Khazanah batik Indonesia sudah sepantasnya mencatat nama Go Tik Swan dengan tinta emas. Pria keturunan Tionghoa kelahiran Solo ini telah berjasa menciptakan motif-motif seperti Sawunggaling, rengga puspita, dan kembang bangah yang dikagumi khalayak pencinta batik. Berbagai motif batik itu yang masih tetap diproduksi setelah berpulangnya Go Tik Swan pada 2008, dahulu diciptakannya untuk menunaikan tugas dari presiden pertama Republik Indonesia, Ir. Soekarno. Sang presiden pada masa itu secara khusus meminta pembuatan motif batik yang menyiratkan idealisme persatuan bangsa. Motif-motif batik tersebut harus mewakili Indonesia sebagai sebuah bangsa, bukan mewakili satu etnis tertentu. Bagi Go Tik Swan muda, meski ibunya adalah seorang putri pengusaha batik, tugas dari Ir. Soekarno bukanlah sesuatu yang mudah. Ia pun melakoni perjalanan spiritual yang panjang, mencakup ziarah, meditasi, dan hidup berpindah-pindah dari satu sentra batik ke yang lainnya. Menginap di masjid atau pun rumah penduduk di sepanjang perjalanannya, ia rela.
Pada satu titik, perjalanan itu seolah tak membuahkan hasil. Baru ketika pergi ke Campuhan, Ubud, bersama temannya, Go Tik Swan mendapat ilham desain batik yang dicarinya. Ia segera kembali ke Solo untuk mewujudkan inspirasi yang menghampirinya. Batik-batik itu pun lahir di rumah kakek Go Tik Swan, dan kembali menghembuskan napas pada usaha batik sang kakek yang sempat terhenti. Karya-karya pria yang pernah menari klasik Jawa di istana negara ini mempertemukan gaya klasik batik Solo dan Yogyakarta yang berwarna sogan monokrom dengan rona cerah batik Pesisiran (Pekalongan, Tuban, Lasem), bahkan Cirebon dan Bali. Sepanjang sisa hidupnya, Go Tik Swan mendedikasikan diri terhadap bangsa Indonesia, antara lain dengan mengelola paviliun Indonesia di New York World Fair pada 1964, mendirikan sebuah yayasan pendidikan, dan memimpin pemugaran Museum Keraton Kasunanan Surakarta. Sebelum berpulang, ia telah pula memastikan bahwa pembuatan kain batik dengan motif-motif yang diciptakannya masih terus berjalan, sehingga khalayak pencinta batik tetap bisa memilikinya. (MUT) Foto: Dok.dewi
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta