Segala sesuatu yang berbau ‘pertama’ memiliki sisi plus dan minusnya masing-masing. Anak pertama, pekerjaan pertama, gaji pertama menjadi suatu hal yang lumrah dipandang sebagai keistimewaan. Namun bagaimana jika kata pertama di sini berhubungan dengan institusi yang diduduki oleh seorang perempuan?
Menteri Keuangan pertama di Indonesia. Sekilas peran ini begitu istimewa, mengagumkan, dan hebat. Namun bagi Sri Mulyani Indrawati yang menyandangnya, seolah ada beban besar yang perlu ia tanggung di bahu. Walau terbukti, beliau pernah dianugerahkan penghargaan “Distinguished Leadership and Service Award” atau “Penghargaan Kepemimpinan dan Layanan” dari Institut Keuangan Internasional (The Institute of International Finance/IIF), namun seolah itu belum cukup untuk mengeliminasi bias-bias gender yang ada.
Ketika pertama kali ditunjuk sebagai Menteri Keuangan di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, saat itu beliau berusia 42 tahun. Usia tersebut bagi sebuah birokrasi pemerintahan dianggap masih relatif muda. “Jadi ada hal yang dipersepsikan kalau muda dianggap berarti experience-nya masih sedikit. Lalu karena belum pernah ada Menteri Keuangan perempuan di Indonesia sebelumnya, ini menjadi sebuah pengalaman pertama,” jelas Sri Mulyani di acara Women Leader Forum 2022 yang bertajuk “Achieving an Equal Future” persembahan Kata Data Perempuan.
Melihat ada sebuah tantangan dan pandangan sebelah mata yang ditujukan saat itu, Sri Mulyani Indrawati memiliki kiat jitu untuk menyiasatinya. “Menciptakan leadership yang efektif, regardless usia maupun gender. Dari sini lalu kita menciptakan efektifitas dari sumber daya manusia, budget, termasuk tata kelolanya dan proses bisnisnya sehingga menjadi instutisi yang reliable dan credible,” ujarnya lugas.
Tidak mudah menempati posisi ini, ada banyak tantangan internal maupun eksternal yang dihadapi. Apalagi menurutnya ketika seorang perempuan ditempatkan di posisi penting tertentu, seperti ada kewajiban bagi perempuan itu untuk membuktikan bahwa ia layak mendapatkannya. Sementara di lain sisi, laki-laki tidak menanggung beban tersebut. Bahkan yang lebih beratnya lagi, perempuan dituntut harus dua kali lebih baik daripada laki-laki.
Jika ditelusuri, hal ini menjadi sebuah persepsi yang tidak adil di kalangan perempuan. Perempuan yang sudah menikah dan memiliki anak tentu akan lebih kesulitan dalam menyeimbangkan kondisi kerja ketika urusan domestik pun menjadi tanggung jawabnya. “Melihat kondisi tersebut, perempuan menjadi struggling karena harus juggling antara waktu dengan keluarga dan karier. Dalam konteks ini, biasanya perempuan di seluruh dunia akhirnya drop out.”
Sri Mulyani Indrawati juga menambahkan “perempuan jadi memiliki banyak pertanyaan ketika harus berhadapan dengan pilihan karier, apakah ia harus menikah atau tidak, memiliki anak atau tidak. Ketika sudah memiliki anak, siapa yang akan merawat anaknya saat ia bekerja. Bahkan jika terjadi tegangan antara karier dan keluarga, akhirnya para perempuanlah yang harus berhenti bekerja.”
Sebagai seorang pemimpin perempuan, dirinya juga kerap harus menghadapi dilema. Jika terlalu tegas dianggap seperti bossing around, apabila mendetail akan ada sebutan bawel, dan ketika ingin memiliki performa dan gol disebut terlalu demanding. Fakta-fakta tersebut akhirnya harus kembali kepada kemampuannya untuk menciptakan skala kerja yang efektif seperti yang telah disebutkan di atas.
“Mereka akan melihat sendiri kalau sekarang menteri-nya sistematis, persistent, konsisten dan no non-sense. Yang terakhir ini yang paling penting, jadi ketika ada sesuatu yang keputusan yang seolah non-sense saya akan tetap mengejar itu agar tetap ada yang diimplementasikan. Di tengah birokrasi yang begitu besar seperti di Kementerian Keuangan, harus ada kemampuan untuk deliver what you’ve already decided dan itu adalah bagian dari leadership skill,” kata Sri Mulyani Indrawati soal pembuktian. Baginya setiap menemui halangan, ia akan terjun dan menjadi pemimpin yang solutif. Setiap halangan apapun harus bisa diatasi. Di situlah dasar pemikiran no non-sense yang ia pegang untuk berperforma di dalam Kementerian.
Terlebih untuk seorang perempuan yang ingin tetap berkarier walau sudah berkeluarga, menurut Sri Mulyani Indrawati perusahaan harus bisa mendukung para perempuan untuk tetap bisa melanjutkan tugasnya sebagai seorang ibu di tempat bekerja tanpa harus mengorbankan kariernya secara penuh. Selain itu, fleksibilitas juga sangat dibutuhkan apalagi kini dunia sudah familiar dengan teknologi.
Menurutnya, di Kementerian Keuangan ada beberapa fleksibilitas yang diberikan di area tertentu. “Tetapi beda kasus jika ia harus berhadapan dengan klien tertentu yang menuntut perempuan berada di kantor selama jam kerja. Yang penting kantornya harus memberikan fasilitas yang memadai untuk ia dapat menyusui, menitipkan anak, dan hal-hal lainnya,” ujar Sri Mulyani menanggapi.
Lewat forum-forum terbuka seperti ini, harapan itu ada bagi para perempuan. Suatu masa depan karier yang tak lagi terlalu jauh digapai melainkan secara perlahan dan pasti akan mencapai titik seperti yang diimpikan para perempuan sediakala.
JESSICA ESTHER
Foto: Kata Data Perempuan