Menjelang target waktu pengoperasian angkutan cepat terpadu Jakarta pada Maret 2019, Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta Silvia Halim adalah wanita super sibuk. Ketika Dewi menemuinya di kantornya, ia baru saja kembali dari Mumbai, India mengunjungi pertemuan tahunan Asian Infrasturcture Investment Bank. Acara tersebut adalah tempat bertemunya berbagai instansi, perwakilan, dan pemerintah untuk berdiskusi, mendengarkan satu sama lain tentang proyek infrastuktur di Asia. Mewakili MRT Jakarta, Silvia berbicara mengenai dua hal; gender dan infrastruktur serta bagaimana sistem kereta api menghubungkan individu, pasar, dan komunitas.
Soal yang pertama, wanita berambut lurus ini bercerita panjang lebar. “Orang selalu berpikir infrastruktur itu netral, gender blind,” ujarnya, padahal kenyataannya tidak demikian. Kebutuhan pengguna transportasi umum perempuan dan laki-laki berbeda, sesuatu yang perlu dikenali oleh pihaknya. Bilik toilet misalnya, biasanya berjumlah sama di toilet perempuan dan laki-laki, padahal wanita membutuhkan waktu lebih lama di toilet sehingga mungkin saja antrian menjadi sangat panjang. Area pejalan kaki juga harus dibuat aman dan nyaman, misalnya dengan lampu jalan yang terang. Sekarang pihaknya masih memperdebatkan apakah di MRT Jakarta nanti akan ada gerbong khusus perempuan seperti yang sudah ada pada kereta commuter. “Kami masih perlu berdiskusi lagi dengan komunitas-komunitas untuk mendapat perspektif yang sebenarnya soal ini,” ujarnya.