Perayaan Hati Rinaldy A Yunardi
Bagi Rinaldy, bekerja dengan hati merupakan sebuah kunci dari konsistensinya dalam berkarya 25 tahun terakhir. Sebuah kerja yang tidak pernah putus.
22 Mar 2021


6 / 8

Rinaldy A Yunardi berpikir keras saat ditanya: “Material apa sih yang belum pernah Anda olah?” Dia mencoba untuk mengingat-ingat sambil memperhatikan studionya di tengah obrolan dengan Dewi dalam sebuah sesi telekonferensi Zoom beberapa waktu lalu. “Sepertinya hampir semuanya sudah. Kalau kamu terpikir material yang belum pernah saya olah. Tolong kabari saya,” kata pria lebih dikenal dengan panggilan Yungyung ini.

Pertanyaan serupa pernah saya tanyakan kepada Yungyung lima tahun lalu, saat dia menggelar pameran perjalanan dua dekade karirnya. Reaksi Yungyung pun masih sama: kebingungan. Puluhan tahun merancang aksesori, dia telah mengolah banyak sekali material yang bagi banyak orang tidak terbayangkan bisa menjadi sebuah karya aksesori yang memancing perhatian. Mulai dari kancing, kertas, bunga, hingga tali rafia semua sudah pernah digubahnya. Itu sebabnya, sulit bagi dia untuk menjawab pertanyaan yang mengemuka di awal tulisan ini.

Pun bentuk karyanya juga beragam. Mulai dari tiara, topi, kalung, anting, hingga pernik dekorasi, pernah dirancangnya. Mendatangi studio Rinaldy A Yunardi, membuat kita merasa seperti Alice in Wonderland. Di setiap sudut studionya, banyak karya unik yang masing-masing memancarkan karisma tersendiri dan memantik rasa ingin tahu lebih dalam bagi siapapun yang melihatnya.

Ada perbedaan besar antara wawancara saya lima tahun lalu dengan Rinaldy, dengan wawancara kali ini. Dalam lima tahun terakhir, nama Rinaldy melejit. Karya-karyanya banyak dikenakan oleh bintang-bintang dunia. Namanya tidak hanya dibicarakan di tingkat nasional, tapi juga internasional. Mulai dari Katy Perry hingga Lady Gaga ataupun Madonna hingga bintang canto-pop Aaron Kwok, seluruhnya pernah mengenakan karya sensasional dari Rinaldy. “Saking ngefansnya dengan Aaron Kwok, saya pernah punya gaya rambut yang mengikuti gaya rambutnya,” ujar dia. 

Bagi Rinaldy, yang juga mengidolakan Madonna, interaksinya dengan sang bintang melalui mahkota dan kalung salib yang dikenakan Madonna pada Met Gala 2018 menjadi sebuah pengalaman yang tidak terlupakan karena karyanya bisa dikenal oleh dua sosok yang dia kagumi. “Bayangkan saja, karya saya harus bersanding dengan gaun karya Jean Paul Gaultier. Kalau Gaultier tidak setuju dengan karya saya, bisa saja karya saya tidak dikenakan,” kata dia. 

Di kancah mode Indonesia sendiri, Rinaldy A Yunardi dikenal sebagai salah satu desainer Indonesia dengan segudang prestasi. Pada 2019, Yungyung sukses meraih tiga penghargaan pada ajang World of Wearable Art yang berlangsung di Selandia Baru. Dia keluar sebagai pemenang pada kategori umum, alias Supreme WOW Award. Yungyung juga sukses memboyong penghargaan pada kategori Avant Garde dan juga International Design Award: Asia.  

Kini, ia baru saja merayakan tonggak karir seperempat abad di bidang mode. “Ini juga bertepatan dengan usia saya yang ke-50,” ujarnya. Perayaan yang terjadi di tengah pandemi itu berlangsung secara simbolis lewat peragaan khusus di Jakarta Fashion Week 2021 yang berlangsung di bulan November 2020. 

Lewat lini Refounders, Yungyung berupaya mempresentasikan kebutuhan bergaya masyarakat Indonesia di tengah pandemi. Pilihan tas untuk menaruh ragam kebutuhan higienitas yang menjadi barang wajib di tengah pandemi, hingga pilihan face shield, masker, atau topi bergaya yang kini bisa lebih dijangkau oleh masyarakat umum. 

Yungyung sesungguhnya ingin mengadakan sebuah pameran besar untuk merayakan perjalanan perak karirnya. “Karena ada pandemi itu tidak jadi terlaksana,” kata dia. Padahal, dia sangat ingin menampilkan deretan karya terbaiknya selama ini, berdampingan dengan karya-karya fenomenal desainer Indonesia lainnya. “Saya tuh ingin sekali melihat Indonesia bisa punya museum fashion,” kata dia. 

Pandemi, diakui Yungyung, telah banyak mempengaruhi bisnisnya di dua lini yang kini dia jalani. Lini Rinaldy A Yunardi yang memproduksi tiara dan aksesori eksklusif yang bisa dipesan secara terbatas, dan juga lini Refounders yang memproduksi aksesori—mulai dari sepatu, tas, masker, hingga face shield—sama-sama menghadapi tantangan di tengah pandemi. 

“Bohong kalau saya katakan situasi baik-baik saja,” ujar Yungyung. Pesta pernikahan yang sempat jarang diadakan dan menjadi nyawa dari lini Rinaldy A Yunardi sempat membuat usahanya sedikit meredup. Walaupun begitu, Rinaldy bisa sedikit lega seiring dengan mulai diadakannya kembali pesta pernikahan secara terbatas saat ini. “Yang penting bagi saya saat ini adalah bertahan di tengah pandemi,” kata dia.

Yungyung dengan jelas membedakan kedua lini tersebut, meskipun tetap terlibat erat dalam keduanya. “Rinaldy Yunardi itu kan tiara. Bling-bling. Kalung, anting, gelang. Tas yang hardcase, yang mewah, Itu yang benar-benar couture,” ujar Rinaldy. Menurut dia, masing-masing label punya karakter dan bahan yang berbeda. “Masing-masing juga punya tim yang berbeda. Jadi orang gak rancu. Jadi orang tidak melihat kenapa sih ini Refounders harganya murah. Sementara line lainnya harganya mahal banget. Kan memang jenisnya berbeda.” 

Manajemen produksi dua label tersebut, kata Rinaldy juga dibikin berbeda. “Kalau Rinaldy kan sudah puluhan tahun, dengan manajemen sendiri dan pengerjaan tersendiri. Saya bisa kontrol dari awal hingga akhir.” Namun, Rinaldy juga mengatakan kalau dia juga tidak segan terlibat dengan Refounders secara langsung. 

“Refounders itu bisa dibilang lini lain. Bukan second label. Aku harus perhatikan juga. Terkadang, aku juga yang menjawab di Instagram. Adminnya kadang-kadang saya juga. Saya suka banget untuk melayani. Orang bilang: ‘Untuk apa sih harga murah gitu kamu langsung turun tangan?’ Karena mau bagaimanapun ini karya saya dan tanggung jawab saya.” 

Biarpun harganya tidak semahal karya-karyanya di Rinaldy, menurutnya, Refounders tetap membawa namanya. “Memang sih, kalau Refounders ini (produksinya) tinggal mengikuti sampel saja. Hanya saja, Refounders ini harus bisa menyesuaikan dengan apa yang orang-orang banyak mau. Karena kan kita mau jualan. Kalau Rinaldy A Yunardi kan sebagian besar merupakan idealisme. Kalau dia mau made to order bisa kita kombinasikan. Tapi kalau Refounders ini enggak bisa kombinasi. Ini tetap dengan idealisme, tapi dengan tetap melihat apa yang mereka butuhkan sekarang ini.”

Kemampuan Yungyung untuk bisa berkarya sejak awal, merupakan contoh sebuah kisah sukses desainer Indonesia. Tidak pernah sekolah mode, Yungyung justru sukses merintis karirnya bermula dari bisnis tiara. Berbagai macam teknik dalam membuat perhiasan pernah dicobanya dan dipelajarinya secara otodidak. Kunci utama dalam karirnya adalah kemauan untuk terus menerus belajar dan berani bereksperimen.

“Terkadang Anda tidak perlu berpikir terlalu ribet untuk mulai berkarya. Justru kadang kita bisa memulainya dari sesuatu yang sederhana,” kata Rinaldy. Berkarya dengan beragam material yang tidak disangka, serta mengolahnya dengan teknik-teknik baru, kata Yungyung sebenarnya menjadi salah satu kunci suksesnya.

Dia mencontohkan pengalamannya saat menjadi juri Lomba Perancang Aksesori 2020 dalam rangkaian Jakarta Fashion Week 2021 beberapa waktu lalu. Menurutnya, banyak sekali desainer aksesori muda yang seperti terjebak harus membuat aksesori dari logam yang ditempa, dan menjadikan aksesori itu tidak terlihat seperti sesuatu yang inovatif. “Padahal ada baiknya kita memulai untuk merancang dengan melihat apa yang ada di sekitar kita,” kata Yungyung.

Menemukan cara pandang baru dalam memandang material dan juga memecahkan permasalahan yang ada di sekitar, ujar Rinaldy, justru bisa menjadi kekuatan tersendiri. Mungkin, karya-karya baru itu tidak sempurna, tapi itu mampu menyuguhkan sesuatu yang terlihat berbeda dengan desain-desain yang sudah ada sebelumnya.

“Masih banyak yang menyangka lebih baik merancang aksesori besi saja yang penting mahal,” kata dia. Padahal, di tengah pandemi yang sedang melanda, Yungyung justru lebih menghargai mereka yang mengerjakan sesuatu dari rumah, dan tanpa menyuruh orang lain. “Indonesia kan kaya raya, masa gak bisa sih? Coba lihat apa yang terbuang. Contoh saja seperti casing gawai, kancing, hingga baju bekas yang kerahnya bisa digunakan. Menurut saya, itu semua bisa dieksplorasi,” kata dia. 

Yungyung juga mengatakan kalau berpikir sederhana justru sesungguhnya lebih susah bagi banyak orang. “Tidak usah memikirkan sesuatu yang terlalu berat. Harus ke bengkel, pesan daun dari besi dan sebagainya. Harus kristal atau permata yang berkilau. Itu sih sudah banyak. Dan kita sudah bosan melihatnya.” 

Berbicara tentang desain, Yungyung sendiri dikenal dengan karya-karyanya yang avant garde, unik, dan kadang terkesan quirky. Dia pernah merancang hiasan kepala lengkap dengan baling-baling kertas untuk Sebastian Gunawan. Lalu, lihat juga bagaimana dia merancang semacam baju zirah dari kertas bekas pakai yang disusunnya menyerupai tekstur bak rotan pada gelaran Dewi Fashion Knights 2015 yang dinamainya sebagai Lady Warrior.

Jangan lupakan juga karya Yungyung pada Dewi Fashion Knight 2018 saat dia mengeksplorasi ragam karakter manusia lewat koleksi bertajuk The Faces. Hampir keseluruhan koleksinya mengusung semangat mode sirkuler. Menggunakan material-material yang mudah didapat, atau bahkan daur ulang, Yungyung kerap kali menggubah bahan-bahan sederhana tersebut menjadi koleksi yang menarik. 

“Banyak sekali yang bertanya, bagaimana cara saya mendapatkan inspirasi? Jawabannya adalah, karena saya sudah menjalankannya. Saya sudah terlebih dahulu mencoba berbagai macam teknik ataupun material,” kata dia.

Hasilnya, Yungyung memiliki berbagai macam pengetahuan atas ragam eksperimen yang pernah dia coba sebelumnya. “Jadi saat menemukan sesuatu yang baru, tinggal saya kulik saja,” ujar dia. Menggabungkan satu atau dua material dan kemudian menyempurnakan tekniknya dalam berbagai macam eksperimen menjadi salah satu kuncinya dalam berkreasi.

Menurut Yungyung, di Indonesia ada banyak sekali material yang menunggu untuk dieksplorasi. “Saya pernah membuat seorang bintang luar negeri mengenakan sapu ijuk di kepalanya. Dia tentu tidak tahu apa itu sapu ijuk,” kata dia. Menurut Rinaldy, ada banyak material yang bisa dikreasikan untuk didaur ulang. “Tergantung dari kitanya untuk jadi kreatif, Mau tidak untuk menciptakan sesuatu yang wearable atau indah? Atau, maukah kita menciptakan art piece yang memiliki cerita?”

Lebih jauh, bagi Yungyung, kunci suksesnya selama seperempat abad meniti karir di dunia mode Indonesia justru terletak pada etos kerjanya yang berdasarkan hati. “Banyak yang merasa seperti ini, ‘Gimana sih ini, gue udah jalan setahun dua tahun tapi kok gini-gini aja’. Pertanyaannya, ‘Kamu jalan dengan hati gak?’ Kuncinya cuma itu. Kalau kamu jalan dengan hati, Tentu dia akan melestarikan dan menjaga, terus terus dia akan mempelajari untuk memperindah tanpa ada batas waktu tertentu,” kata dia. 

Apalagi pekerjaan dalam bidang seni atau kreatif, kadang membuat banyak orang bekerja tanpa batas waktu. “Jam makan juga lupa, jam istirahat juga lupa. Tidak ada yang namanya nine to five. Kalau dia berani memperhitungkan jam kerja berarti kamu tidak cinta,” ucapnya. 

Yungyung menyebut ada banyak orang yang bekerja demi uang. Kerja di kantor, lalu kemudian melupakan apa yang dia kerjakan begitu sampai di rumah. “Menurut saya, itu tidak dengan cinta. Karena dia kerja hanya untuk uangnya saja.” Yungyung pernah berada pada posisi seperti itu. “Tapi setelah menjalani ini, kalau inspirasi ini sudah keluar, dan kalau menurut saya ide ini indah buat saya dan tidak membuat wajah mengkerut ataupun ngedumel.”

Saat berada dalam etos kerja semacam itu, kata Yungyung, tidak akan ada pikiran soal kelebihan waktu dalam bekerja. “Enggak boleh. Ini tetap harus dikerjakan dengan keikhlasan. Kerjakan dengan hati. Kerjakan dengan tersenyum, dan keindahan.” Kejujuran pada hati sendiri soal kemauan untuk menekuni sebuah bidang, menurut Yungyung adalah kunci sukses siapapun yang mau sukses di semua bidang. “Orang harus mencintai dulu sebelum bisa menciptakan.” (SUBKHAN J. HAKIM) Foto: Dok JFW 2021, Dok. Dewi

 

 


Topic

Fashion

Author

DEWI INDONESIA