Simak Kesan Para Pengrajin Lokal Ketika Belajar Menggali Potensi Mereka Dalam Berkarya
Melalui pelatihan – pelatihan yang diberikan organisasi – organisasi yang mendukung mereka, para pengrajin menjadi lebih mengenal selera pasar industri mode Indonesia.
3 Mar 2017


 

Di tengah berbagai kendala dalam proses pengembangan kain tradisional, Nurlela, seorang perajin di Sambas, Kalimantan Barat, tak bisa melupakan kesannya ketika bekerjasama dengan Yayasan Cita Tenun Indonesia. Melalui proyek pelatihan yang diberikan oleh yayasan tersebut, kain Sambas berhasil memperoleh UNESCO Award of Excellence for Handicrafts. Kain Sambas juga sempat memecahkan rekor MURI lewat motif bintang tabur yang dimiliki.
Nurlela mengisahkan bahwa sebelum pelatihan, dirinya hanya berkarya dengan satu motif yang dituangkan dengan warna-warna vibran. “Selera masyarakat lokal di sini ialah kain yang bukan berasal dari katun dengan dominasi warna emas pada kain,” tutur Nurlela. Hal itu berubah ketika desainer Didi Budiardjo datang padanya di tahun 2011 lalu. “Ia memesan kain tenun hitam dengan aksen perak dan juga warna putih gading,” kenang Nurlela. Di momen tersebut Nurlela menyadari bahwa selera pasar di luar Dusun Semberang, Desa Sumber Harpan, Sambas, menyukai warna yang lebih netral.
Permintaan Didi agar kain bisa sampai padanya dalam kurun waktu satu bulan disanggupi Nurlela. Ia mempraktekkan teknik pewarnaan benang dengan warna sintetis dan cara merapikan struktur tenun yang sebelumnya telah diajarkan dalam program pelatihan yang digagas oleh Cita Tenun Indonesia. “Melalui permintaan motif yang muncul dari beliau, saya merasa ilmu saya bertambah. Saya senang kain karya saya bisa dibuat menjadi baju yang indah dan dipertontonkan ke berbagai kalangan. Desainer jadi salah satu konsumer terbesar saya. Para pengajar dari Cita Tenun Indonesia memberikan saya pemahaman tentang selera pasar di Jakarta,” tutur Nurlela.
Ia pun merasa wawasannya bertambah karena mendapatkan ide untuk berinovasi. Nurlela tak hanya menenun. Seusai pelatihan, ia juga  mampu mengaplikasikan tenun pada produk aksesori seperti tas dan dompet. Perlengkapan lain seperti wadah tisu dan tempat gelas juga tak luput dari praktik diversifikasi tenun yang ia jalani.
Keyakinan ketua Yayasan Cita Tenun Indonesia, Okke Rajasa, terhadap potensi tenun Sumba terbukti tak hanya di luar Sambas. Kini masyarakat Sambas, terutama instansi-instansi pemerintahan menggunakan tenun karya Nurlela sebagai busana kerja. Nurlela pun harus memastikan agar pasokan benang untuk menenun terus tersedia. Sampai saat ini, benang ia kirim dari Yogyakarta. Demikian pula dengan pewarna. Perlengkapan tersebut ia simpan dalam Koperasi Rantai Mawar yang ia ketuai. Harapan Nurlela terbilang sederhana, “Agar tenun Sambas tetap banyak peminat.” (RW & JAR) Foto: Dok. Ari Seputra, dewi, fbudi, Indonesia Fashion Forward, Major Minor, TOTON, Tropenmuseum, Wikimedia Commons
 
 

 

Author

DEWI INDONESIA