Beberapa hari belakangan linimasa media sosial ramai dengan pemberitaan gerakan sipil #BlackLiveMatters di Amerika Serikat. Protes besar-besaran terjadi di puluhan kota di berbagai negara bagian mereka. Aksi ini merupakan bentuk perlawanan melawan diskriminasi rasial terhadap kelompok kulit hitam di Negeri Paman Sam.
Bermula dari unggahan video perempuan kulit putih yang mengancam melaporkan seorang laki-laki kulit hitam ke polisi hanya karena si lelaki memintanya untuk tidak melepas anjingnya begitu saja di area bird watching di Central Park, New York. Komedian Trevor Noah menyatakan dalam unggahan video terpisah, “Dia [perempuan kulit putih itu] tahu apa yang dia lakukan. Dia tahu relasi seperti yang ia miliki dengan polisi dan yang dimiliki polisi dengan kelompok orang kulit hitam sehingga ia akhirnya bisa mengancam demikian.”
Belum lagi kemarahan publik reda, tersebar pula video penangkapan seorang laki-laki kulit hitam George Floyd oleh aparat kepolisian Minneapolis yang berujung hilangnya nyawa George oleh salah satu aparat mereka, Derek Chauvin. Kasus semacam itu bukan yang pertama dan satu-satunya di Amerika Serikat. Negeri Paman Sam telah lama dikenal dengan brutalitas aparat kepolisian, terutama terhadap kelompok kulit hitam. Dan itu hanyalah sebagian kecil dari diskriminasi rasial yang ada secara sistemik di AS. Apalagi perlu diingat perbauran antara kelompok kulit hitam dan kulit putih di AS masih berumur sangat muda. Aturan segregasi rasial di negara itu baru dianulir pada 1964. Sebelumnya, kelompok kulit hitam tidak diperkenankan akses yang sama terhadap layanan ataupun fasilitas dengan kelompok kulit putih.
Oleh karena itu, diskriminasi rasial di Amerika Serikat sana memang begitu mengakar dan mendalam. Kelompok kulit hitam sering masih dipandang sebagai kelompok masyarakat kelas dua. Bahkan jika dibandingkan dengan kelompok ras lainnya (latin, Asia, dan Timur Tengah), kelompok kulit hitam masih sering mendapatkan diskriminasi yang lebih keras dan kentara. Semuanya tentu berelasi dengan sejarah panjang Amerika Serikat dan budaya perbudakan. Maka tak heran jika protes besar-besaran lantas pecah.
Persoalan rasial bukan hanya milik Amerika Serikat. Di negara manapun di dunia, ketegangan antar-ras yang berujung pada diskriminiasi ras tertentu banyak terjadi. Itulah mengapa aksi massa #BlackLivesMatter ini juga pecah di negara-negara lain di luar AS, seperti Inggris, Australia dan Prancis. Banyak pula brand, selebritas, influencers, dan desainer yang ikut serta dalam solidaritas ini. Ini karena tentunya para pelaku kreatif tak jarang mengambil inspirasi dari kebudayaan kelompok kulit hitam serta menjadikan mereka salah satu kelompok konsumen.
Di Indonesia sendiri, kita mengalami sendiri diskriminasi rasial. Terutama teman-teman kita di Papua. Ketertinggalan akses, keterbatasan informasi, dan kekerasan aparat merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Papua. Namun mereka seperti hidup di balik kaca film, sebab segala diskriminasi dan kekerasan yang terjadi di Tanah Papua tak pernah benar-benar bisa dilihat publik karena keterbatasan akses jurnalis dan kontrol penuh aparat atas persebaran informasi tentang Papua.
Ramai aksi #BlackLivesMatter ini kemudian digunakan pengacara dan aktivis yang vokal membicarakan pelanggaran HAM di Papua, Veronica Koman untuk membuka diskusi tentang apa yang dibutuhkan masyarakat Papua. Hal ini lantas memunculkan solidaritas #PapuanLivesMatter.
#BlackoutTuesday
Berbarengan dengan kampanye #BlackLivesMatter, muncul kampanye #BlackoutTuesday yang mendorong orang-orang untuk mengunggah foto hitam polos. Beberapa selebritas dan desainer ikut berpartisipasi dalam kampanye ini. Misalnya Emma Watson, Cara Delevingne, Rihanna, dan Gigi Hadid. Sementara beberapa desainer dan brand yang ikut serta antara lain Simone Rocha, Marc Jacob, Tom Ford, Jason Wu, dan Chanel.
Namun, kampanye ini kemudian menuai kontroversi karena dinilai membungkam kampanye #blacklivesmatter. Rupanya kampanye ini bermula dari dua perempuan produser musik, Jamila Thomas dan Brianna Agyemang dengan tagar #TheShowMustBePaused untuk mendorong perusahaan-perusahaan besar yang mengambil keuntungan dari kerja dan Kebudayaan kelompok kulit hitam menghentikan sementara operasional mereka dan menunjukkan solidaritas kepada para massa yang tengah beraksi.
Dalam surat terbuka kedua perempuan kulit hitam ini, mereka sama sekali tidak menyebutkan para peserta untuk memasang tagar #BlackoutTuesday atau #BlackLivesMatter dengan unggahan foto blank hitam. Menurut sejumlah aktivis dari kelompok kulit hitam, kampanye #BlackoutTuesday justru secara tak langsung telah membungkam kampanye digital #BlackLivesMatter karena menutupi informasi-informasi penting yang bisa digunakan untuk mengedukasi dan menolong aksi dengan foto-foto hitam polos mereka. Untuk itu, mereka menyatakan jangan menyertakan tagar #BlackLivesMatter dalam unggahan #BlackoutTuesday agar informasi-informasi penting tidak tenggelam karena banjir unggahan foto polos tanpa informasi berarti. (SIR.) Foto: Dok. Istimewa.