Sepanjang hidupnya, Ayu Kartika Dewi menyukai pendidikan. Ia ingat betul bagaimana sejak kecil ia senang mencorat-coret tembok, pura-pura menjadi guru bagi teman sepermainannya. Ulah yang merepotkan orangtuanya, tetapi tak lantas diganjar hukuman. Sedari kecil ia diajari menyikapi hal sesuai takaran.
Semakin dewasa, Ayu menyadari keberagaman lingkungan keluarga tempat ia tumbuh. Ia yang muslim mempunyai nenek seorang Katolik. Tak jarang, karena penasaran ia ikut neneknya ke gereja. Meski sepanjang ibadah ia malah membaca komik, tetapi lewat pengalaman itu Ayu dibekali lensa berbeda dalam memandang hidup, bahwa yang berbeda bisa berdampingan. Pandangan yang dijungkirbalikkan kenyataan saat ia mengajar di Maluku Utara. Ketika itu sisa-sisa kerusuhan Ambon masih nyata bersisa. “Bahkan anak-anak dari desa Islam yang enggak mengalami saja bisa benci dan takut banget sama orang Kristen. Dan begitu pun sebaliknya. Jadi makanya waktu itu saya bikin SabangMerauke,” ujar Ayu di kantor Dewi beberapa waktu silam.
Urusannya membangun SabangMerauke tak sekadar tentang memperkenalkan keberagaman bagi para pesertanya. Melainkan juga untuk melatih empati dan cara berpikir kritis yang jarang kita temui di ruang-ruang kelas. Beberapa tahun kemudian, proyeknya berlanjut dengan membuat Perempuan Gagal untuk mengajak orang-orang membicarakan kegagalan. Proyek ini pun ia buat untuk memberikan tempat bagi para perempuan bersuara, berbagi cerita. “Karena, ya, banyak hal yang kita enggak bisa lewatin sendirian,” jelasnya.
Dari segala hal yang pernah ia lalui itu ia lantas mencoba menyimpulkan apa yang coba ia lakukan. Kadang ia membicarakan perdamaian, dan di kesempatan lain ia membicarakan tentang cara berpikir kritis, tak ketinggalan soal kesehatan mental, serta perempuan. Semua isu yang kini menjadi pembicaraan banyak orang masuk dalam radar perhatiannya. Ayu pun mencoba mendiskusikan dengan salah satu sahabatnya. Apa kira-kira benang merah dari segala hal yang sudah ia lakukan? “Lalu teman saya menarik napas dan berkata, ‘Yu jangan-jangan memang misi hidup kamu itu untuk menjadikan manusia seutuhnya.’ Menurutnya ketika bicara pendidikan, saya tidak bicara pendidikan formal di sekolah semata, tetapi juga mentalnya. Bagaimana orang bisa menerima diri mereka sendiri dan mencitai diri sendiri,” ungkap Ayu.
Selain itu, dari inisiasi-inisiasi socialpreneur-nya itu Ayu mulai mempunyai misi yang lebih luas: bagaimana berbuat sesuatu untuk Indonesia. Menerima pinangan sebagai Staf Khusus Presiden Joko Widodo pada 2019 adalah salah satu caranya. Saat ditanya apa yang ia rasakan ketika ditunjuk sebagai Staf Khusus Presiden, Ayu menjawab senang. “Karena saya tahu dampak yang bisa saya berikan jadi lebih banyak,” jelasnya.
Menjadi Staf Khusus Presiden memang sebuah peran dan tanggung jawaban di luar kerja-kerjanya sehari-hari. “Jadi ya senang karena ada lebih banyak hal yang saya kerjakan,” tegasnya lagi. Oleh karena antusiasmenya untuk betul-betul bekerja bagi Indonesia, Ayu menceritakan bagaimana ia mengajukan rentetan pertanyaan ketika menerima penawaran pekerjaan itu. “Kami ingin mereka yang mendapatkan posisi ini benar-benar kerja, bukan hanya seru-seruan. Atau bahkan jadi semacam PR stunt. Jadi kami sungguhan bertanya, dan ternyata beliau sangat serius,” papar Ayu.
Ayu lalu juga menjelaskan tugas seorang Staf Khusus Presiden. Yang pertama, yaitu sebagai teman diskusi Presiden. Maksudnya di sini, Ayu dan rekan-rekan staf khusus lainnya akan diajak membahas satu topik dan diminta memberikan perspektif mereka sebagai kaum muda. Selain, itu staf-staf khusus presiden juga bertugas sebagai jembatan ke komunitas-komunitas yang mereka punya. “Konkretnya gimana? Jadi ya kita harus bisa menyampaikan narasi dari pemerintah. Karena kan kadang sudah kepelintir enggak keru-keruan sebelum sampai ke bawah. Nah itu kita harus bisa bantu meluruskan and at the same time juga kita bisa mendengarkan apa aspirasi anak muda,” jelasnya.
Selain itu, Ayu juga menjelaskan bagaimana setiap staf khusus telah disandingkan dengan topik yang berbeda-beda. Khusus Ayu misalnya, ia memilih enam topik yang merupakan prioritasnya. Keenamnya antara lain, pendidikan karakter, pendidikan perdamaian, lingkungan hidup, urban planning—termasuk Ibu Kota Negara, keperempuanan, dan kesehatan mental. “Di luar itu tentu Presiden bisa memberikan topik apapun yang dia mau,” tambahnya.
Ayu lanjut menceritakan bagaimana tiap-tiap staf khusus akan mempunyai cara mengeksekusi topik-topik tersebut secara berbeda. Dalam kasus Ayu, ia menjelaskan bagaimana ia akan menggelar kampanye-kampanye seputar kesehatan mental dan toleransi. Di tahap eksekusi ini, Ayu menjelaskan bagaimana ia mengaturnya berdasarkan timing karena keenamnya sudah ia pilah atas dasar importance. “Jadi misalnya kemarin lagi Imlek, maka kita bicara tentang pendidikan perdamaian. Terus bulan depan kita mengobrolkan apa, bulan depannya lagi apa. Jadi bukan berdasarkan importance, tetapi berdasarkan timing.”
Di usianya yang masih begitu muda, tentu jalan panjang terbentang di hadapan Ayu. Namun, ketika ditanya apa yang menantinya setelah ia tak lagi menjadi Staf Khusus Presiden, perempuan yang juga pernah menjadi staf khusus Gubernur Basuki Tjahya Purnama di DKI Jakarta ini tak bisa memberikan jawaban rigid. Yang jelas ia masih konsisten untuk tetap berkontribusi. “Intinya apapun yang saya lakukan saya akan tetap berkarya buat orang lain, buat orang Indonesia. Jadi staf khusus hanya salah satu cara saya melakukan itu,” tutupnya yakin.
(SHULIYA RATANAVARA, NOFI TRIANA FIRMAN)
FOTO: RONI BACHRONI, BIRO PERS ISTANA PRESIDEN
PENGARAH GAYA: ERIN METASARI
BUSANA: DINIIRA
RIAS WAJAH & RAMBUT: DAISY KWEE
Topic
ProfileAuthor
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"
RUNWAY REPORT
Mengkaji Kejayaan Sriwijaya Bersama PT Pupuk Indonesia