Di tengah arus perubahan era digital, industri mode tanah air terus beradaptasi untuk memenuhi kebutuhan konsumen yang semakin dinamis. Hian Tjen, Chitra Subyakto, Asha Smara Darra, serta Margaretha Novianty dan Zico Halim, para pelaku industri fesyen terkemuka, berkumpul di Senayan City untuk membagikan pengalaman mereka sebagai perancang busana. Melalui diskusi media yang interaktif, mereka berbagi gagasan dan pengalaman mereka dalam menghadapi tantangan dan peluang di dunia mode yang terus berkembang.
Semakin Selektif dalam Berbusana
Hian Tjen, perancang busana pengantin ternama, mengamati perubahan tren di kalangan kliennya. Generasi muda kini cenderung memilih gaun yang lebih sederhana dan praktis, yang dapat dikenakan untuk siang dan malam. Meski demikian, menurutnya para orang tua pengantin masih menghendaki gaun pengantin nan begitu megah.
“Pengantinnya prefer yang lebih versatile, sementara orang tua mereka biasanya ingin gaun pesta pernikahan yang memang megah. Jadi biasanya saya jadi penengah di antara mereka,” ujar Hian diselingi tawa.
Hal senada diungkapkan oleh dua desainer dari jenama mode lokal Tangan, Margaretha Novianty dan Zico Halim. Mengusung konsep busana klasik, Tangan memiliki beberapa lini busana, termasuk di antaranya yaitu Tangan Essentials, dan Tangan Prive. Meskipun mengusung desain unisex, Tangan mengakui bahwa permintaan saat ini bergeser ke pakaian yang lebih sederhana, serbaguna, namun tetap berkelas.
Mengedepankan Praktikalitas
Selain soal pergeseran selera, Chitra Subyakto, pendiri sekaligus direktur kreatif Sejauh Mata Memandang, juga menyebut soal praktikalitas di era digital. Ia mengungkapkan bahwa pelanggannya didominasi oleh generasi millennial dan Gen-Z. Desain-desain busananya yang kasual dan santai mengakomodasi berbagai keinginan pelanggan, dengan kesamaan bahwa kedua generasi ini ingin mengekspresikan diri dan merasa nyaman dengan diri mereka sendiri.
Untuk beradaptasi dengan perubahan perilaku pelanggan, bisnisnya pun harus beradaptasi memanfaatkan teknologi digital secara optimal. E-commerce dan media sosial pun turut menjadi saluran pemasaran Sejauh Mata Memandang, selain hadirnya beberapa toko fisik di beberapa pusat perbelanjaan.
“Seru sekali juga melihat orang-orang bisa langsung klik tautan di media sosial untuk berbelanja baju-bajunya Sejauh,” ungkap Chitra.
Ruang untuk Segmen Khusus
Asha Smara Darra, desainer kenamaan di balik brand SHA House, menyadari bahwa generasi muda memiliki populasi besar, namun ia memilih untuk fokus pada niche market. Pergeseran ini menunjukkan bahwa pelanggan semakin selektif dalam memilih produk mode. Mereka tidak lagi terpaku pada tren semata, tetapi lebih mengutamakan kualitas, fungsionalitas, dan nilai-nilai yang terkandung di balik sebuah produk.
"SHA House adalah tentang kematangan dalam melihat desain," ungkapnya. "Klien kami adalah niche market, dan kami telah memposisikan diri sebagai brand niche market sejak lama, bahkan sebelum perkembangan digital semasif sekarang."
Kehadiran SHA House juga membuka peluang kolaborasi dengan talenta muda yang inovatif. "Anak muda sekarang inovasinya luar biasa," ujar Asha. "Hadirnya talenta baru membuat kita bisa berkolaborasi dan berbagi. Harapannya, Indonesia bisa punya positioning sendiri di dunia fashion global."
Babak baru mode ini penuh dengan tantangan dan peluang. Dengan menggabungkan mentorship, warisan, dan inovasi di era digital, para pelaku industri dapat menciptakan masa depan yang lebih cerah bagi industri mode Indonesia. (MAR)
Foto: dok. Senayan City