Film terkadang tak hanya dibuat untuk menjadi hiburan semata. Film memiliki kemampuan untuk mengkontruksi sebuah realitas, layaknya sebuah cerminan kehidupan yang dapat diputar berulangulang. Meskipun tak semua film diangkat dari kehidupan nyata, namun tak sedikit yang menyelipkan sentilan realitas sosial yang terasa begitu nyata.
Hal itu mungkin yang dirasakan ketika selesai menonton film Selamat Pagi, Malam karya Lucky Kuswandi. Film yang pertama kali ditayangkan pada tahun 2014 ini, menjadi tempat Lucky menunangkan risauan hati setelah meninggalkan ibu kota tercinta.
“Ketika kembali ke Indonesia, saya belum mengenal siapa-siapa. Jakarta juga telah banyak berubah, saya kerap merasa asing di tempat tinggal sendiri,” tutur Lucky yang baru saja menyelesaikan film terbarunya Ali & Ratu-Ratu Queens yang direncanakan rilis di tahun ini.
Pria kelulusan Art Center College of Design ini tak menyangka kepulangannya kembali menyisihkan perasaan melankolis di benaknya. Perasaan tersebut membawanya dalam perjalanan untuk berkenalan dengan sisi Jakarta, yang baru, maupun menemukan kembali sisi Jakarta penuh nostalgia. “Dalam prosesnya saya menemukan kembali kota Jakarta,” ucapnya
Film yang ia tujukan sebagai surat cinta untuk Jakarta ini juga mencerminkan transformasi kota ini ketika gelap menerpa. Ketika cahaya gedung-gedung tinggi menyinari dan rasa sepi kemudian menggerogoti para penghuninya yang masih terjaga. Dari jalanan kosong yang berubah menjadi tempat orang bermain badminton saat malam, atau trotoar di depan sebuah toko yang dijadikan untuk tempat makan lesehan.
Dalam berkarya, kehidupan nyata adalah sumber inspirasi utama pria kelahiran 29 Agustus ini. “Banyak inspirasi yang didapatkan dari kejadian nyata dari kehidupan, dari baca berita, kebanyakan tentang halhal yang terjadi di sekitar saya sih,” tutur Lucky ketika membahas mengenai isu-isu yang menghiasi beberapa filmnya.
Layaknya film The Fox Exploits the Tiger’s Might (2015) yang berhasil mengundang decak kagum dan apresiasi positif pada pemutaran film pendek yang digelar
di Escape Miramar Cannes pada 2015. Melalui film ini, Lucky mengangkat mengangkat tentang persoalan politik asimilasi rezim Orde Baru terhadap warga Indonesia keturunan Tionghoa.
Life live and be observant, dua hal itu menjadi hal yang paling penting bagi Lucky dalam menghadirkan karyanya. “Sebagai seorang sutradara, harus pintar mengobservasi manusia dan karakter. We are the storytellers about the human condition, jadi kalau kita tidak observant atau tidak memahami tentang kondisi manusia, akan sulit untuk membicarakan sesuatu melalui karya,” lanjutnya.
Terkadang halus, namun tak jarang juga frontal. Mungkin kalimat ini dinilai tepat untuk menggambarkan karya-karya yang dipersembahkan oleh Lucky. Dari drama kehidupan, komedi, kisah cinta, karya-karya ia setia menghadirkan sentilan-sentilan realita yang membekas untuk para penontonnya hingga mampu meninggalkan kecamuk rasa bahkan ketika pintu bioskop telah ditutup. (AULI HADI) Foto: Lucky Kuswandi