Titik Tolak Perupa Agus Suwage dari Desain Grafis ke Seni Murni
Agus Suwage bercerita tentang pengalamannya mengikuti panggilan idealismenya di seni murni dan meninggalkan desain grafis yang menjadi zona nyamannya.
24 Aug 2022



Setiap orang memiliki perjalananannya masing-masing sebelum sampai ke titik di mana dirinya berada saat ini. Proses bertumbuh, berputar balik, atau memulai lagi perjalanan dari titik awal yang berbeda pun tentu akan dilewati dalam perjalanan hidup ini. Begitu juga dengan perupa Agus Suwage, yang sebelum dikenal sebagai salah satu seniman terkemuka tanah air, ia menekuni profesi desain grafis hingga akhir dekade 90-an.
 
Agus Suwage terus membagi fokus antara seni dan pekerjaannya sebagai desainer grafis, hingga akhirnya memutuskan untuk beralih menjadi perupa penuh waktu di tahun 1995. Menurut penuturan sang seniman, bukan peralihan yang mulus untuk pindah bidang dari pekerja di industri kreatif untuk mengikuti panggilan idealismenya di ranah seni. Meski demikian, harapan dan keyakinan bahwa upayanya akan membuahkan hasil membawa Agus Suwage untuk tetap menapaki jalan berbeda yang ia pilih ini.

Apa yang membuat Anda waktu itu terpikir untuk beralih menjadi perupa? 

Ada kejenuhan dalam pekerjaan waktu itu, karena ada kesadaran bahwa di desain grafis saya nggak menemukan diri saya. Tuntutan pekerjaannya, kan, mengerjakan sesuai brief, jadi banyak kompromi dengan klien yang posisi tawarnya lebih besar. Jadi untuk eksplorasi yang idealis itu sulit.
 
Kebetulan saya juga orangnya egois dan individual, dan saya pikir, di seni murni itu senimannya punya wewenang lebih besar dalam berkarya. Jadi keinginan saya untuk bisa menuangkan uneg-uneg bisa dilakukan. Nekat, sih, tapi saya yakin, pasti, akan ada saja jalannya.

Waktu itu, apakah Anda sempat khawatir tentang risiko atau konsekuensi dari pilihan ini?

Desain grafis itu sudah menjadi zona nyaman buat saya, sementara untuk masuk ke seni murni saya belum punya apa-apa. Jadi mulai lagi dari nol. Tapi bagi saya, itu tantangan yang perlu diambil, karena saya merasa ada ‘panggilan’ itu tadi untuk menjadi seniman.
 
Tentu ada risikonya. Saya waktu itu sudah berkeluarga, dan tentu ada juga pertimbangan ekonomi karena waktu itu saya sendiri belum tahu menjadi pelukis murni itu akan seperti apa hidupnya. Tapi selama proses transisi itu, sekitar lima tahun, saya masih freelance mengerjakan desain grafis juga.
 
Menurut Agus Suwage, meski sama-sama menggeluti karya visual, menjadi seniman penuh waktu memberi keleluasaan dan wewenang lebih dalam mencipta
 

Apa yang membuat Anda mantap untuk tetap menjalaninya?

Ada beberapa hal yang akhirnya membuat saya makin berani dan percaya diri untuk berkarya. Pertama, ada yang mau beli karya saya. Kedua, saya diajak pameran, salah satunya yang di Cemeti Gallery di tahun 1995 dulu itu. Lalu ketiga, momentum. Dulu saya memutuskan beralih ke seni murni karena di tahun ’90-an di saat skena seni kontemporernya berkembang.  Jadi saya beruntung juga bisa termasuk di dalam pergerakan itu dan mengikuti arusnya.

Apa saja yang menginspirasi Anda untuk berkarya?

Berbagai hal. Dari referensi yang saya baca tentang karya-karya seni terdahulu, saya mereka ulang dalam versi saya. Misalnya karya “Maka Lahirlah Angkatan 90-an” (2001) yang inspirasinya dari salah satu karya penting Sudjojono, “Maka Lahirlah Angkatan ’66.” Ada juga “Fragmen Pustaka – Penghormatan Kepada Raden Saleh” (2016), yang saya reka ulang dari lukisan beliau yang berjudul “Antara Hidup dan Mati” (1870).
 
Dari kejadian sehari-hari saya juga bisa mendapat inspirasi, atau setelah membaca berita dan berefleksi tentang peristiwa-peristiwa yang terjadi. Tujuan saya berkesenian memang untuk itu, untuk menyalurkan uneg-uneg yang mengganjal pikiran. Karya-karya saya jadi media untuk mengekspresikan semua itu.

Karya Anda banyak memakai potret diri. Apa ada alasan tertentu di balik hal tersebut?

Alasan filosofisnya, saya cenderung berkomentar tentang fenomena sosial politik yang terjadi. Ada sinisme pada potret-potret diri saya itu. Menyindir, tapi pakai foto saya sendiri. Bagi saya sendiri itu artinya saya membuka diri para kritik, sebelum mengkritisi orang lain.

Saya banyak memakai potret diri dalam karya sejak tahun ‘95 sampai 2005. Itu pun karena saya suka dan sering motret. Memakai model diri sendiri juga pada akhirnya jadi lebih ekonomis, kan.

 
"Self Portraits and Theater Stage" (2022) yang terdiri dari 60 potret diri dan dikerjakan Agus Suwage dalam waktu dua bulan

Menurut pengalaman Anda, apa saja yang perlu dilakukan agar seorang seniman bisa menghasilkan karya yang jujur?

Saya lihat sekarang ini kesempatan untuk berkembang di seni rupa itu lebih besar, tapi persaingannya juga lebih berat. Kalau mau menghasilkan karya yang bagus, ya bersikap jujur dan terbuka saja terhadap semua hal, terhadap kemajuan zaman. Setelah itu baru kita menyaring hal-hal yang kita lihat itu, mana yang mau digunakan dalam praktik seninya. Tapi sebetulnya perlu proses dan pengalaman juga untuk bisa menyaring dan mencerna berbagai hal itu, lalu menuangkannya dalam karya.
 
Untuk bisa membuat karya yang bagus, yang tentu akan berbeda juga bagi masing-masing seniman, itu kita juga harus tahu kapan dan di mana kita harus berhenti. Harus tahu istilah cukup, sudah selesai, gak usah ada embel-embel lagi karena kalau ditambah macem-macam lagi nanti malah karyanya jadi berlebihan.


Apa yang Anda lakukan untuk bisa terus berkarya?

Membaca banyak buku, referensi, melihat karya-karya seni lainnya, dan menjalani hidup saja sebaik-baiknya. Jadi sebagai seniman saya menghindari juga untuk terlalu asyik dengan karya dan dunia sendiri.
 
Saya juga suka menantang diri untuk menghasilkan karya. Misalnya saat membuat karya “Self Portrait and the Theater Stage ” yang sekarang dipamerkan di Museum MACAN itu, saya mendisiplinkan diri untuk bisa menghasilkan 60 potret dalam 2 bulan. Jadi sehari sebisa mungkin mengerjakan 1 potret. Sebelumnya pernah juga membuat “100 Drawing dan 720 Hari”  yang saya kerjakan sepanjang tahun 2012-2014.

 
100 Drawing dan 720 Hari” (2012-2014)

Agus Suwage merupakan salah satu perupa terkemuka tanah air yang karya-karyanya telah melanglang buana. Tak hanya menikmati penciptaan karya seni rupa, lulusan Institut Teknologi Bandung (ITB) jurusan Desain Grafis tahun 1986 itu juga bermain musik dan mencipta lagu. Perupa kelahiran 14 April 1959 yang kini menetap di Jogja tersebut saat ini juga menikmati betul hobinya bersepeda.
 
Sang perupa juga bersyukur bisa terus berkarya dan diapresiasi hingga hari ini, dan bisa bertemu kembali dengan karya-karyanya di pameran “The Theater of Me” yang saat ini sedang berlangsung di Museum MACAN. Pameran ini hadir di Museum MACAN selama periode 4 Juni hingga 15 Oktober 2022.

 
 
MARDYANA ULVA
Foto: Dok. Museum MACAN

 


Topic

Art

Author

DEWI INDONESIA