Asosiasi Pematung Indonesia (API), cabang Jakarta didukung oleh Edwin’s Gallery dan Galeri Nasional Indonesia menyelenggarakan Bincang Virtual dan Presentasi Pameran Virtual Stay@Home 2020.
Bincang virtual ini mengulas tentang sejarah lahirnya Asosiasi Pematung Indonesia pada tahun 2000. Atas keinginan sebagian besar para pematung Indonesia, salah satunya dimotori oleh pematung senior almarhum Gregorius Sidharta, Asosiasi Pematung Indonesia hadir mengintrodusir keberadaan seni patung pada publik lebih luas.
Narasumber terdiri dari akademisi, praktisi, Kepala Galeri Nasional Indonesia sampai perspektif Galeri Privat, yakni Edwin’s Gallery. Bincang Virtual ini menyingkap catatan-catatan sejarah yang menampilkan kedekatan seni patung dengan disiplin arsitektur, tinjauan dan praktik tata lansekap kota bahkan gaya hidup masyarakat manusia urban yang dinamis di kota besar.
“Seni patung dengan karakternya yang khas, yakni tiga dimensional dan meruang dalam sejarah seni modern Indonesia terkait dengan para seniman-seniman Sanggar pada sekitar 1950-an di Yogjakarta dan kota bear lainnya di Jakarta, Bandung dll di Indonesia untuk membuat monumen-monumen tertentu sebagai penanda ingatan komunal”, kata Anusapati, akademisi dari Institut Seni Indonesia dan mantan Ketua Umum API Pusat, Yogjakarta.
Selain itu, presentasi pameran virtual Stay@Home 2020 API Jakarta mengangkat tema terkait dengan bagaimana seniman merespon kondisi pandemi sekarang ini dengan menekankan pada semangat berkarya memakai piranti digital dan mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan terbaru, meskipun dari rumah dan studio masing-masing.
Sepuluh pematung anggota API yang berpartisipasi di antaranya Agoes Salim, Agus Widodo, Budi Tobing, Yani Mariani, Cyca Leonita, Hardiman Radjab, Jack S Riyadi, Darwin, Henry The Koi dan Tedy Murdianto.
Karya yakni milik Hardiman Radjab dan Jack S Riyadi punya pesan mirip namun berbeda cara mengungkapkannya. Pesan yang ingin disampaikan serupa yakni manusia abai pada wabah dan berusaha menentangnya, sebab manusia secara natural memang cenderung khilaf jika tanpa intimidasi dalam aturan-aturan yang tegas.
Hardiman menyuguhkan patungnya yang sangat khas. Ia mengkonstruksi kotak dan boneka kecil yang ditautkan sedemikian rupa seolah seorang manusia yang terperangkap dalam kotak tersebut.
Karya yang diberi judul Quantum Leap ini bisa multi tafsir. “Menurut saya ada kemauan manusia menentang kodratnya. Mereka ingin membuat lompatan dalam sains mengejar rahasia keabadian dengan mesin waktu, menembus ruang dan waktu. Tapi saat sama ia menentang hukum-hukum alam lain, seperti merebaknya wabah dan perang, sebab manusia tak peduli dengan lingkungan hidup (membabat hutan) dan kemanusiaannya sendiri” ujar Hardiman. (WHY) Foto: Dok. API