Maharani adalah salah satu dari 21 perempuan perupa kontemporer yang ditampilkan dalam buku dan pameran Indonesian Women Artists: “Into the Future”. Ia terpilih karena termasuk seniman muda yang karyanya dinilai out of the box.
Dalam pameran di Galeri Nasional, Maret 2019 lalu, ia menampilkan dua karya instalasi bertajuk Warta Pijar dan Terompet Masyarakat. Keduanya mengangkat tema pengasingan tahanan politik (tapol) yang terjadi pasca tragedi 1965. Walaupun peristiwa itu terjadi puluhan tahun sebelum Maharani lahir, ia memiliki keterkaitan erat dengan masa itu karena kakeknya adalah salah seorang yang diasingkan ke Pulau Buru.
Rani –panggilannya– yang lahir pada 28 September 1990 adalah alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB). Sejak lulus dan menjadi perupa, karya-karyanya selalu berangkat dari penggalian identitas diri dan keluarga, serta irisannya dengan sejarah nasional. Inspirasi terbesarnya adalah buku harian mendiang kakek yang diberikan ayahnya kepadanya.
“Kakek –seperti tapol lainnya– ditahan tanpa pernah diadili. Jadi tuduhan terhadapnya tak pernah jelas. Pada periode itu, banyak simpatisan organisasi guru, buruh dan tani yang ditangkap. Kakek saya guru, jadi mungkin karena itulah ia ikut terjaring dan diasingkan. Ketika kakek pulang, cucu-cucunya –sepupu saya– tak pernah diberi tahu dari mana kakek selama ini. Orangtua kami berusaha mencegah anak-anaknya kena bully di sekolah karena hal ini,” jelas Rani.
Penelusuran buku harian kakek lalu membawa Rani ke Surabaya. Di sana ada penjara Koblen, salah satu tempat penahanan para tapol sebelum dipindahkan ke Nusa Kambangan, lalu dibuang ke Pulau Buru. Di Surabaya pula, Rani berjumpa dan mewawancarai eks tapol, Oei Hiem Hwie. Oei adalah Soekarnois yang kini memiliki perpustakaan Medayu Agung. Perpustakaan ini menyimpan banyak naskah lama, termasuk draf pertama Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Perjalanan Rani ke Surabaya inilah yang melatarbelakangi dua karya yang ditampilkannya dalam pameran Into the Future. Karya instalasi koran Warta Pijar berupa digital printing di atas kain panjang yang memuat kumpulan berita tentang penjara Koblen.
“Koblen pernah jadi penjara Belanda untuk menahan tentara Jepang, lalu beralih fungsi menjadi penjara militer Indonesia. Baru pada 1960-1970an menjadi penampungan tapol sebelum dikirim ke Nusa Kambangan. Jadi sejarahnya panjang dan penting. Namun kini bangunan itu tinggal bentengnya saja. Miris melihatnya dijadikan lahan parkir bus, sekolah TK, pasar, bahkan di luarnya ada penampungan sampah. Padahal Koblen ini bangunan cagar budaya. Karya saya –Warta Pijar– bukan saja ingin mengangkat sejarah Koblen, tetapi juga sentilan buat pemerintah agar lebih memerhatikannya.”
Karya Rani yang lain Terompet Masyarakat didedikasikannya pada Oei Hiem Hwie yang merupakan mantan jurnalis surat kabar bernama sama. Instalasi ini berupa dua kopor berisi barang-barang penting bagi tapol selama di pengasingan. Ada pula dua ilustrasi dengan medium kayu yang menampilkan mesin tik serta kertas dan pena.
Rani menjelaskan, “Ini menyimbolkan strategi para tapol –termasuk Pramoedya– agar tetap bisa menulis selama di pengasingan. Satu kopor berisi benda dan rempah yang mereka gunakan untuk menghitamkan kembali pita mesin tik. Pita mesin tik tentu merupakan barang langka di sana. Pita yang sudah aus direndam di dalam rempah-rempah, antara lain keluak, lalu dijemur agar hitam kembali.”
“Kopor kedua berisi kertas, pensil, karet gelang, korek, tembakau dan papir untuk melinting rokok. Untuk meloloskan catatan mereka dari pemeriksaan, para tapol menyembunyikan kertas atau buku di dalam celana. Kertas ditempelkan di betis atau paha, diikat dengan karet lalu ditutupi oleh celana. Sedangkan tembakau linting adalah ‘teman’ mereka saat menulis. Jadi karya saya semacam kotak P3K tapol saat itu.”
Maharani Mancanagara sebenarnya tak bercita-cita menjadi seniman. Namun semasa kecil, ia sering melihat paman-pamannya melukis dan bermain musik. Rupanya ini merangsang rasa ingin tahu dan ketertarikannya pada dunia kreatif. Apalagi, ayahnya membebaskan Rani mencoba kegiatan apa pun yang diminatinya.
Kuliah di FSRD ITB juga tak pernah diimpikannya. Ibunya yang iseng-iseng membelikan Rani formulir pendaftaran. Ketika akhirnya tembus ke FSRD, Rani merasa dirinya jauh tertinggal dibanding teman-teman seangkatan. Berbeda dari mereka, Rani tak pernah mengambil kursus gambar persiapan masuk FSRD. Ia tak tahu apa-apa soal teknik dan istilah seni rupa. Namun ini memicunya untuk mencari tahu dan belajar lebih banyak lagi.
Kerja kerasnya berbuah manis. Kini karya-karya Rani cukup sering dipamerkan, tak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri. Ia dua kali menggelar pameran tunggal: Parodi Partikelir (2017) dan Zero Sum Game (2018). Belum lama ini, pada September 2018 hingga Februari 2019 di Paris, ia memamerkan karya bersama seniman Indonesia lainnya dalam pameran kontemporer Java Art Energy. Bertepatan dengan itu, pada Januari hingga Februari 2019, karyanya juga dipamerkan di Sydney bersama 11 perupa Indonesia. Pada Juli mendatang, ia diundang berpameran di Taipei.
“Seni kontemporer kini semakin diapresiasi. Kebebasan medium dan material membuatnya memiliki daya tarik tersendiri, minimal untuk dijadikan background foto lalu diunggah di media sosial. Keragaman medium serta banyaknya simbol dan lapisan membuat penikmatnya harus memerhatikan suatu karya lebih lama untuk menginterpretasinya. Tak masalah bila persepsi orang berbeda dari pesan yang ingin disampaikan seniman. Justru itulah keunikan seni kontemporer. Ia memantik rasa ingin tahu, lalu menimbulkan banyak pertanyaan dan multitafsir.”
Terhadap dunia seni rupa Indonesia, Rani tak berharap muluk-muluk. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak seniman luar biasa, hanya saja infrastruktur dan manajemen pemerintahnya belum memadai.
“Di Indonesia, rasanya baru Museum Macan yang bisa disandingkan dengan museum kontemporer luar negeri, setidaknya Singapura. Pemerintah punya Galeri Nasional, Museum Gajah, Museum Seni Rupa dan Keramik, tetapi semua belum bisa menampilkan seni rupa Indonesia seutuhnya. Kondisi dan pemilihan pegawainya masih harus ditingkatkan. Pemerintah juga harus lebih mendekatkan diri pada seni. Lihat saja, banyak artefak dan aset old master yang dibeli oleh negara lain, misalnya lukisan Raden Saleh. Masa untuk mempelajari Indonesia, kita harus ke luar negeri?” (Eyi Puspita) Foto: Gani
Dalam pameran di Galeri Nasional, Maret 2019 lalu, ia menampilkan dua karya instalasi bertajuk Warta Pijar dan Terompet Masyarakat. Keduanya mengangkat tema pengasingan tahanan politik (tapol) yang terjadi pasca tragedi 1965. Walaupun peristiwa itu terjadi puluhan tahun sebelum Maharani lahir, ia memiliki keterkaitan erat dengan masa itu karena kakeknya adalah salah seorang yang diasingkan ke Pulau Buru.
Rani –panggilannya– yang lahir pada 28 September 1990 adalah alumni Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB). Sejak lulus dan menjadi perupa, karya-karyanya selalu berangkat dari penggalian identitas diri dan keluarga, serta irisannya dengan sejarah nasional. Inspirasi terbesarnya adalah buku harian mendiang kakek yang diberikan ayahnya kepadanya.
“Kakek –seperti tapol lainnya– ditahan tanpa pernah diadili. Jadi tuduhan terhadapnya tak pernah jelas. Pada periode itu, banyak simpatisan organisasi guru, buruh dan tani yang ditangkap. Kakek saya guru, jadi mungkin karena itulah ia ikut terjaring dan diasingkan. Ketika kakek pulang, cucu-cucunya –sepupu saya– tak pernah diberi tahu dari mana kakek selama ini. Orangtua kami berusaha mencegah anak-anaknya kena bully di sekolah karena hal ini,” jelas Rani.
Penelusuran buku harian kakek lalu membawa Rani ke Surabaya. Di sana ada penjara Koblen, salah satu tempat penahanan para tapol sebelum dipindahkan ke Nusa Kambangan, lalu dibuang ke Pulau Buru. Di Surabaya pula, Rani berjumpa dan mewawancarai eks tapol, Oei Hiem Hwie. Oei adalah Soekarnois yang kini memiliki perpustakaan Medayu Agung. Perpustakaan ini menyimpan banyak naskah lama, termasuk draf pertama Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer.
Perjalanan Rani ke Surabaya inilah yang melatarbelakangi dua karya yang ditampilkannya dalam pameran Into the Future. Karya instalasi koran Warta Pijar berupa digital printing di atas kain panjang yang memuat kumpulan berita tentang penjara Koblen.
“Koblen pernah jadi penjara Belanda untuk menahan tentara Jepang, lalu beralih fungsi menjadi penjara militer Indonesia. Baru pada 1960-1970an menjadi penampungan tapol sebelum dikirim ke Nusa Kambangan. Jadi sejarahnya panjang dan penting. Namun kini bangunan itu tinggal bentengnya saja. Miris melihatnya dijadikan lahan parkir bus, sekolah TK, pasar, bahkan di luarnya ada penampungan sampah. Padahal Koblen ini bangunan cagar budaya. Karya saya –Warta Pijar– bukan saja ingin mengangkat sejarah Koblen, tetapi juga sentilan buat pemerintah agar lebih memerhatikannya.”
Karya Rani yang lain Terompet Masyarakat didedikasikannya pada Oei Hiem Hwie yang merupakan mantan jurnalis surat kabar bernama sama. Instalasi ini berupa dua kopor berisi barang-barang penting bagi tapol selama di pengasingan. Ada pula dua ilustrasi dengan medium kayu yang menampilkan mesin tik serta kertas dan pena.
Rani menjelaskan, “Ini menyimbolkan strategi para tapol –termasuk Pramoedya– agar tetap bisa menulis selama di pengasingan. Satu kopor berisi benda dan rempah yang mereka gunakan untuk menghitamkan kembali pita mesin tik. Pita mesin tik tentu merupakan barang langka di sana. Pita yang sudah aus direndam di dalam rempah-rempah, antara lain keluak, lalu dijemur agar hitam kembali.”
“Kopor kedua berisi kertas, pensil, karet gelang, korek, tembakau dan papir untuk melinting rokok. Untuk meloloskan catatan mereka dari pemeriksaan, para tapol menyembunyikan kertas atau buku di dalam celana. Kertas ditempelkan di betis atau paha, diikat dengan karet lalu ditutupi oleh celana. Sedangkan tembakau linting adalah ‘teman’ mereka saat menulis. Jadi karya saya semacam kotak P3K tapol saat itu.”
Maharani Mancanagara sebenarnya tak bercita-cita menjadi seniman. Namun semasa kecil, ia sering melihat paman-pamannya melukis dan bermain musik. Rupanya ini merangsang rasa ingin tahu dan ketertarikannya pada dunia kreatif. Apalagi, ayahnya membebaskan Rani mencoba kegiatan apa pun yang diminatinya.
Kuliah di FSRD ITB juga tak pernah diimpikannya. Ibunya yang iseng-iseng membelikan Rani formulir pendaftaran. Ketika akhirnya tembus ke FSRD, Rani merasa dirinya jauh tertinggal dibanding teman-teman seangkatan. Berbeda dari mereka, Rani tak pernah mengambil kursus gambar persiapan masuk FSRD. Ia tak tahu apa-apa soal teknik dan istilah seni rupa. Namun ini memicunya untuk mencari tahu dan belajar lebih banyak lagi.
Kerja kerasnya berbuah manis. Kini karya-karya Rani cukup sering dipamerkan, tak hanya di dalam tetapi juga di luar negeri. Ia dua kali menggelar pameran tunggal: Parodi Partikelir (2017) dan Zero Sum Game (2018). Belum lama ini, pada September 2018 hingga Februari 2019 di Paris, ia memamerkan karya bersama seniman Indonesia lainnya dalam pameran kontemporer Java Art Energy. Bertepatan dengan itu, pada Januari hingga Februari 2019, karyanya juga dipamerkan di Sydney bersama 11 perupa Indonesia. Pada Juli mendatang, ia diundang berpameran di Taipei.
“Seni kontemporer kini semakin diapresiasi. Kebebasan medium dan material membuatnya memiliki daya tarik tersendiri, minimal untuk dijadikan background foto lalu diunggah di media sosial. Keragaman medium serta banyaknya simbol dan lapisan membuat penikmatnya harus memerhatikan suatu karya lebih lama untuk menginterpretasinya. Tak masalah bila persepsi orang berbeda dari pesan yang ingin disampaikan seniman. Justru itulah keunikan seni kontemporer. Ia memantik rasa ingin tahu, lalu menimbulkan banyak pertanyaan dan multitafsir.”
Terhadap dunia seni rupa Indonesia, Rani tak berharap muluk-muluk. Menurutnya, Indonesia memiliki banyak seniman luar biasa, hanya saja infrastruktur dan manajemen pemerintahnya belum memadai.
“Di Indonesia, rasanya baru Museum Macan yang bisa disandingkan dengan museum kontemporer luar negeri, setidaknya Singapura. Pemerintah punya Galeri Nasional, Museum Gajah, Museum Seni Rupa dan Keramik, tetapi semua belum bisa menampilkan seni rupa Indonesia seutuhnya. Kondisi dan pemilihan pegawainya masih harus ditingkatkan. Pemerintah juga harus lebih mendekatkan diri pada seni. Lihat saja, banyak artefak dan aset old master yang dibeli oleh negara lain, misalnya lukisan Raden Saleh. Masa untuk mempelajari Indonesia, kita harus ke luar negeri?” (Eyi Puspita) Foto: Gani