Mandiri, kokoh, berjaya dan merdeka namun sekaligus dingin dan misterius merupakan beberapa kesan yang selalu melekat pada Ay Tjoe Christine. Karyanya diburu banyak kolektor, sementara berbagai cerita berbumbu rumor yang melingkupi kehidupan pribadinya selalu membuatnya jadi buah bibir. Menyebutnya sebagai salah satu bintang di dunia senirupa merupakan keniscayaan. Namun Christine sendiri tak banyak bicara dan terbilang jarang beredar di keramaian seni rupa. Ia juga selektif memilih di mana karyanya akan muncul. Kendati begitu, kekaguman mengalir deras pada Christine dan karya-karya berteknik dry-point yang menjadi kekuatannya. Christine tak serta merta ada di tempatnya saat ini. Perlahan, ia merangkak, tertatih gamang mencari diri untuk mencapai tempatnya sekarang. Ia pernah mencoba pekerjaan yang tak benar-benar ia sukai sekadar memenuhi janji pada dirinya sendiri kalau ia bisa hidup dengan pilihan-pilihannya.
Ia pernah merasa berada di titik nadir. Jatuh, merasa kalah, dan marah. Bekerja keras dan berusaha melampaui segala yang dianggapnya sebagai rintangan ia lakukan untuk membuktikan diri. Berdamai, menerima dan mengubah sudut pandang menengarai keadaan jadi formula kekuatannya melanjutkan hidup.
Ketika berhasil lolos seleksi masuk Fakultas Seni Rupa dan Desain yang ia sukai, kedua orang tuanya sangsi. Mereka tidak yakin pilihan itu akan memberi Christine hidup yang layak. “Tapi saya ngotot masuk jurusan grafis karena saya suka. Untuk menenangkan orang tua, saya bilang ke mereka kalau nanti saya akan pindah ke jurusan desain di tahun kedua. Tapi akhirnya tidak jadi pindah karena saya merasa menemukan lingkungan yang cocok untuk saya di jurusan grafis. Maka sepanjang kuliah, satu-satunya pikiran yang ada di kepala hanyalah “Saya harus jadi. Harus dapat kerja begitu lulus kuliah. Harus bisa membuktikan bahwa bidang yang saya pilih itu bisa menghasilkan buat keluarga,” katanya.
Selepas kuliah, karena ingin membuktikan diri, tanpa banyak pertimbangan, ia terima saja tawaran kerja apa pun yang datang padanya. “Mengajar anak TK,” tukasnya singkat sambil sedikit tersenyum saat ditanya apa pekerjaan pertama yang ia lakoni. “Hanya bertahan satu setengah bulan. Bukan karena tidak suka anak-anak. Tapi karena saya belum tahu cara mengajar, jadi merasa tidak berfungsi banyak,” Christine menyambung. Tanpa arahan yang jelas seputar cara menjalankan tugas sebagai asisten guru taman kanak-kanak, Christine mengaku sangat kebingungan dan akhirnya mengundurkan diri.
Ia kemudian melamar kerja ke pabrik tekstil tempat kakaknya bekerja. “Kebetulan diterima di bagian desain. Dua tahun saya bekerja di situ. Sebenarnya saya bisa mengikuti ritme kerjanya. Cuma saya pikir, saya perlu sesuatu yang lain,” katanya. Meski penghasilannya cukup lumayan untuk membantu keluarga, Christine tahu ia akan bosan kalau bertahun-tahun bekerja di situ.
Lulusan Desain Grafis FSRD Institut Teknologi Bandung (ITB) ini lantas bergabung dengan Red Point, galeri seni grafis yang didirikan oleh teman-temannya di ITB. Christine merasa menemukan “rumah” di mana ia bisa nyaman. “Saya senang ngumpul lagi sama teman-teman. Di situ saya bikin karya grafis, bisa ikut pameran, dan bisa sama-sama terlibat dengan berbagai program yang diadakan. Senang sekali. Cuma melakukan apa yang saya suka,” kisahnya. Sayang, aktivitasnya di Red Point tak memberi penghasilan yang signifikan. “Di satu sisi senang, tapi di sisi lain saya jadi merasa egois karena tidak bisa memberi banyak pada keluarga. Saya pikir,ini juga nggak benar” kata Christine. Jalan keluar kembali coba dicari.
Beruntungnya, di saat itu, lamaran kerja yang ia layangkan ke Studio Biyan di Jakarta saat ia keluar dari pabrik tekstil itu mendapat jawaban. Ia dipanggil untuk melakukan wawancara. “Saya ngobrol dengan Mas Biyan dan sepakat untuk mencoba bergabung. Tapi itu pun akhirnya saya hanya lima atau enam bulan saja bergabung,” Selama bekerja di Biyan itu, Christine tetap bergabung di Red Point dan menurutnya, hati dan pikirannya terbelah sepanjang waktu. “Sebelah di Bandung bersama Red Point, sebelah lagi di Jakarta bersama Mas Biyan,” katanya.
Fashion sesungguhnya bukan sesuatu yang benar-benar asing bagi Christine. Sejak kecil, ia merasa memiliki minat yang cukup tinggi pada bidang itu. “Bahkan waktu di sekolah dasar, saya pernah bikin buku catatan yang saya sebut sebagai ensiklopedi tentang fashion dan kain nusantara,” Christine mengungkapkan. Matanya berbinar mengenang masa itu. Masa ketika ia begitu kagum pada seorang temannya, murid paling pandai di kelas, yang memiliki sebuah buku berisi berbagai informasi yang disebutnya dengan nama ensiklopedi. “Buku itu ditulis sendiri oleh teman saya dan bisa dipinjam oleh teman-temannya di kelas. Ensiklopedi itu membuat dia terlihat sangat hebat di mata saya dan saya ingin mengikuti jejaknya. Saya lalu mencari, hal apa yang kira-kira bisa membuat saya betah mengumpulkan berbagai informasi dan sabar menuliskannya di buku. Lalu ketemu, fashion dan kain nusantara,” katanya.
Sayangnya, ketika bekerja di Biyan, Christine mengaku tak bekerja secara maksimal karena ia tak bisa melepaskan pikirannya dari kerja-kerjanya di Red Point. “Sering sekali saya kabur untuk menyelesaikan karya. Sering terlambat masuk kantor dan selalu jawaban saya adalah karena habis pulang ke Bandung. Tak sampai lima bulan, saya dipanggil Mas Biyan dan diminta untuk menentukan pilihan. Total bergabung dengan Studio Biyan atau mau membuat pameran. Betul-betul pilihan yang sulit karena saya juga suka sama dunia fashion dan merasa belum belajar banyak di sana. Tapi di Red Point saya menemukan dunia saya,” katanya. Menariknya, di tengah kebimbangan itu, Christine menemukan jawaban dari sebuah buku yang tak sengaja ia baca di sebuah toko. “Kira-kira katanya-katanya begini, kalau kamu menyukai sesuatu, itu pasti akan membawa kamu pada kesuksesan. Saat itu juga, saya merasa mantap untuk memilih berada di tempat yang sayacintai,” katanya.
Menurut Christine, momen itu menjadi titik baliknya. “Terus terang sekarang, saya benar-benar berterima kasih pada Mas Biyan karena pilihan yang ia minta saya buat saat itu membawa pada perjalanan saya sekarang. Buat saya, ia adalah orang yang menguatkan saya untuk memilih karier ini,” katanya.
(Indah S. Ariani)
Foto: Chris Bunjamin
Pengarah Gaya: Karin Wijaya
Busana: Tangan, F Budi, Domestikdomestik
Rias Wajah dan Tata Rambut: Marshya D. Martha