Bagi Anda yang menjalani gaya hidup vegan dan menghindari makanan atau barang apapun yang terbuat dari unsur hewani, vegan leather tentu bukan hal yang asing lagi. Vegan leather atau bahan kulit sintetis yang tidak terbuat dari kulit binatang asli ini pun disebut-sebut lebih ramah lingkungan ketimbang aslinya. Benarkah demikian?
Menghindari efek buruk peternakan
Bahan kulit asli mendapat reputasi tak ramah lingkungan karena beberapa hal. Aktivis hak-hak binatang menunjuk soal perlakuan buruk ternak dalam proses produksinya, sementara pegiat isu lingkungan menyebut-nyebut soal emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari peternakan. Belum lagi risiko deforestasi hutan tempat para ternak digembalakan, dan pencemaran sungai akibat limbah kimiawi dari proses pewarnaan kulit.Sementara itu, material vegan leather atau kulit sintetis dibuat tanpa melibatkan peternakan. Meski demikian, proses sintetis dan material yang digunakan juga berdampak pada lingkungan, yang membuat dua bahan ini menjadi problematis untuk dipilih.
Bahan baku plastik
Material yang paling umum digunakan dalam pembuatan kulit sintetis yaitu polyvinyl chloride (PVC) dan polyurethane (PU). Keduanya merupakan material yang pada dasarnya adalah plastik. Oleh sebab itulah istilah lain yang digunakan untuk menyebut kulit sintetis ini adalah pleather, yang berarti plastic leather.
Plastik, seperti yang kita ketahui bersama, juga menyumbang masalah lingkungan bagi Bumi. Sintetis yang digunakan dalam vegan leather memang dapat dipecah atau terurai, tapi tidak sempurna. Pembuangan sintetis berbasis PVC juga partikel beracun yang dapat mempengaruhi kesehatan manusia, hewan, dan lingkungan.
Vegan leather dari tumbuhan
Proses sintetis yang berbahaya pun memunculkan inisiatif yang lebih ramah lingkungan lagi sebagai alternatif kulit asli, yakni menggunakan bahan baku tumbuhan. Mylo, yang juga dikenal sebagai mushroom leather, diperkenalkan oleh Bolt Threads di tahun 2018 lalu. Mylo dibuat dari mycelium atau struktur akar jamur yang dikembang-biakan di laboratorium.
Ada pula Piñatex, kulit sintetis dari serat daun nanas yang dikembangkan di Filipina. Koleksi Conscious dari H&M adalah salah satu koleksi yang menggunakan material ini. Begitu pula dengan kulit Frumat yang dibuat dari kulit apel, yang memenangkan penghargaan “Green Carpet Challenge” di Milan, Italia, pada September 2019 lalu.
Kulit asli yang lebih 'eco-friendly'
Desainer Gabriela Hearst, yang juga mengembangkan peternakan organik milik keluarganya di Uruguay, punya pendapat soal kontroversi ini. Ia berkata tak akan ragu memakai vegan leather asalkan benar-benar biodegradable—yang hingga kini belum ada. Sementara itu sang desainer memilih kulit asli dengan fokus pada aspek pengelolaan sampahnya.“Ini isu yang rumit tapi saya fokus ke aspek limbahnya: saya tahu persis ternak yang kami besarkan secara organic ini dibawa ke tempat penyembelihan, 99% bagiannya dipakai dan tak ada yang dibuang,” jelasnya kepada Vogue.
Ketahanan material
Selain lebih tebal ketimbang kulit sintetis, material kulit asli juga dikenal dengan durability atau ketahanannya terhadap waktu. Seseorang bisa memakai tas atau jaket dari bahan kulit asli yang terawat selama beberapa dekade. Sementara kulit sintetis hanya bisa bertahan beberapa tahun saja, meski teksturnya dibuat semirip mungkin dengan kulit asli.
Pada akhirnya, keputusan untuk memilih pun ada di tangan konsumen sendiri. Bagi Anda yang bukan vegan, pertimbangannya, misalnya memilih untuk membeli tas kulit asli dari perajin lokal, atau tas tangan lain dari desainer internasional yang memakai bahan vegan leather? Sementara bagi yang vegan, memerhatikan betul asal usul material sintetis yang digunakan rasanya penting juga untuk dilakukan. (UP) Foto: Pexels
Topic
FashionAuthor
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"
RUNWAY REPORT
Mengkaji Kejayaan Sriwijaya Bersama PT Pupuk Indonesia