Kata “ulama” merupakan bentuk jamak dari kata “alim” yang berarti orang yang berilmu atau mengerti agama. Sejarah Islam mencatat, ulama perempuan telah menjadi bagian dari peradaban ilmu pengetahuan. Seperti halnya ulama laki-laki, ulama perempuan mengemban misi untuk berpihak dan membela kaum lemah dan kaum yang dilemahkan. Keberadaan dan kehadiran mereka untuk menebarkan kebaikan bagi seluruh umat manusia sehingga tercipta kehidupan yang damai, adil, dan setara.
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) melahirkan ikrar para perempuan ulama yang menegaskan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia lahir dari pembahasan isu sosial seperti kekerasan seksual, pernikahan anak, radikalisme agama, dan kerusakan lingkungan. Musdah Mulia, Ketua Lembaga Kajian Agama dan Gender, menganggap rekomendasi yang digagas KUPI menjadi pengingat bahwa agama tidak terbatas pada hal-hal hitam dan putih, seperti surga dan neraka atau halal dan haram. “Mesti dipahami, persoalan beragama itu seluas kehidupan manusia. Beragama artinya punya kepedulian terhadap kemanusiaan. Tidak bisa kita melakukan ritual ibadah, tanpa perilaku sehari-hari mencerminkan keimanan kita,” kata Musdah Mulia.
Melalui isu-isu sosial, KUPI menegaskan peran ulama perempuan untuk mendorong masyarakat agar mempelajari agama secara komprehensif. Ini disepakati Nyai Hj. Masriyah Amva, pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon. “Kongres ini menguatkan posisi perempuan untuk berbagi pikiran. Perempuan harus bersuara demi kehidupannya, agamanya, dan bangsanya. Dengan pengetahuan, perempuan mampu melawan budaya yang menindas,” ujarnya. Menurut Nyai Masriyah, agama harusnya tidak sebatas wacana. Tetapi sepatutnya mampu menjadi jalan keluar permasalahan kemanusiaan yang berguna bagi masyarakat luas.
Ada sembilan rekomendasi meliputi isu-isu sosial yang dilansir Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Pendidikan keulamaan perempuan di Indonesia, respon pesantren terhadap keulamaan perempuan, penghentian kekerasan seksual, perlindungan anak dari pernikahan anak, perlindungan buruh migran, pembangunan berkeadilan, peran perempuan dalam menghadapi radikalisme agama, peran dan strategi perempuan dalam menghadapi krisis kemanusiaan, serta peran perempuan dalam menghadapi kerusakan lingkungan.
Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu dibahas dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan mencatat selama 12 tahun (2001 hingga 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban seksual setiap hari. Tahun 2012, tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual dan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan. Komnas Perempuan merilis 15 jenis kekerasan seksual. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, perdagangan perempuan, dan pemaksaan perkawinan.
Pemaksaan perkawinan, termasuk pernikahan anak, kerap kali terjadi dan dilakukan atas alasan agama. Salah satu upaya ulama perempuan adalah dengan melakukan pendampingan berbasis pesantren. Termasuk pesantren asuhan Nyai Masriyah di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. “Sebetulnya banyak upaya yang dilakukan ulama perempuan terkait permasalahan sosial. Bantuan advokasi, pendampingan ke jalur hukum, dan mendidik masyarakat merupakan tugas ulama perempuan dan pesantren sebagai lembaga pendidikan,” papar Musdah.
Di tengah maraknya intoleransi dan krisis kemanusiaan, Musdah Mulia menilai perempuan memiliki peran signifikan untuk menghadapi ancaman terhadap kebhinekaan. Menurut Musdah, ulama perempuan mempunyai jalan komprehensif untuk mencegah meluasnya radikalisme dan intoleransi. “Radikalisme tidak bisa dilawan dengan cara-cara maskulin seperti kekerasan dan angkat senjata. Yang paling utama dan mendasar adalah pendidikan. Bagaimana kita melahirkan generasi-generasi yang ramah, toleran, dan manusiawi,” kata Musdah. Musdah menekankan pentingnya pendidikan dalam keluarga dengan nilai-nilai yang mengedepankan kemanusiaan, kasih sayang, dan toleransi. “Penting untuk dipahami, beribadah bukan tujuan dalam beragama. Kita perlu mengembalikan agama pada esensinya yaitu kemanusiaan,” ujar Musdah. (RR) Foto: dok. KUPI; 123rf
Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) melahirkan ikrar para perempuan ulama yang menegaskan kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Rekomendasi Kongres Ulama Perempuan Indonesia lahir dari pembahasan isu sosial seperti kekerasan seksual, pernikahan anak, radikalisme agama, dan kerusakan lingkungan. Musdah Mulia, Ketua Lembaga Kajian Agama dan Gender, menganggap rekomendasi yang digagas KUPI menjadi pengingat bahwa agama tidak terbatas pada hal-hal hitam dan putih, seperti surga dan neraka atau halal dan haram. “Mesti dipahami, persoalan beragama itu seluas kehidupan manusia. Beragama artinya punya kepedulian terhadap kemanusiaan. Tidak bisa kita melakukan ritual ibadah, tanpa perilaku sehari-hari mencerminkan keimanan kita,” kata Musdah Mulia.
Melalui isu-isu sosial, KUPI menegaskan peran ulama perempuan untuk mendorong masyarakat agar mempelajari agama secara komprehensif. Ini disepakati Nyai Hj. Masriyah Amva, pengasuh Pondok Pesantren Kebon Jambu Al Islamy Babakan Ciwaringin Cirebon. “Kongres ini menguatkan posisi perempuan untuk berbagi pikiran. Perempuan harus bersuara demi kehidupannya, agamanya, dan bangsanya. Dengan pengetahuan, perempuan mampu melawan budaya yang menindas,” ujarnya. Menurut Nyai Masriyah, agama harusnya tidak sebatas wacana. Tetapi sepatutnya mampu menjadi jalan keluar permasalahan kemanusiaan yang berguna bagi masyarakat luas.
Ada sembilan rekomendasi meliputi isu-isu sosial yang dilansir Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Pendidikan keulamaan perempuan di Indonesia, respon pesantren terhadap keulamaan perempuan, penghentian kekerasan seksual, perlindungan anak dari pernikahan anak, perlindungan buruh migran, pembangunan berkeadilan, peran perempuan dalam menghadapi radikalisme agama, peran dan strategi perempuan dalam menghadapi krisis kemanusiaan, serta peran perempuan dalam menghadapi kerusakan lingkungan.
Kekerasan terhadap perempuan menjadi isu dibahas dalam Kongres Ulama Perempuan Indonesia. Komnas Perempuan mencatat selama 12 tahun (2001 hingga 2012), sedikitnya ada 35 perempuan menjadi korban seksual setiap hari. Tahun 2012, tercatat 4.336 kasus kekerasan seksual dan mayoritas bentuknya adalah perkosaan dan pencabulan. Komnas Perempuan merilis 15 jenis kekerasan seksual. Beberapa di antaranya adalah perkosaan, perdagangan perempuan, dan pemaksaan perkawinan.
Pemaksaan perkawinan, termasuk pernikahan anak, kerap kali terjadi dan dilakukan atas alasan agama. Salah satu upaya ulama perempuan adalah dengan melakukan pendampingan berbasis pesantren. Termasuk pesantren asuhan Nyai Masriyah di Pondok Pesantren Babakan Ciwaringin. “Sebetulnya banyak upaya yang dilakukan ulama perempuan terkait permasalahan sosial. Bantuan advokasi, pendampingan ke jalur hukum, dan mendidik masyarakat merupakan tugas ulama perempuan dan pesantren sebagai lembaga pendidikan,” papar Musdah.
Di tengah maraknya intoleransi dan krisis kemanusiaan, Musdah Mulia menilai perempuan memiliki peran signifikan untuk menghadapi ancaman terhadap kebhinekaan. Menurut Musdah, ulama perempuan mempunyai jalan komprehensif untuk mencegah meluasnya radikalisme dan intoleransi. “Radikalisme tidak bisa dilawan dengan cara-cara maskulin seperti kekerasan dan angkat senjata. Yang paling utama dan mendasar adalah pendidikan. Bagaimana kita melahirkan generasi-generasi yang ramah, toleran, dan manusiawi,” kata Musdah. Musdah menekankan pentingnya pendidikan dalam keluarga dengan nilai-nilai yang mengedepankan kemanusiaan, kasih sayang, dan toleransi. “Penting untuk dipahami, beribadah bukan tujuan dalam beragama. Kita perlu mengembalikan agama pada esensinya yaitu kemanusiaan,” ujar Musdah. (RR) Foto: dok. KUPI; 123rf
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta