Pada September 2011 lalu, di tengah keriuhan berbagai berita politik dan gosip selebritas, mencuat sebuah berita sejuk dari Bandung. Babakan Siliwangi di Kota Bandung diresmikan sebagai Hutan Kota Dunia oleh United Nation Environtment Programme (UNEP) bersamaan dengan penyelenggaraan TUNZA International Children and Youth Conference on Environment di Sasana Budaya Ganesha (Sabuga).
Sayangnya, predikat membanggakan itu tak membuat Babakan Siliwangi yang lebih populer dengan sebutan Baksil itu terbebas dari rencana komersialisasi dan pengembangan yang tak sesuai dengan peruntukan lahannya. “Babakan Siliwangi yang dulu biasa disebut sebagai Lebak Gede ini awalnya adalah hutan dan persawahan yang dikelola oleh pemerintah sebagai wilayah resapan sungai Cikapundung. Tanpa setahu warga, ternyata pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swatsa hingga mulai ada pembangunan Sabuga di situ. Pendirian Sabuga itu membuka mata warga bahwa ada hal yang menyimpang terjadi dalam pengelolaan Baksil dan kami merasa harus mulai ikut mengawasi pengelolaannya,” Ridwan Kamil menceritakan ihwal gerakan Save Babakan Siliwangi.
Menurut pria yang biasa disapa dengan nama Emil ini, setelah pembangunan Sabuga, sempat ada rencana pembangunan apartemen di hutan berluas 3, 8 hektar itu. “Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi urung dilakukan, dan rencana berubah jadi pembangunan mal berkonsep town square. Pada 2008, warga kota Bandung dan beberapa komunitas yang peduli pada masalah lingkungan dan perkotaan bergabung dan membuat gerakan Save Babakan Siliwangi,” salah seorang pendiri Bandung Creative City Forum ini menuturkan. Gerakan ini menurut Emil cukup mendapat perhatian dari masyarakat Bandung dan itu diakuinya cukup membesarkan hati. Namun sosialisasi yang bisa mereka lakukan relatif terbatas. “Baru dua atau tiga tahun terakhir ini kami mencoba memaksimalkan sosialisasi lewat jejaring media sosial seperti Facebook dan Twitter. Sampai-sampai, saya tidak tahu siapa yang membuatkan logo Save Babakan Siliwangi yang kini dipakai dalam kampaye kami,” kata Emil.
Rencana pembangunan town square itu sempat terhenti. Gerakan yang di Twitter digulirkan dengan hashtag #SaveBabakanSiliwangi itu pun teralih oleh berbagai isu lain yang berganti nyaris setiap hari. Tiba-tiba, terdengar kabar bahwa rencana pembangunan di Baksil akan tetap dilakukan dengan mengubah town square menjadi restoran yang berukuran lebih kecil. Penolakan kembali muncul. “Persoalannya adalah bukan apa bentuk atau besar kecil bangunannya, tapi bagaimana pemerintah bisa menjaga wilayah serapan itu sesuai fungsinya. Kalau tidak boleh difungsikan untuk membangun gedung, harusnya tidak membangun gedung di situ. Apalagi dari keharusan kota menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH), baru sekitar 10 persen saja yang dimiliki kota Bandung. Lagi pula, Baksil ini sudah jadi ikon lingkungan dunia. Masak mau tetap dibelokkan fungsinya?” Emil menggugat.
Dari gerakan kepedulian, Save Babakan Siliwangi menurut Emil kini tengah berupaya menggalang dana yang akan digunakan untuk menebus Baksil dari pihak pengembang untuk mencegah pembangunan itu. “Tidak hanya warga Bandung, siapa pun boleh ikut mendukung gerakan ini. Kami sadar, Bandung itu bukan Cuma punya kami yang tinggal di sini, tapi siapa pun yang mencitai dan memiliki kenangan dengan kota ini,” kata arsitek juga penggagas Komunitas Indonesia Berkebun ini. Kalau Anda termasuk orang yang disebut Emil mencintai dan memiliki kenangan terhadap Bandung, silakan bergabung bersama Emil dan kawan-kawannya dalam gerakan #SaveBabakanSiliwangi. Bukankah dalam hidup kita memang perlu menyelamatkan kenangan, sesedikit apa pun? (ISA), Foto: Dok. Dewi, Dok. Gerakan #SaveBabakanSiliwangi
Sayangnya, predikat membanggakan itu tak membuat Babakan Siliwangi yang lebih populer dengan sebutan Baksil itu terbebas dari rencana komersialisasi dan pengembangan yang tak sesuai dengan peruntukan lahannya. “Babakan Siliwangi yang dulu biasa disebut sebagai Lebak Gede ini awalnya adalah hutan dan persawahan yang dikelola oleh pemerintah sebagai wilayah resapan sungai Cikapundung. Tanpa setahu warga, ternyata pemerintah melakukan kerjasama dengan pihak swatsa hingga mulai ada pembangunan Sabuga di situ. Pendirian Sabuga itu membuka mata warga bahwa ada hal yang menyimpang terjadi dalam pengelolaan Baksil dan kami merasa harus mulai ikut mengawasi pengelolaannya,” Ridwan Kamil menceritakan ihwal gerakan Save Babakan Siliwangi.
Menurut pria yang biasa disapa dengan nama Emil ini, setelah pembangunan Sabuga, sempat ada rencana pembangunan apartemen di hutan berluas 3, 8 hektar itu. “Itu sekitar delapan tahun lalu. Tapi urung dilakukan, dan rencana berubah jadi pembangunan mal berkonsep town square. Pada 2008, warga kota Bandung dan beberapa komunitas yang peduli pada masalah lingkungan dan perkotaan bergabung dan membuat gerakan Save Babakan Siliwangi,” salah seorang pendiri Bandung Creative City Forum ini menuturkan. Gerakan ini menurut Emil cukup mendapat perhatian dari masyarakat Bandung dan itu diakuinya cukup membesarkan hati. Namun sosialisasi yang bisa mereka lakukan relatif terbatas. “Baru dua atau tiga tahun terakhir ini kami mencoba memaksimalkan sosialisasi lewat jejaring media sosial seperti Facebook dan Twitter. Sampai-sampai, saya tidak tahu siapa yang membuatkan logo Save Babakan Siliwangi yang kini dipakai dalam kampaye kami,” kata Emil.
Rencana pembangunan town square itu sempat terhenti. Gerakan yang di Twitter digulirkan dengan hashtag #SaveBabakanSiliwangi itu pun teralih oleh berbagai isu lain yang berganti nyaris setiap hari. Tiba-tiba, terdengar kabar bahwa rencana pembangunan di Baksil akan tetap dilakukan dengan mengubah town square menjadi restoran yang berukuran lebih kecil. Penolakan kembali muncul. “Persoalannya adalah bukan apa bentuk atau besar kecil bangunannya, tapi bagaimana pemerintah bisa menjaga wilayah serapan itu sesuai fungsinya. Kalau tidak boleh difungsikan untuk membangun gedung, harusnya tidak membangun gedung di situ. Apalagi dari keharusan kota menyediakan 30 persen ruang terbuka hijau (RTH), baru sekitar 10 persen saja yang dimiliki kota Bandung. Lagi pula, Baksil ini sudah jadi ikon lingkungan dunia. Masak mau tetap dibelokkan fungsinya?” Emil menggugat.
Dari gerakan kepedulian, Save Babakan Siliwangi menurut Emil kini tengah berupaya menggalang dana yang akan digunakan untuk menebus Baksil dari pihak pengembang untuk mencegah pembangunan itu. “Tidak hanya warga Bandung, siapa pun boleh ikut mendukung gerakan ini. Kami sadar, Bandung itu bukan Cuma punya kami yang tinggal di sini, tapi siapa pun yang mencitai dan memiliki kenangan dengan kota ini,” kata arsitek juga penggagas Komunitas Indonesia Berkebun ini. Kalau Anda termasuk orang yang disebut Emil mencintai dan memiliki kenangan terhadap Bandung, silakan bergabung bersama Emil dan kawan-kawannya dalam gerakan #SaveBabakanSiliwangi. Bukankah dalam hidup kita memang perlu menyelamatkan kenangan, sesedikit apa pun? (ISA), Foto: Dok. Dewi, Dok. Gerakan #SaveBabakanSiliwangi