Sekitar 16 tahun lalu, seorang lelaki bertubuh kurus sering duduk di Kedai Tempo, yang berada di Komunitas Utan Kayu, Jakarta. Kadangkala dia duduk sendirian dan menulis sesuatu pada catatannya. Kadang-kadang dia menulis sesuatu pada catatannya sambil berdiskusi dengan sahabatnya, Jaap Erkelen, direktur sebuah lembaga Belanda KITLV. Selain Jaap, beberapa temannya berdiskusi juga dengan dia. Mereka membicarakan kata yang merupakan satu terkecil dari bahasa, sedangkan bahasa adalah produk sebuah peradaban. Lelaki itu tengah menyusun Tesaurus Bahasa Indonesia, sebuah kamus sinonim. Edisi pertama Tesaurus itu terbit pada 2008 dan menjadi Tesaurus pertama dalam Bahasa Indonesia. Pada 2016, edisi keduanya diluncurkan dan dinamai Tesamoko.
Moko, demikian dia bisa disapa, menyusun Tesaurus ini bertitik tolak dari kebutuhan pengguna. Ada 29.865 lema dan sublema dalam Tesamoko. Sinonim tidak hanya berfungsi sebagai padanan, bahkan mengungkap hal yang lebih jauh, seperti sejarah atau asal-usul, persepsi, bias, dan kuasa. Padanan tidak berarti identik. Penempatannya yang sesuai konteks dapat membuat kata berfungsi dan bermakna. Untuk edisi kedua, Moko dibantu sebuah tim. Kepada pengguna Tesamoko, dia memberi keleluasaan, sebagaimana diungkapkan saat peluncuran edisi tersebut pada 23 Mei 2016, “Tesamoko tidak mendesak-desakkan sebuah kata tertentu supaya dipilih. Ia hanya menyajikan sehimpunan kata yang saling bertalian makna di bawah satu kata yang menjadi lema, dan dengan begitu, memberi keleluasaan kepada pemakai memilih kata yang ia perlukan.” (LC) Foto: Dok. dewi
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta