Hal yang sama diamini oleh Chitra Subiyakto, desainer penggagas brand Sejauh Mata Memandang. “Kami bekerja sama dengan Green Peace, Divers Clean Action, dan Gerakan Indonesia Diet Kantong Plastik. Kita dapat data dari mereka bahwa pada 2019 di 49 titik perairan di Indonesia itu sampah tekstil jadi sampah yang terberat, sekitar 55% dari total sampah,” jelasnya. Hampir seluruhnya, sampah tekstil itu adalah polyester yang sulit terurai.
Industri mode memang telah lama memproduksi terlalu cepat dan terlalu banyak. Baik itu di tataran high fashion, dan apalagi di level fast fashion. Everyone’s guilty. Oleh karena itu kedua perancang busana ini mencoba mencari siasat yang bisa mereka lakukan lewat brand masing-masing. Kata kuncinya ialah circular fashion. Dengan kata lain betul-betul memikirkan produk dari awal hingga akhirnya. Tidak hanya memastikan proses produksinya dilakukan secara bertanggung jawab, tetapi juga bagaimana mengolah kembali produk yang dihasilkan setelah orang tak lagi memakainya.
Chitra menjelaskan misalnya bagaimana Sejauh Mata Memandang mempunyai program "Daur". “Bagaimana caranya kami menggunakan kembali pakaian yang sudah ada supaya terus terpakai. Jadi semua kain perca kita manfaatin lagi,” jelas Chitra ketika dihubungi Dewi via telepon. Kain-kain lama ini ia kumpulkan dari orang-orang yang bajunya sudah kekecilan, kebesaran, robek, atau sudah tidak terpakai lagi. Saat ini Sejauh Mata Memandang memulainya dengan hanya menerima pakaian warna putih untuk diolah kembali. Akan tetapi tujuan besarnya adalah untuk menampung dan mengolah kembali tekstil-tekstil yang tak lagi terpakai.
Sebagai sebuah brand pun, Sejauh Mata Memandang juga terus berusaha mempraktikkan praktik yang berkesinambungan secara holistik. Misalnya dengan menjalin kerja sama dengan pelaku usaha-usaha rumahan, bahkan hingga ke luar Jakarta. Rekanan Sejauh Mata Memandang misalnya ada di Pekalongan dan Solo. “Mereka bukan pabrik, mereka itu memang usaha rumahan yang dikelola keluarga turun-temurun. Tadinya bapaknya, terus ke anaknya,” kata Chitra.
Dinamika itu membuatnya seperti diingatkan lagi untuk menjadi manusia. Karena kemudian membuat proses yang terjadi di antara mereka tak sekadar transaksional. “Karena harus duduk sama-sama, ngobrol. Minum teh bareng. Cerita tentang anaknya sakit gigi, terus baru kita diskusi. Terus mereka juga memang orang yang peduli dengan usaha mereka. Jadi kita ngobrol sama pekerjanya pun senang,” paparnya.
Rekanan usaha lain yang juga mereka gandeng adalah ibu-ibu di Rumah Susun Marunda. Kerja sama itu bermula dari program mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Dari program pemerintah, kerja sama ini lantas terjalin ke level yang amat personal baginya. Ia melihat sendiri perubahan besar yang dialami ibu-ibu ini. “Mereka awalnya bukan keluarga pembatik, tapi terus berlatih. Dari awal yang ngobrol ngeliat mata aja tidak berani. Sementara tiga bulan kemudian udah punya keterampilan itu udah lebih percaya diri. Mereka bilang seneng sudah bisa beli pulsa sendiri, atau sudah bisa nyicil motor, jadi enggak tergantung lagi dengan suaminya,” tutur Chitra penuh kesan.
Sementara Felicia memilih untuk bertransformasi mengganti model bisnisnya. Dari yang tadinya bergerak di sektor ready-to-wear, fbudi membelokkan kemudi ke jalur custom made. “Saya melihat masa depan fashion ada di bidang jasa ketimbang produk,” jelas Felicia. Ia melihat desainer punya peluang lain di luar jasa mendesain pakaian baru. “Sebagai seorang desainer kami bisa menawarkan jasa memperbaiki pakaian, memodifikasi pakaian, pun mendesain ulang pakaian yang tidak terpakai lagi,” ujar perempuan yang akrab dipanggil Feli ini.