Sebagai Partner & Director di Potato Head Family, Ratna Kartadjoemena bertanggung jawab untuk mensupervisi operasional tiga restoran di Jakarta, yaitu Potato Head, Three Buns, dan Kaum. Rasanya cocok sekali dengan kegiatannya ketika kecil dulu. Waktu masih kecil dulu, salah satu permainan favorit Ratna adalah permainan restoran-restoranan. Peran yang diambilnya adalah pelayan atau koki. Permainan lego favoritnya pun bertema restoran. Kerap kali ia mendesain dan menata ulang tempat duduk restorannya itu. Padahal keluarganya lebih sering makan di rumah, hanya sesekali mengunjungi restoran. Ini tak lantas membuat Ratna lupa. Ketika berusia 12 tahun, Ratna mengidamkan memiliki toko es krim suatu hari
nanti. Alasannya, karena itu seru sekali.
Tumbuh dewasa, Ratna sejenak melupakan hubungan asmaranya dengan dunia restoran. Ia mengambil jurusan Business Administration di Georgetown University, Washington DC. Namun di waktu senggangnya, ia mengaku tetap menjadi foodie sejati. Adalah seorang teman yang menantangnya untuk bekerja di industri restoran atau melanjutkan ke sekolah perhotelan. Saat itu, ia sedang berada di tengah-tengah aplikasi MBA. Master of Management dalam program Perhotelan di Cornell University jadi pilihannya. Ia terpesona dengan dunia hospitality. Ratna menemukan resor kecil yang sustainable dan bekerja erat dengan komunitas lokal. Ini membuatnya bermimpi bisa memiliki sebuah resor berkelanjutan di Bali. Mimpi ini bahkan ia tuangkan ke dalam topik esai aplikasi sekolah pascasarjananya.
Ratna kembali ke Indonesia pada 2011. Ia pun bertemu dengan mitra bisnisnya saat ini, Ronald Akili, pendiri Potato Head Family. Saat itu, hotel Katamama yang berada di bawah bendera Potato Head Family, masih berupa gambar. Ratna bertanggung jawab membantu membangun tim inti untuk membuka lini bisnis baru yang meliputi tim arsitektur dan development, tim konstruksi, dan operasi hotel. Di saat yang sama, Potato Head Family mulai membuka restoran baru di Bali, Jakarta, dan luar negeri.
Menjalani proses itu, Ratna menyadari bahwa sudah saatnya untuk membuat sistem dan proses baru agar tidak selalu mulai dari mula tiap kali membuka lokasi baru. Bekerja erat dengan departemen Human Resources, Ratna terlibat dalam pembentukan tim legal serta pembuatan prosedur dan kebijakan untuk semua departemen. Di waktu itu juga, Ratna mulai menguji beberapa proyek keberlanjutan dalam perusahannya, salah satunya adalah upaya untuk mengelola sampah dengan lebih bertanggung jawab.
Persoalan sampah di Jakarta memang bukan persoalan main-main. Menjelang akhir 2018, tercatat volume sampah provinsi DKI Jakarta yang masuk Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPSP) Bantargebang, Bekasi, sebanyak 6.500 hingga 7.000 ton per harinya. Sampah tersebut kemudian dipilah, ada yang diproduksi menjadi kompos dan ada pula yang akan dipadatkan hingga menjadi bukit sampah di TPST seluas 110,3 hektar.
Proyek pengelolaan sampah di Potato Head Family dimulai dengan mengajak Yayasan Kampus Diakonia Modern (KDM) untuk mendaur ulang sampah di kantornya. Ratna kemudian juga berkenalan dan bekerja sama dengan Waste4Change, sebuah wira usaha sosial yang dapat mengelola sampah secara bertanggung jawab, selain sampah daur ulang, sampah organik, bahkan sampah residu (yang tidak dapat dikomposkan atau didaur ulang) dibawa oleh mereka ke mitra lain untuk diproses menjadi energi. Dari situlah, Ratna memulai perjalanan Potato Head Family menuju zero waste to landfill.
Masalah sampah adalah satu satu upaya Ratna untuk menyuapi kegelisahannya. Ia ingin melakukan sesuatu yang bermanfaat, bermakna untuk orang lain. Ia meninjau upaya pengembangan budaya internal perusahaan. “Upaya memberi kembali ke masyarakat itu mandek karena dulu hanya dibicarakan, tidak ada bentuk tertulisnya,” cerita Ratna. Bersama sang mitra, Ratna berkomitmen, jika ingin serius berkontribusi untuk masyarakat dan Bumi, misi ini harus menjadi bagian dari bisnis model dan tertanam dalam visi, misi, dan nilai-nilai perusahaan. “Kami menulis ulang misi Potato Head Family yaitu to Provide Good Times and Do Good,” ujarnya.
Misi tersebut diterjemahkan dalam bentuk nyata sebagai Ijen, sebuah restoran di Bali yang mengadopsi filosofi zero-waste. Restoran ini menyajikan hidangan laut segar yang ditangkap di area sekitar menggunakan bahan-bahan daur ulang. Semua limbah organik dan anorganik dipisahkan, sisa makanan diumpankan ke peternakan setempat atau dibawa ke lokasi pengomposan terdekat. Di Ijen, Ratna bercerita, kita juga bisa menemukan conscious cocktail karya bartender Tom Egerton yang mengadopsi filosofi yang sama. Ada pula Sustainism Lab yang digawangi oleh eco-champions Dewa Legawa dan Scott Farren-Price. Di laboratorium itu, mereka melakukan eksperimen untuk mengubah sampah menjadi bahan dan produk baru serta menjadi ruang pendidikan dan kerja sama bagi tamu dan rekan industri untuk belajar tentang praktik berkelanjutan.
Sejalan dengan misi tersebut, Ratna juga menyebarkan do good secara pribadi. Bersama Yayasan Emmanuel, Ratna terlibat membuat program leadership untuk siswa-siswa penerima beasiswa. Ratna juga terlibat dengan Du’Anyam, sebuah kewirausahaan sosial untuk pemberdayaan wanita di Flores. Du’Anyam memiliki misi untuk memberdayakan wanita, mengatasi kemiskinan di pedesaan, meningkatkan kesehatan ibu dan keluarga, menyediakan akses ke pendidikan serta mempromosikan kebudayaan Indonesia. “Hidup mereka sangat keras. Dengan asupan nutrisi yang sedikit, ibu hamil bekerja di ladang yang berlokasi di lereng yang curam,” ujar Ratna. Du’anyam membantu para wanita ini mendapatkan penghasilan dengan memanfaatkan potensi yang ada.
“Di sana ada kultur menganyam. Bahan bakunya pun mudah dicari, dari palem yang tumbuh sendiri di daerah itu,” cerita Ratna. Ketika Du’Anyam memulai bisnisnya, kebetulan hotel Katamama baru akan dibuka. “Kami sedang mencari amenities. Jadi akhirnya kami menjadi klien Du’anyam.”
Mimpi-mimpi Ratna masih panjang dan terus membesar. Harapannya, keberlanjutan tidak hanya menjadi omongan saja dan semakin mudah dijadikan bagian dari gaya hidup semua orang. “Mimpi kami adalah supaya brand kami bisa menginspirasi semua orang untuk bergaya hidup yang lebih peduli, lebih baik kepada sesama dan kepada komunitas serta lingkungan kita,” ujarnya. Di akhir tahun ini, Ratna dan timnya sedang mempersiapkan Potato Head Hotel di Desa Potato Head di Seminyak, Bali.
Pada akhirnya Ratna mendapatkan semua yang telah ia impikan, bekerja di industri restoran, walau bukan toko es krim sepertinya cita-citanya saat kecil dulu. Menurutnya, kenyataannya bahkan lebih baik dari mimpinya dulu. Yang ia giatkan sekarang lebih bernuansa, lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan. (Nofi Triana Firman)
Foto: Michael Andrew
Tata Rias dan Rambut: Anneke Hanggarwati