Siapa yang menolak tinggal di Negeri Paman Sam? Janji-janji American Dream melenakan warga dunia, membuat mereka bekerja lebih keras demi bisa mengecap hidup yang lebih baik nan bebas di Amerika Serikat. Ibu dari Kania Maniasa salah satunya. Sejak Kania berusia 10 tahun, gadis Bali itu diboyong ibunya ke Amerika. Bayangan akan pendidikan yang lebih baik mendorong ibunya untuk membawa serta anak-anaknya yang masih kecil ke negeri nun jauh di sana.
Tumbuh dan besar di Amerika Serikat sebagai orang Indonesia lantas memunculkan dilema dalam diri Kania. “Waktu saya selesai kuliah, saya merasa ada dua sisi dalam diri saya. Orang Bali sekaligus orang Amerika tulen, karena saya tumbuh di sana. And for some reason when I was in the state I always felt like I’m missing something,” kata Kania.
Jawaban atas dilemanya ini lalu ia temukan kala ia pulang ke Bali pada 2014. Dalam liburannya ini ia diajak sang ibu mengunjungi sekolah yang kelak menjadi tempat ia berdedikasi, Green School Bali. Kesan pertamanya akan sekolah ini begitu berbekas. “Sekolah ini ada di tengah hutan, antah-berantah, tetapi juga menjadi tempat berkumpulnya anak-anak dari berbagai penjuru dunia. Ada juga anak-anak Bali yang sekolah di sini,” lanjutnya.
Persinggungannya dengan Green School Bali spontan menumbuhkan rasa keterhubungan. Kania melihat lingkup sekolah itu sebagai komunitas yang sarat dualitas. internasional sekaligus lokal. “I see myself in there,” ujar dia. Sekembalinya ia ke Negeri Paman Sam, pikiran Kania masih tertambat di Tanah Sang Ibu. Akhirnya ia membulatkan tekad untuk kembali dan bekerja di sekolah alternatif tersebut.
Padahal, Kania kala itu sudah magang di Voice of America. Keputusannya sempat dianggap aneh oleh ibunya sendiri. Bagaimana tidak, di saat banyak orang yang memimpikan kesempatan pergi ke Amerika Serikat ia malah memutuskan untuk kembali. Tapi apa daya rumah telah memanggil hatinya. “Saya ingin berkomitmen, saya ingin menemukan akar saya, terhubung dengan akar saya. Saya ingin kembali untuk menyediakan kualitas pendidikan yang baik bagi anak-anak seperti saya,” kata Kania. Suaranya tenang meski kental dengan keyakinan.
Dengan modal semi nekat, ia pun kembali ke Bali. Malang, tempat kerja idamannya itu sedang tidak membuka lowongan. Apapun lantas ia lakukan. Sampai akhirnya ia mendapat kesempatan jadi keluarga besar Green Shcool Bali. Bermula dari pekerjaan administratif hingga kini ia menjabat sebagai Head of Development Green School Bali yang bertugas menjalin kerja sama dan mencari bantuan dana untuk memberikan bantuan pendidikan kepada anak-anak Bali di sekitar lingkungan sekolah alternatif itu. Di sekolah ini, pengajaran tentang kesinambungan lingkungan dan kepemimpinan jadi yang utama.
Pendidikan dan kesinambungan lingkungan menjadi dua hal yang membuat hatinya jatuh kian dalam dengan institusi pendidikan di tengah hutan di Ubud itu. Minatnya tumbuh kala melihat bagaimana wajah Bali begitu berubah.
“Kadang saya merasa kita membangun terlalu cepat, sehingga kita melupakan apa dampaknya terhadap kesinambungan pulau ini. Bagaimana dengan nasib masyarakat lokal? Meskipun mudah mencari pekerjaan, tetapi bagaimana dengan nilai-nilai tradisi kita? Bagaimana dengan hubungan kita dengan alam? Dari pertanyaan-pertanyaan itulah saya menemukan keterhubungan yang lain dengan sekolah ini,” aku Kania.
Baginya pendidikan bagi anak-anak menjadi cara paling ampuh dalam mengatasi masalah itu. “Merekalah masa depan, dan bumi ini akan menjadi rumah mereka hingga di masa-masa yang akan datang. Maka cara apa yang lebih baik dibandingkan dengan mendidik mereka?” ujar perempuan yang juga mahir menari Bali itu.
Tak cuma soal keberlanjutan lingkungan hidup, Kania juga menaruh perhatian dalam hal pemberdayaan perempuan. Dan ke arah itulah ia menetapkan kelanjutan visinya di samping pendidikan anak. Baginya pemberdayaan perempuan untuk menjadi pemimpin dan membuat sesuatu sama pentingnya demi menciptakan kehidupan yang setara dan saling berkesinambungan.
Semangatnya semakin tinggi kala melihat bagaimana perempuan Bali kini tak lagi terkungkung di lingkungan Banjar masing-masing. “Perempuan sekarang sudah bisa mengimbangi tradisi,” ungkapnya. “Mereka kini tak hanya membuat sesaji, tetapi juga berjejaring di antara mereka dan itu patut kita rayakan serta manfaatkan untuk membuka kesempatan bagi perempuan.”
Mimpinya itu berjalan sejalan dengan pekerjaannya sekarang. “Saya mencoba untuk mendatangi berbagai jenis orang. Bukan hanya pemain bisnis, tetapi juga individu, atau bisnis-bisnis kecil, hingga komunitas,” kisah Kania. Dari pengalamannya itu ia mendapat kesempatan bertemu dengan berbagai jenis orang. Termasuk mereka yang mendedikasikan diri untuk menolong perempuan janda. Hal-hal ini ia lihat tak hanya dilakukan oleh satu-dua orang, dan bukan hanya dari Bali. Banyak pula orang-orang dari Jakarta datang ke Bali untuk membantu para perempuan di sana. Entah lewat NGO atau dalam bentuk start-up. Melihat hal ini, Kania melihat satu misi yang sama, kini tinggal bagaimana ia menyambungkan semua koneksinya.
Tekadnya itu ia patri dalam diri. Ia mengamini prinsip law of attraction dari buku The Secret. Bahwa ketika seseorang memfokuskan pikirannya akan satu hal, maka niscaya semesta akan membukakan jalan baginya. Keyakinan itu, dan keteguhan sang ibu yang telah membawanya pergi jauh serta membiarkannya pulang yang membuat api dalam diri Kania tetap menyala, untuk memberi makna bagi tempat ia berpulang.
(SHULIYA RATANAVARA)
FOTO: RONI BACHRONI Dok. Green School Indonesia
PENGARAH GAYA: ERIN METASARI
BUSANA: DINIIRA
RIAS WAJAH & RAMBUT: DAISY KWEE