Permasalahan di Indonesia, tentunya lebih kompleks jika dibandingkan yang terjadi pada tataran global. Pemahaman terhadap mode sebagai bisnis yang penuh dengan liku manajemen seringkali luput dari perhatian calon desainer yang tengah menempuh pendidikan. “Kesulitan utama dalam menjalankan bisnis sebagai desainer, terutama desainer yang independen, umumnya terletak pada sisi bisnis, manajemen dan keuangan,” kata desainer Rinda Salmun. Rinda yang merilis Rinda Salmun sejak 2010 mengatakan kalau kurikulum dalam sekolah mode seringkali memberikan penekanan khusus pada pengembangan ide dan konsep yang kuat.
“Sementara untuk menjalankan bisnis mode, yang sebetulnya sama dengan lini bisnis lainnya, pengetahuan tentang manajemen perusahaan, permodalan, perpajakan dan sebagainya juga penting untuk diketahui, dan kurangnya pengetahuan akan hal itu di awal-awal mendirikan brand ini cukup menghasilkan banyak sekali proses trial and error,” kata Rinda.
Bagi Peggy Hartanto, lapisan permasalahan utama bagi desainer independen justru terletak pada kurangnya pengetahuan dan dukungan industri yang memadai untuk bersaing pada pasar internasional. Permasalahan seperti sulitnya mendapatkan material yang berkualitas di dalam negeri dengan kualitas tertentu, hingga kini masih menjadi hambatan. Secara manajemen, Peggy termasuk cukup beruntung, karena sejak awal punya tim yang kuat dalam pengelolaan bisnisnya. Lydia Hartanto dan Petty Hartanto, dua saudari Peggy, ikut serta dalam bisnisnya sejak awal. Lydia menangani manajemen bisnis, dan Petty mengatur visualisasi brand ini beserta pesan utama yang ingin disampaikan.
Baik Rinda Salmun dan Peggy Hartanto sama-sama mengatakan kalau perempuan memang seringkali punya peranan lain yang tak kalah sentral dalam keluarga dan tak jarang bersinggungan satu dengan yang lainnya. “Tentunya masing-masing punya skala prioritas yang seringkali inginnya selalu seimbang, namun ada kalanya juga faktor usaha menjadi penghambat bagi faktor tugas sebagai ibu, dan sebaliknya. Namun bagi saya, tujuan utama saya untuk tetap menjaga keseimbangan ini agar usaha berjalan lancar, dan di lain pihak anak-anak juga tetap terpenuhi semua kebutuhannya,” kata Rinda yang juga ibu dari dua anak ini.
Menurut Peggy, bagaimanapun di Indonesia masyarakat masih memiliki pandangan yang cukup tradisional tentang perempuan setelah menikah, dan ini bisa menjadi halangan bagi desainer perempuan Indonesia. “Masyarakat masih mengharapkan kalau perempuan harus tinggal di rumah dan merawat anak-anak saja setelah menikah,” ujar Peggy. Anggapan semacam ini, jamak terjadi, dan banyak desainer perempuan yang kemudian memutuskan untuk berhenti berkarya hanya karena hal tersebut. “Belum lagi, pekerjaan desainer itu membutuhkan manajemen stres yang sangat baik,” jelas Sjamsidar.
Pasalnya, seorang desainer butuh komitmen 24 jam untuk menciptakan visi kreatifnya dalam merancang koleksi. Di era digital yang semakin cepat, permintaan atas hal-hal yang baru seringkali menekan mereka. Ini belum ditambah lagi dengan beban pikiran urusan keluarga yang tentu juga menyita waktu. Fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga secara global menjadi tantangan desainer perempuan di mana saja.
“I think it is a personal choice – apakah perempuan setelah saatnya tiba akan memilih antara karier atau keluarga; dan apakah pilihan tersebut akan berpengaruh pada kariernya atau tidak. Atau apakah hal itu merupakah pilihan atau tidak. Atau mungkin dia bisa melakukan keduanya. Salah seorang dari kami baru-baru ini memiliki bayi dan dia memilih untuk tetap terlibat dalam bisnis dan mengurus bayinya secara bersamaan. Ini bukan keputusan mudah dan akan menjadi perjuangan harian bagi dia. Tapi perempuan itu kuat dan mereka akan bisa menjadi apapun yang mereka mau. Kerja tim dan pendukung yang kuat menjadi kuncinya,” kata Peggy.