dengan koleksi Signature yang jumlahnya lebih banyak. “Lima puluh persen untuk bisnis dan sisanya adalah idealisme,” imbuhnya.
Jalan keluar dari pencarian keseimbangan antara bisnis dan idealisme dipegang Franka. Ia melengkapi sekaligus menjaga porsi idealisme tidak lenyap tergilas untung. “Tentunya saya mau memberikan yang terbaik dalam pergerakan Tulola. Membawa label ini ke hadapan pelanggan dimana pun ia berada merupakan tanggung jawab besar,” Franka menuturkan. Berdirinya Franka di arena bisnis membuat Happy dan Sri selalu memiliki momen berkarya yang penuh totalitas tanpa batas. “Seringkali kami asik sendiri dengan konsep. Mau buat yang seperti ini atau itu. Mata kami berbinar-binar sampai lepas tengah malam. Tak kenal waktu. Kami melupakan kenyataan bahwa kami hendak berbisnis,” kisah Happy mengungkap momen terbaiknya bersama Tulola.
Tiga perempuan ini membawa makna berbeda-beda ke dalam pekerjaan. “Kami bertiga sangat menghargai kelebihan tersebut. Diskusi dan perdebatan dalam bekerja justru memperkaya hasil. Visi dan misi Tulola paling utama, dan apapun yang kami dan seluruh tim lakukan, harus selaras dengannya,” ungkap Franka. Mereka akhirnya menjadi sebuah keluarga yang saling memahami dan menjaga perasaan demi kebersamaan. “Bukankah keluarga memang seperti itu?” Happy mempertanyakan. Tidak ada keluarga yang sempurna. Keutuhan hadir dari mereka yang saling mengisi, menahan diri, dan mencari solusi.
Mereka bertekad untuk menjaga motif yang terinspirasi dari budaya Indonesia terus relevan agar dapat dinikmati perempuan modern dalam kesehariannya. Franka mengungkapkan keyakinannya bahwa Tulola dirancang untuk semua perempuan, terlepas dari dari mana ia berasal, pekerjaan, umur, kegiatan, maupun bentuk tubuh. “Ada kecintaan universal yang hinggap saat orang memakai karya kami. Itu yang kami mau,” Kata Franka lagi. Pernyataan serupa dilontarkan Happy. Di lain sisi, Sri merasa mereka telah kembali membangun industri perak. “Inilah yang terjadi. Industri perak lebih inovatif. Tulola memberi energi lagi. Demikian pula eman-teman yang lain. Akhirnya kita semua tumbuh bersama,” kata Sri. Kepercayaan terhadap perhiasan lokal terbangun. Modal yang baik untuk melebarkan sayap ke kancah internasional. “Kalau di Indonesia pondasinya sudah kuat. Kemana pun kita menuju, akan kuat juga untuk berpijak,” tutup Happy.
(Wahyu Septiyani)
Fotografer: Nicky Gunawan, Bagus Galih Hastosa
Asisten Fotografer: Febro Delizar
Pengarah Gaya: Erick Tjong
Busana: Yosafat Dwi Kurniawan, Valentino, Kraton oleh Auguste Soesastro, Sean & Sheila
Rias Wajah: Adrian Suryapradipa, Abita Inkiriwang
Tata rambut: Tri Darmayanti