Menyalurkan ekspresi dirinya lewat dunia mode, Sheila Agatha telah tertarik dengan dunia tersebut sejak duduk di bangku SMA. Namun hanya berani bermimpi dikarenakan pada saat itu stigma tentang fashion tidak terlalu bagus. Namun tetap tidak bisa jauh dari dunia mode, ia dan teman kecilnya bersama-sama mendaftar ke Raf es Design Institute di Singapura. Menikmati waktunya belajar tentang fashion, Sheila memutuskan untuk berpartisipasi dalam kompetisi fashion di taraf Asia. “Ternyata saya terpilih menjadi salah satu pemenang dari Indonesia, dan suami saya Sean Loh terpilih menjadi salah satu pemenang dari Malaysia,” kisah Sheila tentang masa lalunya. Dari kompetisi tersebut, Sheila banyak mendapat saran yang sangat penting untuk hidupnya, salah satunya memanfaatkan momentum tersebut untuk meluncurkan brand sendiri bersama sang suami, yaitu Sean Sheila.
Setelah brand terbentuk, Sheila mencoba menaklukkan proses berikutnya yaitu produksi. Untuk menghemat biaya, Sheila dan Sean memproduksi semuanya sendiri secara in house di Purbalingga, kampung halaman Sheila. Seiring berjalannya waktu, barulah mereka mulai memperkerjakan beberapa penjahit. Uniknya, penjahit yang ia pekerjakan adalah kaum difabel, lulusan Sekolah Luar Biasa Negeri Purbalingga. “Kebanyakan pekerja di Purbalingga sudah terserap oleh industri rambut palsu dan bulumata palsu. Jadi pemilik start up business seperti saya jelas tidak mampu menyaingi fasilitas yang disediakan pabrik-pabrik besar.” Jelasnya.
Sheila membebaskan pikirannya. Pada pagelaran Dewi Fashion Knights 2018 di panggung Jakarta Fashion Week 2019 silam, Sean Sheila menghadirkan sebuah koleksi yang terinspirasi dari masalah-masalah yang terjadi di masyarakat. Koleksi tersebut memiliki judul Slow Motion Apocalypse. Isu lingkungan sudah menyentuh semua lapisan masyarakat, tidak hanya lembaga swadaya masyarakat saja. Dunia mode pun turut ambil bagian dalam peningkatan kesadaran atas isu-isu yang berkembang?ini. (NTF) Foto: Roni Bachroni