Salvita Decorte meyakini mata adalah jendela jiwa. “Mata seseorang menyimpan banyak hal yang ingin dibicarakan. Ada hal yang tak bisa disampaikan oleh kata dan mulut tapi terlihat jelas melalui mata,” kata perempuan yang biasa dipanggil Sal. Sejak dulu, ia memang terobsesi dengan mata dan wajah. “Itulah kenapa saya suka melukis potret,” tambahnya. Ketika berbincang dengan seseorang, ia akan berusaha menatap wajah dan mata orang tersebut. Seakan mengunci lawan bicara dengan perhatian dan ketertarikan. Gaya bicaranya cepat tapi tenang.
Selain sebagai model dan aktris, Sal telah lama menekuni dunia seni lukis. Ayah dan ibunya adalah pelukis. Sal kecil sudah mengenal seni dari orang tua dan lingkungan tempat tinggalnya di Bali. Ia belajar menari Bali, les gitar dan menyanyi, serta membantu asisten rumah tangganya membuat sesajen canang sari. Orangtua tidak pernah menyetirnya menjadi seniman. Semuanya dibiarkan mengalir. Ia melukis untuk mengekspresikan perasaan. Bukan suatu kesengajaan di mana ia suka melukis lalu ingin jadi pelukis.
Sebetulnya, dorongan melukis datang setelah ayahnya meninggal dan studionya kosong tidak terpakai. “Dari situ, saya merasa bahwa saya melukis karena butuh. Saya tidak punya cara untuk mengekpresikan diri saya secara emosional. Melukis juga merupakan proses berdamai dengan duka kehilangan ayah. Saya pikir itu adalah momen kebangkitan, melukis benar-benar membantu saya,” kisahnya. Lama kelamaan, Sal melihat ada kesempatan untuk mendalami seni lukis secara profesional. Maka, ia sempat memutuskan mengambil jeda dari dunia film selama enam bulan agar konsentrasi terhadap seni lukisnya.
Sepanjang perjalanannya di dunia seni rupa, Sal telah beberapa kali mengadakan pameran di Jakarta maupun Bali. Terakhir pada 2019 lalu, ia berpameran di Dialogue bersama dua perupa perempuan lainnya yaitu Naomi Samara dan Ruth Marbun. Bertajuk "Pentimento: A Speculative Trace", ia memaparkan gambar wajah dan tubuh dengan penggunaan warna menarik. Potret ibarat nyawa dalam lukisannya. Meski ada kalanya, refleksi pemikiran tidak selalu terkandung dalam objek atau subjek. Melainkan juga dalam warna atau teknik yang dipakai untuk mencurahkan emosi. Objek bisa saja berupa manusia. Tetapi apa yang ingin ia katakan hadir lewat warna dan goresan. Sal tidak mengarahkan lukisannya akan berakhir seperti apa. Proses berkarya dibiarkan begitu saja apa adanya. “Tidak sedikit orang yang bilang bahwa lukisan saya terlihat menyeramkan dan sendu. Padahal saya sendiri tidak merasa demikian. Barangkali mereka terkoneksi ke arah situ. Seniman membuat karya untuk menemukan koneksi dengan orang. Apa yang mereka temukan juga tidak bisa didikte,” kata pemain film Abracadabra ini.
Sal tak menampik dalam beberapa proses bisa jadi ia sedang merasa sedih lalu tak sadar tertuang dalam lukisan. Raut wajahnya juga menjadi salah satu indikasi orang mengartikan kesedihan di karyanya. “Kalau saya diam, orang akan bilang bahwa saya sedang sedih. Meskipun sebenarnya tidak. Saya kurang nyaman saat orang mengatakan itu. Ini hanya soal wajah dan beginilah wajah saya,” ungkapnya.
Yang pasti Sal ingin menghadirkan sebuah koneksi yang dapat orang lain lihat dan rasakan lewat lukisannya. Boleh dibilang semua karyanya bersifat personal. Tujuan awal ia melukis baru sebatas meluapkan perasaan. Untuk sampai pada makna yang lebih besar seperti membawa isu penting dan menggerakan massa, harus dimulai dari diri sendiri melalui apa yang ia lihat, pahami, dan ingin ia bicarakan. Di samping melukis untuk dirinya sendiri, terkadang ada permintaan lukisan dari klien yang sesuai dengan keinginan mereka. Hal tersebut tidak membuat Sal kehilangan idealisme dan ruang berekspresi. “Belum ada perbedaan antara melukis sebagai profesi dan hobi,” kata perempuan kelahiran 13 Juli 1990 ini. (Wahyu Septiyani).
Pengarah Gaya: Karin Wijaya
Foto: Hilarius Jason
Tata Rias dan Rambut: Priscilla Rasjid
Busana: Chanel