Tahun 2005, di desa Jatisura, yang berlokasi di Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, seorang seniman asal Jepang menyiram tubuhnya dengan softdrink asal Amerika dan tepung terigu. Seniman bernama Arai Shi-Ichi itu melakukannya sebagai bentuk kritik terhadap budaya barat dan globalisme. Pertunjukan itu berlangsung di Jatiwangi art Factory (JaF) dan disaksikan sekumpulan warga desa Jatisura, yang sebagian besar merupakan petani dan pekerja pabrik genteng di Jatiwangi. “Ketika saya tanya, warga desa mengaku ikut merasakan kesakitan dan kepedihan yang disampaikan si seniman itu melalui pertunjukan seni. Sejak itu saya yakin, seni yang katanya sulit dimengerti nyatanya bisa dipahami, bahkan dirasakan oleh masyarakat umum,” kata Arief Yudi, pendiri Jatiwangi art Factory.
Selain Arai Shi-Ichi, sejumlah seniman dari 12 negara dunia ikut menampilkan pertunjukan seni di JaF. Emilia Javanica, seniman asal Amerika Serikat, berakting menjadi buruh perempuan pekerja genteng. Sementara itu, seniman asal Yunani bernama Dimitri Kotsaras membuat film tentang kisah bidan desa yang pemerannya adalah warga setempat. Semua kegiatan tersebut dirangkum dengan nama Jatiwangi Performance Festival, festival seni pertama yang digelar oleh Jatiwangi art Factory. Arief bersama temannya yaitu alm. Juliana Yasin, mendatangkan seniman-seniman dari Filipina, Finlandia, Yunani, Amerika Serikat, Jepang, Singapura, Malaysia, dan Polandia untuk berkesenian di desa. Jatiwangi Performance Festival hingga kini menjadi kegiatan rutin di desa tersebut.
Jatiwangi art Factory sendiri merupakan organisasi sosial berupa ruang kreatif yang memberdayakan kehidupan pedesaan dan menyelesaikan konflik masyarakat melalui kegiatan seni dan budaya seperti; festival seni, pameran seni rupa, festival musik dan video, residensi seniman, diskusi bulanan, serta pendidikan dan pelatihan keterampilan warga. JaF didirikan oleh Arief Yudi bersama sang istri Loranita Theo, Ginggi Syarif Hasyim, Deden Imanudin, dan Ketut Aminudin. Melalui JaF, Arief ingin seni menjadi sesuatu yang tidak berjarak dengan manusia. Pria kelahiran 49 tahun silam ini hendak mendekatkan seni dengan warga desa di Jatiwangi, penduduk yang kerap sibuk dengan rutinitas mencari nafkah tanpa punya kesempatan lebih untuk kembali mengenali dirinya sendiri. “Seni menghadirkan ‘kemewahan,’ kemampuan berpikir kritis dan menganalisa sesuatu. Melalui bentuk karya apa pun, seni bisa menjadi pintu masuk kita untuk kembali melihat ke dalam diri dan menikmati kehidupan tanpa rasa tergesa-gesa,” ujar Arief.
Jatiwangi adalah salah satu kecamatan di Majalengka, Jawa Barat. Daerah di Indonesia yang terkenal dengan industri pembuatan genteng atap rumah. Penduduknya sehari-hari bekerja sebagai petani dan pekerja pabrik genteng. Rata-rata jam kerja berakhir di jam 3 sore, setelah itu nyaris tak ada kegiatan lain. Kata Arief, saat JaF hendak didirikan, kondisi desa Jatisura begitu kacau dengan perkelahian dan kriminalitas. “Ketika ada masalah, orang di desa tidak terlatih untuk tenang. Misalnya berebut lahan, berkelahi soal saluran air bersih. Semua diselesaikan dengan berantem, adu otot.” Cara menanganinya, menurut Arief adalah dengan menghargai orang-orang itu. “Dan saya merasa seni bisa sebagai penengah yang tidak menyalahkan atau membenarkan,” ujarnya. Ketika pekerja-pekerja genteng takjub dengan pertunjukan seni, Arief kian meyakini manfaat sosial dari seni. Kata Arief, “Seni punya sifat menghargai setiap persoalan hidup manusia. Dia berada di titik keseimbangan yang tidak pernah berpihak. Dan melalui seni, manusia punya tempat untuk menunjukkan siapa dirinya dan apa keinginannya”.
Arief sendiri memang pria asli Jatiwangi, Jawa Barat. Kedekatannya dengan seni dimulai sejak ia berusia 7 tahun. Ia diajak bermain teater oleh ayahnya, Omo Kartama. Sang ayah mendirikan kelompok teater di Jatiwangi, Jawa Barat pada tahun 1960-an. Saat itu marak konflik pemerintah dengan Partai Komunis Indonesia, kelompok seni itu lantas dilarang berkesenian dan dibubarkan.
Kegemaran Omo Kartama terhadap seni dan teater menurun pada sang anak, Arief Yudi. Ia mulai menikmati kesenian, bertemu banyak orang-orang pekerja seni, dan hingga akhirnya, Arief menyadari satu hal. Bahwa seni punya kemungkinan paling besar untuk mempertemukan banyak orang tanpa memunculkan konflik. “Politik, misalnya, bisa mengumpulkan banyak orang, tetapi menyimpan potensi konflik yang amat tinggi. Sementara seni menyatukan manusia dalam situasi netral,” kata Arief. Sejak itu ia paham, seni sangat ampuh untuk membantu manusia saling mengenal dan saling bertukar pengalaman dengan cara-cara yang menyenangkan.
Tahun 1990, Arief pindah bermukim di Bandung dan menyelesaikan studi di Akademi Seni Tari Indonesia, yang kini berubah nama menjadi Institut Seni Budaya Indonesia. Di Bandung, Arief terlibat berbagai proyek seni kontemporer. Tahun 1998, ia mendirikan Galeri Barak di Bandung dan menginisiasi Bandung Performance Art Festival. Setelah itu, ia berpikir untuk meluaskan jangkauan kegiatan seni sehingga bisa dinikmati lebih banyak orang. Arief lantas menguji idenya di Jatiwangi melalui Jatiwangi Performance Festival. Semangat warga desa Jatisura dan ramainya keterlibatan seniman internasional menguatkan keyakinan Arief. Seni yang konon rumit dan hanya dikonsumsi secara eksklusif, ternyata bisa menyentuh semua lapisan masyarakat yang bahkan tidak berpendidikan tinggi.
Setelah Jatiwangi Performance Festival yang melibatkan banyak seniman dunia dan warga desa Jatisura, Arief mengusung kegiatan lain, yaitu menggelar pameran seni di rumah warga. Penduduk secara sukarela meminjamkan rumahnya sebagai tempat pameran karya seni lukis dan patung. Karya seni diletakkan di dalam rumah warga, dan siapa saja bisa mengunjunginya secara gratis. Kepala daerah, seniman Indonesia dan internasional, serta warga sekitar desa ramai-ramai mendatangi pameran seni di rumah warga. “Dengan begini, tidak ada sekat antar sesama manusia. Pemerintah, seniman, dan penduduk desa sama-sama menikmati seni dalam situasi santai yang tak berjarak,” cerita Arief
Sejak 2005 itu pula, JaF bekerja sama dengan Pemerintahan Desa Jatisura melakukan riset dan penelitian dengan melibatkan seni kontemporer yang kolaboratif. Ada tiga program utama JaF. Ada Festival Residensi Jatiwangi yang membuka kemungkinan aktivitas kreatif yang mendatangkan seniman-seniman dunia ke Jatiwangi. Kemudian JaF juga menggelar Festival Video Residensi yang bekerja sama dengan Sunday Screen, kelompok pembuat video asal Bandung. Siapa saja bisa ikut program residensi di rumah penduduk desa, berkolaborasi dengan warga, kemudian menciptakan video untuk ditayangkan di penghujung festival. Lalu ada Festival Musik Keramik, seniman residensi berkolaborasi dengan penduduk setempat untuk menciptakan instrumen musik dari bahan keramik. Tahun 2017 ini, JaF dijadwalkan menjadi tempat praktek mata kuliah ‘Action Art’ di Zürcher Hochschule der Künste atau Zurich University of the Arts, Swiss. “Action Art itu bicara soal bagaimana seni bisa diterima banyak orang dan diterapkan dalam berbagai masalah manusia. Awal tahun ini kita bikin RealLab University untuk mahasiswa S2,” cerita Arief.
Setiap upaya kerap berdampingan dengan hadirnya tantangan. Ini yang dirasakan Arief sebagai pengggagas ruang kreatif JaF. Awalnya, ia banyak menghadapi prasangka buruk warga. Penduduk desa memandang negatif terhadap hal-hal baru, apalagi melihat kedatangan warga negara asing sebagai seniman ke Jatiwangi. Arief juga merasakan keengganan dan tantangan dari seniman-seniman warga negara asing yang ia undang. Akhirnya ia pun berstrategi, “saya justru menantang mereka (seniman internasional), kalian sebagai masyarakat modern yang berpengetahuan luas, bisa kah membagi ilmu itu di tempat yang kering pengetahuan? Akhirnya mereka tergugah ingin menguji cara berkomunikasi dan menyebarkan pengetahuan di Jatiwangi,” cerita Arief.
Untuk memudahkan komunikasi antar warga, JaF menggelar pertemuan warga setiap bulan yaitu Forum 27an di mana setiap orang bisa menyampaikan apa pun masalah dan pendapatnya. Seringnya warga mengeluhkan soal perairan di desa, persoalan tanah, isu pangan, dan kebijakan pemerintah desa. JaF membantu mengupayakan penyelesaian masalah dan konflik melalui jalan seni. Caranya adalah Arief lantas menciptakan saluran televisi komunitas JaF TV yang tayang setiap jam 7 hingga 10 malam. Setiap orang diajak merekam video yang berisi protes mereka terhadap suatu hal. Video dikirimkan ke JaF lalu nantinya dibalas dengan video warga lain yang juga menyampaikan pendapatnya. Dengan cara yang menyenangkan ini, kemungkinan konflik antar warga bisa terhindari.
“Ada makna di balik nama Forum 27an. Kegiatan di JaF pada dasarnya punya dua tujuan. Pertama menuju ke masalah yang ingin diselesaikan. Kemudian menyasar ke dalam diri sendiri sebagai bentuk introspeksi. Sebab melalui seni, kita mestinya waspada dengan yang selama ini kita permasalahkan. Jangan-jangan sebetulnya kita yang salah?” kata Arief.
Ada keyakinan di hati Arief, upayanya menciptakan kedamaian dengan jalan seni pasti berhasil. Tiga tahun terakhir, ia menyaksikan anak-anak muda di kampungnya sukses menempuh studi di perguruan tinggi, sebagian besar di kota Bandung. Bagi Arief, keadilan sosial bukan soal bantuan sosial, tetapi tentang saling menghargai. “Dengan apa yang saya lakukan melalui JaF, saya tidak berharap warga Jatiwangi menjadi melek seni, melainkan melek dengan dirinya sendiri,” tegas Arief.
Menurutnya, konflik terjadi karena manusia tidak dihargai keberadaannya dan karena itu perlu ‘panggung’ untuk menunjukkan diri. “Kita berlatih dengan seni, ranah di mana kita mengapresiasi karya orang lain dan orang lain mengapresiasi karya kita. Saya percaya, orang yang kehidupannya dihargai maka akan menghargai kehidupan orang lain.” (RR) Foto: Muhammad Zaky, Pengarah gaya: YK, Busana: Mazuki, Lokasi: Galeri Nasional, Jakarta.
Author
DEWI INDONESIA
RUNWAY REPORT
Laras Alam Dalam DEWI's Luxe Market: "Suara Bumi"
RUNWAY REPORT
Mengkaji Kejayaan Sriwijaya Bersama PT Pupuk Indonesia