Kesulitan-kesulitan itu sesungguhnya bukan halangan dan telah dibuktikan oleh banyak desainer perempuan Indonesia sebelumnya. Sjamsidar mencontohkan nama Ghea Panggabean yang masih eksis hingga kini. Ataupun nama-nama lain seperti Mel Ahyar dan Stella Rissa yang perlahan tapi pasti mulai membangun tim yang kuat untuk mendukung bisnisnya.
Menurut Direktur Program Jakarta Fashion Week Zornia Harisantoso, jumlah desainer perempuan ataupun pemilik label mode lini independen saat ini sebenarnya sudah bertambah banyak. “Terutama mereka yang memilih lini modest wear,” kata dia. Dua kompetisi desain mode yang berada dalam naungan JFW, masing-masing Lomba Perancang Mode—yang dilaksanakan sejak 1979 dan Lomba Perancang Mode Menswear masing-masing juga didominasi desainer perempuan.
“Dalam tiga tahun penyelenggaraan Lomba Perancang Mode Menswear misalkan, dua pemenang utamanya adalah desainer perempuan. Pesertanya pun juga lebih banyak perempuan,” kata Zornia. Selain itu, kebanyakan peserta sekolah mode di Indonesia juga didominasi oleh perempuan. Sebagian dari mereka merupakan perempuan yang memilih untuk mencoba karier kedua sebagai desainer usai berkeluarga.
Hanya saja, ia membenarkan kalau ada banyak kisah desainer perempuan yang kemudian harus menghentikan langkahnya sebagai desainer mode dengan beragam alasan. Mulai dari memilih tanggungjawab untuk mengurus keluarga, merasa kariernya tidak lagi relevan, atau sekadar merasa cukup dengan pencapaian yang sudah dimiliki sebelumnya.
Konsistensi dalam berkarya untuk terus bertahan dalam bisnis mode menjadi kata kunci yang seringkali menghantui desainer perempuan. “Komitmen yang kuat harus sangat disadari jika seseorang menginginkan karier dalam bidang ini,” ujar Zornia. Tanpa komitmen yang kuat untuk mencapai karier dalam bidang mode, tentu akan banyak kisah lain soal desainer perempuan yang menyerah di tengah jalan.
Banyak desainer perempuan yang menyerah karena tidak siap dengan tekanan kerja desainer yang cukup tinggi. “Masyarakat masih melihat citra seorang desainer itu adalah pekerjaan yang glamor,” jelas Zornia. Padahal, ada banyak hal yang perlu dilakukan seorang desainer dalam waktu singkat dalam kerjanya. “Sehingga, saat mereka mulai menjalani pekerjaan sebagai desainer banyak yang kaget dan merasa lelah. Karena dianggap tidak sesuai dengan bayangan mereka pada awal membangun karier,” kata dia.
Di sisi lain, Zornia juga melihat ada banyak desainer perempuan yang kadang butuh afirmasi soal pilihan karier mereka. Mengikuti kompetisi dan ajang mentoring, bagi sebagian dari mereka, merupakan suatu jalan untuk mengafirmasi pilihan karier tersebut. Di Indonesia, karier desainer perempuan dinilai punya cukup banyak harapan. Apalagi, ada perubahan pandangan yang cukup drastis soal peran perempuan dalam berbagai bidang.
“Saya merasa cukup beruntung dapat masuk ke dalam golongan kaum produktif pada era sekarang, dimana isu kesetaraan gender dan feminisme merupakan hal yang kian diangkat dalam berbagai wadah, baik itu media, film, musik, dan pastinya mode,” kata Rinda. “Kini perempuan lebih berani menyuarakan ide, menyuarakan kesetaraan dalam berbagai nilai kehidupan, dan sosok-sosok perempuan berani, androgini, feminin tetapi maskulin, kuat, dan cerdas dengan berbagai jenis kulit, ras, dan ukuran bukanlah hal yang dianggap asing lagi, apabila dibandingkan dengan beberapa dekade yang lalu.”
Biarpun secara global industri mode didominasi pria, desainer pria dan desainer perempuan masing-masing memiliki perspektif unik yang bisa dibilang saling melengkapi. “Saat desainer perempuan menciptakan pakaian, kebanyakan dari mereka menciptakan sesuatu yang ingin mereka pakai. Sementara itu, desainer pria kebanyakan membayangkan sosok wanita yang akan mengenakan rancangan mereka, itu biasanya bisa saudara perempuannya, ibunya atau bahkan selebritas idolanya,” kata Sjamsidar.
Rinda mengatakan hal yang serupa. Kemampuan untuk melihat pada dirinya sendiri untuk memakai pakaian yang dia inginkan menjadi poin lebih sebagai desainer perempuan. “Ini merupakan nilai tambahan ketimbang desainer pria yang umumnya mungkin tidak memiliki akses untuk mengenakan sendiri gaun rancangannya. Namun subjektivitas ini bisa juga menjadi bumerang, karena desainer pria mungkin dapat melihat suatu rancangan secara lebih obyektif dan secara keseluruhan,” ujar Rinda.
Sedangkan bagi Peggy Hartanto, desainer pria biasanya merancang apa yang mereka inginkan perempuan pakai. “Keduanya punya perspektif yang berharga untuk ditawarkan. Bagaimanapun, desainer yang paling sukses kalau menurut kami adalah desainer yang mampu mengerti kliennya dengan baik, tak tergantung gendernya,” kata Peggy.
Pada akhirnya, konsumen memiliki pilihan yang berbeda-beda. Di Indonesia setidaknya ada sinyal positif bagi desainer perempuan untuk bisa lebih diterima dan lebih sukses lagi di masa depan. “Klien sudah lebih pandai dan lebih memilih desainer yang cocok untuk personality mereka dan apa yang mereka perlukan, tanpa melihat gender dari desainer tersebut,” kata Peggy. (SUBKHAN J. HAKIM) FOTO: JFW, ISTIMEWA.