Beberapa tahun belakangan orang-orang di dunia maya tampak hanya sebatas nama dalam layar ponsel. Token-token dua dimensi tanpa wajah. Sosok-sosok yang menjelma jadi mitos virtual. Salah satunya, Baskara Putra alias @wordfangs. Pengikut di akun media sosial pribadi miliknya memang belum mencapai jutaan, tapi entah bagaimana ia hampir selalu bisa menciptakan riak percakapan. Apapun sentimennya. Sebagian menganggapnya jenius, sebagian lagi menjulukinya
nabi urban dengan nada getir.
“Saya mencoba untuk menanggapi semua itu with a grain of salt,” katanya. “Saya cuma berharap itu kaitannya hanya dengan karya,” ia lalu tertawa. Karya yang bagus menurut lelaki yang akrab disapa Bas ini adalah yang bisa menciptakan dua ekstrem. Bukan sekadar mengambang di antara. Jika benar demikian, maka tak masalah apakah ia dicinta atau dihujat. “Tapi semoga bukan karena kepribadian saya. Karena
saya mencoba menjauhkan diri dari karya saya."
Baskara Putra boleh jadi punya alter-ego untuk proyek musik pribadinya, Hindia. Tapi tidak dengan kediriannya, baik itu di dunia nyata maupun yang maya. “Apa yang saya lakukan di dunia nyata dan dunia maya itu sama. Cuma saya hanya memilah mana yang bisa dibagikan dan mana yang enggak,” jelasnya. Pilihan sikap yang acap kali berujung teguran dari lingkungan sekitarnya tentang apa-apa saja yang ia bagikan di
media sosial.
Internet yang begitu luas punya daya meleburkan ruang sekaligus kepekaan kita terhadapnya. Tidak sedikit orang yang menganggap internet ruang kosong tempat ia asal membagikan pikirannya. Banyak pula ribut-ribut yang bermula dari pemahaman demikian. “Itu kan social skill sederhana yang harusnya Anda punya kepekaannya, dan I had my fair share tentang hal itu,” katanya. Salah satu contoh konkret adalah
persoalan meng-update Instagram Stories ketika bekerja di luar saat pandemi. “Enggak semestinya Anda melakukan itu, it normalize the idea kalau ya enggak apa-apa ke luar rumah. Biarpun dalam konteks ini Anda lagi kerja, ya,” tegasnya
Kepekaan ini lahir dari kesadaraan akan daya internet untuk mengamplifikasi suara dan karya. Baik ataupun buruk. “Seburuk-buruknya internet sekarang ini, bagaimanapun hidup saya terbantu karena internet. Karier saya terbangun karena internet,” ujarnya. Sebagai musisi Baskara Putra dikenal sebagai vokalis sekaligus frontman Feast, serta lewat proyek solonya, Hindia. Dua entitas musik yang lahir dan
menjadi masif lewat jejaring virtual.
Bukan berarti seluruh yang berada di dunia maya terputus seutuhnya dari apa yang terjadi di dunia nyata. Yang satu tetap harus bergerak dengan kesadaran akan keberadaan yang lain. Toh pada akhirnya internet hanya alat, sebatas wadah. Isinya tetap bersumber pada kegelisahan kita sehari-hari. Persepsi kita akan dunia, persepsi orang-orang kebanyakan. Mulai dari hal yang amat personal, hingga yang begitu makro. “Makanya kalau di Hindia, saya sering banget bilang saya ini average musician untuk average people."
Baskara Putra rasanya menjadi personifikasi yang cukup tepat atas internet itu sendiri. Dengan segala pro dan kontra yang mengiringinya, ia terus ada mengamplifikasi suara dan realitas yang dijumpainya. (SHULIYA RATANAVARA) Foto: Grego Gery