Mengenal Tradisi Kuliner Nias Selatan
Dewi mengisi akhir pekan dengan mencicipi hidangan tradisional Nias Selatan.
18 Feb 2014


Fakhe Hada atau Fakhe Nifalogu sesaat setelah dimasak.
3 / 5
Judul acara The Succulent Tano Niha menggelitik rasa penasaran dewi, yang lantas
mendatangi acara tersebut pada hari Minggu (16/2) di Restoran Handayani Prima,
Matraman, Jakarta. Acara ini menghadirkan warga Nias Selatan yang memasak hidangan
tradisional mereka, menggunakan bahan-bahan yang hampir semuanya dibawa dari Nias
Selatan.

Menu yang disajikan antara lain:

Fakhe Nifalogu, yaitu nasi dari beras yang ditanam secara alami, lalu dimasak dalam
periuk tanah liat dengan air kelapa dan daun pisang.

Pepes Ikan Laira, yang berbumbu kunyit, daun mako-mako, dan aneka rempah dengan
bungkusan daun pisang.

Sup Babae, berupa setup kacang tolo putih, dimasak dengan rempah-rempah dan kuning
telur.

Doru ba Guro Nigore, terong balado dengan udang Nias.

Gae Nibogo Nifufu, atau pisang Nias yang dipanggang, dimakan dengan gula merah cair dan parutan kelapa.

Acara ini diadakan oleh Azanaya, kelompok aktivis kuliner yang berkomitmen
memperkenalkan makanan dari berbagai daerah di Indonesia kepada pada pencinta kuliner.

Lisa Virgiano, salah satu pendiri Azanaya, menceritakan bahwa membawa peranti memasak dan bahan-bahan segar dari Nias Selatan adalah suatu tantangan tersendiri. Belum lagi tradisi kuliner Nias yang banyak menggunakan daging babi, padahal Lisa dan Azanaya memiliki komitmen untuk tidak pernah menyajikan daging babi. Jalan tengah kali ini, para juru masak dari Nias tetap memasak beberapa menu daging babi, namun proses memasak dan penyajiannya terpisah.

Di sela-sela saat bersantap, tamu acara berkesempatan mengenal budaya Nias Selatan
lewat presentasi Waspada Wau dan Noniawati Telaumbanua. Waspada adalah seorang warga asli Nias Selatan, sedangkan Noni adalah warga Gunung Sitoli yang bersuamikan seorang warga Nias Selatan.

Waspada menceritakan antara lain tentang pembagian daging babi saat perjamuan antar
keluarga pengantin, sementara Noni menceritakan kearifan lokal dalam hal kuliner.
Misalnya bagaimana petani menanam padi dengan berladang secara berpindah-pindah, untuk memberi waktu bagi ladang yang sudah ditanami untuk menyerap unsur hara. Ikan dari perairan Nias Selatan pun diawetkan dengan cara diasap, supaya warganya memiliki
persediaan ikan saat musim sedang tak memungkinkan untuk mencari ikan.

Bukan hanya menikmati hidangan yang membuat tersenyum, acara The Succulent Tano Niha ini juga memberi wawasan mengenai kearifan lokal yang menimbulkan kerinduan akan kehidupan sederhana nyaris tanpa beban.

Teks & Foto: MUTHI KAUTSAR

Azanaya
Email: [email protected]

 

Author

DEWI INDONESIA