Sutradara dan Mahaguru Perfilman Legendaris, Teguh Karya
Perjalanan Teguh Karya, pendiri teater populer dengan karya-karya film bergaya realis.
20 Jan 2017


Pada awal tahun 1990-an, diskusi teater dan film diselenggarakan rutin di sebuah rumah di Kebon kacang, Jakarta, tempat Teater Populer bermarkas. Diskusi itu terbuka untuk umum. Pesertanya terdiri dari penggiat teater maupun anak-anak muda serta mahasiswa. Tiga orang pemberi pertanyaan terbaik diberi hadiah kecil sebagai tanda penghargaan atas sikap kritis dan rasa ingin tahu mereka. Lelaki yang turut menjawab semua pertanyaan itu bernama Teguh Karya, sang pemilik rumah. Ia pendiri Teater Populer dan sutradara Indonesia yang sangat dihormati. Film-filmnya yang bermutu itu bergaya realis dan amat membekas dalam ingatan para penontonnya. Ketika ia produktif berkarya, film Indonesia tengah mengalami puncak secara kualitas maupun estetik.
Teguh Karya terlahir sebagai Steve Liem Tjoan Hok pada 22 September 1937 di Pandeglang, Banten. Ayahnya Laksana Karya (Tjon Hok), seorang keturunan Cina dan ibunya Naomi Yahya, berdarah Banten. Sejak belajar di sekolah dasar ia menyukai seni dan sejarah.
Ia kemudian belajar di Akademi Seni Drama dan Film di Yogyakarta selama setahun (1954-1955), melanjutkan ke Akademi Teater Nasional Indonesia di Jakarta dari tahun 1957  hingga 1961 untuk menimba ilmu menjadi seorang aktor, dan setahun sesudahnya belajar di East–West Center di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. 
Teguh ikut berperan pertama kali di film anak-anak Jenderal Kancil pada 1958 sambil bekerja sebagai manajer panggung di Hotel Indonesia. Film ini disutradarai Nya Abbas Akup.  Pada 1968 ia mendirikan Teater Populer. Sejumlah pertunjukan pun disutadarainya, antara lain Pernikahan Darah (1971),  Inspektur Jenderal (1973), dan Perempuan Pilihan Dewa (1974).
 Film pertama yang disutradarai Teguh adalah Wadjah Seorang Laki-Laki (1971). Cinta Pertama (1073), film keduanya, meraih Piala Citra. Sejak itu ia terus mencipta film-filmnya, seperti Ranjang Pengantin, Kawin Lari, dan Perkawinan Semusim. Namun, Badai Berlalu (1977) merupakan karyanya yang paling mendapat tanggapan antusias dari publik. Film ini memenangkan empat Piala Citra, penghargaan paling bergengsi di dunia perfilman Indonesia. Setelah itu ia memproduksi November 1828, film sejarah yang menerima anugerah enam Piala Citra. Film-filmnya yang tak kalah dikenang adalah Di Balik Kelambu, Secangkir Kopi Pahit, Doea Tanda Mata, Ibunda dan Pacar Ketinggalan Kereta. Ia terserang stroke pada 1998 dan meninggal dunia pada 2001. (LC) Foto: Dok. Femina Group, dewi
 

 

Author

DEWI INDONESIA