Ada rasa kepuasan yang tertunda ketika seorang Grace Natalie terus menerus memberitakan sebuah permasalahan politik, namun ia tidak dapat banyak membantu untuk menyelesaikannya. “Ketika ada kasus politik, sebagai seorang jurnalis, saya hanya dapat terlibat sampai tahap memberitakan saja, namun tidak bisa memperjuangkan hingga menuntaskannya. Kalau sekarang, saya bisa memperjuangkannya hingga tuntas.”
Melihat media yang sangat berdekatan dengan politik, Grace membuat batasan-batasan. Padahal menurutnya, media seharusnya netral, tak berpihak. Ada pihak yang membuatnya tidak bebas dalam memberitakan sebuah kejadian. Ada pemberitaan yang berat sebelah, seperti hanya kepada partai koalisi dari pemilik media saja.
Grace masih haus akan pengetahuan, ia ingin menyerap semua ilmu, jika ia bisa. Rasa ini semakin diperkuat setelah maraknya berita tokoh-tokoh politik inspiratif baginya. “Sebut saja Bapak Ahok dan Ibu Risma,” ungkapnya. Dari kedua nama ini, niatnya untuk terjun langsung ke dunia politik semakin menjadi-jadi. Semangat Grace tumbuh, “Saya merasa bisa memberikan kontribusi yang sama.”
Dari seorang jurnalis, Grace memutuskan untuk pindah bekerja ke sebuah lembaga riset. Sebuah dunia baru baginya yang membuatnya belajar kembali. Grace banyak dipertemukan orang-orang baru yang membuat pemikirannya semakin terbuka. Kini, gelasnya kosong kembali, ia berniat mengisinya dengan ilmu-ilmu baru.
(NK) Foto: Honda Tranggono