Pertunjukkan teater kelas dunia, I La Galigo kembali dipentaskan di Indonesia setelah sukses melakukan pementasan di beberapa negara di dunia. Bercerita melalui tarian, dan gerak tubuh, I La Galigo diadaptasi dari Sureq Galigo yang merupakan wiracarita mitos penciptaan suku Bugis (circa abad 13 dan 15) yang diabadikan lewat tradisi lisan dan naskah-naskah, dan kemudian dituliskan dalam bentuk syair menggunakan bahasa Bugis dan huruf Bugis kuno.
Di sutradarai oleh Robert Wilson, pentas seni ini juga menggandeng maestro Rahayu Supanggah sebagai penataan musik. Terpilih sebagai pementasan berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali, pentas I La Galigo akan digelar pada tanggal 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 di Ciputra Artpreneur Theater. Sebelum menonton pertunjukkan yang berhasil memukai dunia, ketahui fakta-fakta tentang pementasan I La Galigo berikut.
1. Merupakan karya sastra klasik terpanjang di dunia.
Menceritakan kisah kepahlawanan dalam bentuk syair, manuskrip I La Galigo terdiri dari 6.000 halaman folio dan masih menggunakan bahasa Bugis Kuno Arkaik.
2. Dibutuhkan waktu lama untuk menerjemahkan Sureq Galigo
Pada awalnya hanya terdapat ringkasan sepanjang 1.000 halaman yang telah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan disunting ke dalam bahasa Indonesia. Perjuangan untuk menerjemahkan puisi ini membawa Rhoda Grauer, pendiri Yayasan Kelola, mulai pergi menjumpai pakar Galigo dari Indonesia dan luar negeri.
3. Hanya terdapat kurang dari 100 orang yang menguasai bahasa Bugus Kuno Arkaik
Drs. Muhammad Salim, penerjemah terkemuka Sureq Galigo yang juga merupakan penasihat utama teks dan cerita, mengatakan bahwa kurang 100 orang di Sulawesi Selatan masih bisa membaca dan memahami manuskrip Sureq Galigo.
4. Membutuhkan waktu hampir tiga tahun untuk menyiapkan pementasan I La Galigo
Persiapan mewujudkan I La Galigo memakan kurang lebih hampir tiga tahun. Membawa mereka menjelajahi seluruh Sulawesi Selatan, dari Makassar sampai Luwuq. Dimulai dari pembuatan naskah bersama dengan Drs. Muhammad Salim, Rhoda Graeur kemudian menggandeng Restu I. Kusumaningrum, direktur artistik Yayasan Bali Purnati untuk bekerja sama mengangkat I La Galigo ke panggung pementasan. Hal ini yang membawa Restu untuk berkunjung ke daerah Luwuq, daerah yang dianggap sebagai tempat bermulanya kebudayaan Bugis untuk meminta izin dan permberkatan dari leluhur di Luwuq.
5. Menggandeng seniman muda daerah
Dalam perjalanannya menjelajahi Sulawesi Selatan, Restu mendapatkan tiga mitra untuk muwujudkan I La Galigo, mereka adalah Ida Joesoef M, Andi Ummnu Tunru, yang masing-masing mengelola sanggar tari di Sulawesi Selatan, dan komposer Rahayu Supanggah yang berasal dari Solo.
6. Menggunakan hampir 300 kostum
Pementasan I La Galigo melibatkan setidaknya 50 penampil dan menggunakan kurang lebih sebanyak 300 kostum untuk pertunjukkan yang memakan waktu dua jam ini.
7. I La Galigo pertama kali dipentaskan pada tahun 2004 di Esplanade Theaters on The Bay.
Pentas ini telah menyambangi sembilan negara dan 12 kota besar di dunia, tahun 2019 ini untuk kedua kalinya, I La Galigo kembali ke Jakarta. Sebagai pengingat dan untuk mengajakpara generasi muda Indonesia agar melestarikan budaya agung bangsanya sendiri. (AU) Foto: Courtesy of Bali Purnati, Photo by Fendy Siregar
Di sutradarai oleh Robert Wilson, pentas seni ini juga menggandeng maestro Rahayu Supanggah sebagai penataan musik. Terpilih sebagai pementasan berkelas dunia pada saat Annual Meetings IMF-World Bank Group 2018 di Bali, pentas I La Galigo akan digelar pada tanggal 3, 5, 6, dan 7 Juli 2019 di Ciputra Artpreneur Theater. Sebelum menonton pertunjukkan yang berhasil memukai dunia, ketahui fakta-fakta tentang pementasan I La Galigo berikut.
1. Merupakan karya sastra klasik terpanjang di dunia.
Menceritakan kisah kepahlawanan dalam bentuk syair, manuskrip I La Galigo terdiri dari 6.000 halaman folio dan masih menggunakan bahasa Bugis Kuno Arkaik.
2. Dibutuhkan waktu lama untuk menerjemahkan Sureq Galigo
Pada awalnya hanya terdapat ringkasan sepanjang 1.000 halaman yang telah diterbitkan dalam bahasa Belanda dan disunting ke dalam bahasa Indonesia. Perjuangan untuk menerjemahkan puisi ini membawa Rhoda Grauer, pendiri Yayasan Kelola, mulai pergi menjumpai pakar Galigo dari Indonesia dan luar negeri.
3. Hanya terdapat kurang dari 100 orang yang menguasai bahasa Bugus Kuno Arkaik
Drs. Muhammad Salim, penerjemah terkemuka Sureq Galigo yang juga merupakan penasihat utama teks dan cerita, mengatakan bahwa kurang 100 orang di Sulawesi Selatan masih bisa membaca dan memahami manuskrip Sureq Galigo.
4. Membutuhkan waktu hampir tiga tahun untuk menyiapkan pementasan I La Galigo
Persiapan mewujudkan I La Galigo memakan kurang lebih hampir tiga tahun. Membawa mereka menjelajahi seluruh Sulawesi Selatan, dari Makassar sampai Luwuq. Dimulai dari pembuatan naskah bersama dengan Drs. Muhammad Salim, Rhoda Graeur kemudian menggandeng Restu I. Kusumaningrum, direktur artistik Yayasan Bali Purnati untuk bekerja sama mengangkat I La Galigo ke panggung pementasan. Hal ini yang membawa Restu untuk berkunjung ke daerah Luwuq, daerah yang dianggap sebagai tempat bermulanya kebudayaan Bugis untuk meminta izin dan permberkatan dari leluhur di Luwuq.
5. Menggandeng seniman muda daerah
Dalam perjalanannya menjelajahi Sulawesi Selatan, Restu mendapatkan tiga mitra untuk muwujudkan I La Galigo, mereka adalah Ida Joesoef M, Andi Ummnu Tunru, yang masing-masing mengelola sanggar tari di Sulawesi Selatan, dan komposer Rahayu Supanggah yang berasal dari Solo.
6. Menggunakan hampir 300 kostum
Pementasan I La Galigo melibatkan setidaknya 50 penampil dan menggunakan kurang lebih sebanyak 300 kostum untuk pertunjukkan yang memakan waktu dua jam ini.
7. I La Galigo pertama kali dipentaskan pada tahun 2004 di Esplanade Theaters on The Bay.
Pentas ini telah menyambangi sembilan negara dan 12 kota besar di dunia, tahun 2019 ini untuk kedua kalinya, I La Galigo kembali ke Jakarta. Sebagai pengingat dan untuk mengajakpara generasi muda Indonesia agar melestarikan budaya agung bangsanya sendiri. (AU) Foto: Courtesy of Bali Purnati, Photo by Fendy Siregar
Author
DEWI INDONESIA
FOOD & TRAVEL
CASA CUOMO, Simfoni Kuliner Italia di Jakarta