Sejarah panjang bangsa Indonesia terkait erat dengan kaum muda. Menutut kehidupan bernegara yang lebih bersih hingga menggulingkan rezim, telah dilakukan anak muda. Sudah sewajarnya yang muda yang berani bicara dan berbuat sesuatu untuk hidup yang lebih baik. Anak muda masih punya segalanya; waktu, tenaga, juga cita-cita.
Sejarah juga mencatat perjuangan perempuan muda Indonesia. Di usia yang baru mengijak 20 tahun, Dewi Sartika mendirikan sekolah yang bernama Sekolah Isteri di Pendopo Kabupaten Bandung. Di usia yang sama, bertahun-tahun kemudian, Rasuna Said mulai beraktivitas di organisasi Sarekat Rakyat. Lima tahun kemudian, ia menjadi pemimpin redaksi majalah Raya yang dikenal dengan tulisan radikalnya. Rasuna juga seperti Dewi Sartika mendirikan perguruan putri di usia mudanya. Untuk menyebar-luaskan gagasan-gagasannya, ia membuat majalah mingguan bernama Menara Poeteri.
Dua perempuan ini sekadar contoh dari banyaknya perjuangan perempuan-perempuan muda di Indonesia. Beberapa tercatat dan sejarah, beberapa tidak. Ada yang besar pengaruhnya untuk negeri, ada pula yang bergerak di langkah awal saja. Yang jelas perjuangan kita masih panjang.
Layaknya Dewi Sartika dan Rasuna Said, keempat perempuan muda masa kini ini terpisah jarak, tetapi semuanya mempunyai satu kesamaan: berusaha memberi dampak. Masing-masing dengan caranya sendiri. Ada yang begitu belia tetapi suaranya sudah didengar bahkan di forum-forum dunia, sementara yang lain mendedikasikan waktu dan energinya untuk Indonesia. Tak ketinggalan mencoba memberi dampak sekecil apapun dari diri sendiri. Inilah cerita mereka, para perempuan penggerak Indonesia.
Mereka adalah Melati & Isabel Wijsen, dua aktivis muda penggagas Bye Bye Plastic Bags; Kania Maniasa, Head of Development Green School Bali; dan Staf Khusus Presiden Joko Widodo bidang sosial Ayu Kartika Dewi. (SIR, NTF).
FOTO: MUHAMMAD FADLI, ERIK GINANJAR NUGRAHA, RONI BACHRONI
PENGARAH GAYA: ERIN METASARI
BUSANA: DINIIRA
RIAS WAJAH & RAMBUT: DAISY KWEE