“Sebab hari tak pernah lalai bersalin rupa. Percaya terang itu ada. Tunggu saja,” Kalimat tersebut dinyanyikan musisi Ananda Badudu diiringi pianis Gardika Gigih beberapa waktu lalu di ruang Gudang Sarinah Ekosistem yang tampak gelap meski malam belum tiba. Sebagian penontonnya ialah kaum tuna netra. Ananda baru saja menciptakan lagu itu bagi mereka, teman netra, sapaan bagi kaum tuna netra. Pertunjukan musik menjadi bagian dari ekshibisi Bagi Terangmu yang diselenggarakan oleh Komunitas Sa’Ae, sebuah komunitas yang fokus menciptakan praktik inklusif untuk memberdayakan kaum tuna netra.
Panggung tempat Ananda tampil dikelilingi ruang simulasi, instalasi karya, dan papan pesan dalam huruf braile. Di ruang simulasi para pengunjung diberi kacamata yang lensanya rusak. Ruang tersebut ialah labirin gelap yang juga menayangkan ilusi penglihatan. Area instalasi karya memajang keramik-keramik hasil kerjasama antara teman netra dengan para relawan teman netra. Papan pesan cukup terisi oleh kata-kata dalam huruf braile. Teman netra bisa meraba dan menerka huruf-huruf yang tersusun dari silinder kayu mini.
Ekshibisi berlangsung selama lima hari. Selain musik, ruang pameran diisi dengan agenda diskusi dan pemutaran film Bioskop Bisik. Cara menonton film di mana relawan teman netra duduk bersebelahan dengan teman netra dan membisikkan deskripsi adegan pada mereka. Komunitas Sa’Ae menyadari bahwa masyarakat masih perlu mengetahui kondisi kaum difabel ini. Menyediakan ruang yang membangkitkan empati dan membuka kesempatan kolaborasi dinilai menjadi sebuah langkah solutif. (JAR) Foto: dok.Komunitas Sa’Ae
Panggung tempat Ananda tampil dikelilingi ruang simulasi, instalasi karya, dan papan pesan dalam huruf braile. Di ruang simulasi para pengunjung diberi kacamata yang lensanya rusak. Ruang tersebut ialah labirin gelap yang juga menayangkan ilusi penglihatan. Area instalasi karya memajang keramik-keramik hasil kerjasama antara teman netra dengan para relawan teman netra. Papan pesan cukup terisi oleh kata-kata dalam huruf braile. Teman netra bisa meraba dan menerka huruf-huruf yang tersusun dari silinder kayu mini.
Ekshibisi berlangsung selama lima hari. Selain musik, ruang pameran diisi dengan agenda diskusi dan pemutaran film Bioskop Bisik. Cara menonton film di mana relawan teman netra duduk bersebelahan dengan teman netra dan membisikkan deskripsi adegan pada mereka. Komunitas Sa’Ae menyadari bahwa masyarakat masih perlu mengetahui kondisi kaum difabel ini. Menyediakan ruang yang membangkitkan empati dan membuka kesempatan kolaborasi dinilai menjadi sebuah langkah solutif. (JAR) Foto: dok.Komunitas Sa’Ae
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta